Siaran Pers
Perkawinan pesanan adalah Tindak Perdagangan Orang (TPPO)
Sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat, adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan. Temuan ini dikuatkan dengan melihat tiga proses pelanggaran TPPO yakni proses, cara, dan untuk tujuan eksploitasi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dilhat dari, Pertama, proses. Proses perekrutan dan pemindahan, dimana terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki asal Tiongkok untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke Tiongkok.
Kedua, cara. Cara penipuan juga digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korbanpun juga diberi sejumlah uang.
Temuan yang kami dapatkan, biaya untuk memesan pengantin perempuan, seorang laki-laki Tiongkok diharuskan menyiapkan uang sebesar Rp. 400.000.000. Dari uang tersebut, sebanyak Rp 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.
Dengan memanfaatkan posisi korban yang rentan, karena seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa diantaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan. Selain itu, ditemukan juga terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan pesanan/kontrak.
Ketiga, tujuan. Tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah untuk dieksploitasi. Data pelaporan korban yang dihimpun oleh SBMI memperlihatkan bahwa sesampainya di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang. Sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami.
Para korbanpun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga dan bila ingin kembali ke Indonesia, para korban diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami. Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami serta dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit. Tidak hanya suami dan keluarga suami yang mengeksploitasi para korban, eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.
Kebijakan dan Instrumen Internasional yang Dilanggar
Kasus perkawinan pesanan telah melanggar beberapa instrumen perlindungan diantaranya:
-
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1984. Pada konvensi ini, telah mengamanatkan kepada negara-negara pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga dan memastikan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan menikah dengan persetujuan penuh antara kedua belah pihak. Berdasarkan kronologi kasus di atas jelas bahwa perkawinan pesanan tidak memenuhi unsur-unsur perkawinan sebagaimana diatur dalam CEDAW.
- UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO Pasal 2 dan Pasal 4 diatur mengenai sanksi hukuman penjara bagi para pelaku yakni paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Hingga sekarang pelaku kasus perkawinan pesanan belum mendapatkan sanksi seperti yang tertuang dalam UU TPPO yakni minimal 3 tahun. Selain itu, di Pasal 54 dimandatkan pemerintah melalui perwakilannya di luar negeri untuk melakukan upaya perlindungan bagi korban TPPO dalam hal melindungi pribadi dan kepentingan korban, serta mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara. UU PTPPO ini juga memandatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Hingga saat ini, langkah-langkah perlindungan dari pemerintah untuk kasus perkawinan pesanan ini masih minim.
- UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini terdapat 2 korban yang masih berusia anak-anak, yang seharusnya menjamin anak-anak bebas dari eksploitasi sesuai Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, pelakunya sudah sepatutnya di pidana.
Berdasarkan data dan fakta-fakta di atas, kami, Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil bersama dengan Komnas Perempuan menyatakan untuk:
-
- Mendesak Bareskrim Mabes Polri, Polda Kalimantan Barat, serta Polda Jawa Barat untuk segera membongkar sindikat perekrut yang terorganisir dalam kasus TPPO, pengantin pesanan antar negara. Kami juga mendesak Kepolisian untuk memproses dan menyelesaikan kasus dengan menerapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan anak;
- Mendesak MA dan Kejaksaan Agung untuk menjatuhkan sanksi pidana maksimal melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan Anak.
- Mendesak Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, untuk melakukan berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
Jakarta, 23 Juni 2019
SBMI, LBH Jakarta, Jaringan Buruh Migran, JPIT, Jurnal Perempuan, SPRT, PPI, IPMAT, Komnas Perempuan, .KKBM, Pertakina, Kami, KSBSI, Seruni, Jala PRT
Narahubung:
Bobi: 085283006797
Oky: 081265410330
Mahadir: 082253716456