Oleh: Muhammad Rasyid Ridha S.*
Baru-baru ini pihak Mabes Polri mengatakan akan melakukan pengusutan terhadap kelompok anarko sindikalisme yang baru-baru ini dituduh melakukan kerusuhan pada Mayday 2019 lalu. Tidak tanggung-tanggung, pihak Polri akan melibatkan Kemenkumham dan Badan Intelejen Negara untuk melakukan pemetaan hingga penindakan.
Tindakan Polri ini sendiri didasarkan pada respon reaktif atas peristiwa Mayday 2019 yang rusuh di sejumlah titik di kota-kota besar Indonesia, seperti Bandung, Malang, hingga Makassar. Di Bandung misalnya, Kepolisian melakukan tindakan melanggar HAM seperti penyiksaan, penggundulan, dan penelanjangan terhadap 619 orang massa aksi kelompok anarko sindikalis. Tindakan pelanggaran HAM ini jelas-jelas melawan hukum, khususnya UUD NRI 1945, UU HAM 1999, hingga Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Tindakan Kepolisian Bandung yang menangkapi massa kelompok anarko-sindikalisme melanggar ketentuan hukum seperti KUHAP, juga aturan internal mereka sendiri yakni Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dimana Kepolisian melakukan tindakan penangkapan sewenang-wenang terhadap seluruh massa aksi tanpa dasar hukum dan bukti yang jelas.
Selain itu dalam proses penangkapan, tampak ada sekitar 300 lebih orang anak yang turut ditangkap sewenang-wenang oleh Kepolisian, serta diiringi dengan tindakan penyiksaan. Hal ini jelas kejahatan hukum yang berlawanan dengan ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Konvensi Anti Penyiksaan dan Konvensi Hak-hak Anak.
Dari respon dan manuver yang dilakukan Kepolisian, tampak jika Kepolisian cenderung gagap dalam memetakan dan menghadapi kelompok anarko sindikalisme. Memang benar jika kelompok anarko sindikalisme ada di seluruh wilayah dunia, tapi apakah ia datang dan dikendalikan dari luar Indonesia sana layaknya organisasi transnasional? Apakah memang benar kelompok anarko sindikalisme “menyusupi” Mayday? Siapa yang “menyusupi” dan “disusupi”?
Padahal jika menilik sejarah perayaan Mayday sebagai peringatan hari buruh internasional, Mayday sendiri bermula dari peristiwa kerusuhan Haymarket di Amerika Serikat pada 4 Mei 1886 yang diinisiasi oleh kelompok anarko sindikalisme dan menimbulkan korban jiwa dan martir dari kelompok pekerja. Jatuhnya para martir di awal bulan Mei tersebutlah yang kemudian menginspirasi dan membidani lahirnya hari perayaan buruh internasional Mayday pada 1 Mei.
Dari segi pemikiran, anarko sindikalisme sebenarnya adalah salah satu varian pemikiran dari Anarkisme, dimana Anarkisme sendiri merupakan filsafat politik yang menganjurkan penghapusan atas segala bentuk medium kekuatan yang koersif, hirarkis, dan otoriter, baik itu negara maupun organisasi dalam skala kecil.
Anarkisme berangkat dari tesis bahwa kebebasan manusia hanyalah mungkin sejauh kebebasan itu sendiri otonom tanpa intervensi pihak lain yang memaksa. Bagi Anarkisme, Negara maupun organisasi pemilik otoritas yang memiliki daya paksa dan kuasa terhadap yang lain adalah sumber dari segala ketimpangan, ketidakbebasan dan penindasan.
Anarkisme berkembang menjadi banyak varian ideologi dari kiri hingga kanan, seperti anarko-kapitalisme, anarko-transhumanisme, eko-anarkisme, anarko-feminisme, queer-anarkisme, anarko-pasivisme, anarko hijau, hingga anarko-sindikalisme. Yang terakhir inilah yang menjadi gerakan besar, karena ia berangkat dari basis-basis gerakan pekerja otonom yang sudah muak dan lelah ditindas oleh Negara dan Korporasi, sejak akhir tahun 1800-an di era industrialisme modern.
Ideologi dan gerakan anarkisme sudah masuk ke Indonesia sejak awal tahun 1900-an. Salah sekian tokoh pergerakan pra-kemerdekaan Indonesia yang anarkis adalah Douwes Dekker (Bima Satria: 2018, hlm. 48), yang bersama Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo pada tahun 1912 mendirikan Indische Partij. Gerakan anarkis-sindikalis ini semakin massif pasca terbentuknya VSTP (Serikat Buruh Kereta Api dan Trem) dan ISDV (Perhimpunan Sosialis-Demokrat Hindia) di Hindia Belanda pada kurun waktu 1908-1918, yang mana di serikat-serikat tersebut muncul kecenderungan dan gerakan anarko-sindikalisme (Ibid, hlm. 54).
Soekarno sendiri sebenarnya sudah pernah menulis mengenai filsafat dan gerakan anarkisme secara khusus dalam tulisannya yang berjudul “Anarchisme” di Koran Fikiran Ra’jat Nomor 12 tanggal 18 November 1932. Dalam tulisannya tersebut, Soekarno mengulas inti gagasan filsafat anarkisme, meski pun di bagian akhir tulisannya Soekarno menuliskan sinismenya terhadap gagasan dan gerakan anarkisme di masyarakat.
Hingga akhir tahun 1940-an, kelompok anarko sindikalisme masih bergerak di Indonesia, meski bersifat sporadis. Namun di kemudian hari kelompok ini tenggelam, sejak pasca kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1980-an. Kelompok anarko sindikalisme mulai berkembang lagi sejak tahun 1990-an, dengan kehadiran kolektif seperti Front Anti Fasis (1999), Jaringan Anti Fasis Nusantara (1999), AFRA Jakarta, SARAF/RI Boots Semarang, Barisan Anti Penindas Nusantara Surabaya, dan lain-lain (Ibid, hlm. 217-219).
Kesemua kolektif tersebut hadir secara sporadis, berangkat berdasarkan inisiatif dari bawah, dan rata-rata lahir dalam situasi-situasi krisis penindasan, terutama di wilayah konflik atau pun pinggiran yang menjadi korban penindasan negara dan korporasi. Sebagian besar lahir di Komunitas-komunitas Punk hingga mahasiswa perguruan tinggi.
Kembali hadirnya pergerakan kelompok anarko sindikalisme mestinya tidak disikapi reaksioner dan represif, apalagi sampai melakukan penyisiran, penangkapan, hingga pemenjaraan tanpa dasar hukum yang jelas dan pasti. Kehadirannya merupakan sumbangsih besar untuk iklim demokrasi di Indonesia, karena hal tersebut menandakan bahwa Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja. Ada permasalahan yang sangat fundamental yang tidak bisa diselesaikan oleh Negara, yang menyebabkan kelompok tersebut hadir.
Respon Mabes Polri yang menyatakan akan melakukan pembinaan dan pendidikan kepada kelompok anarko-sindikalisme, jelas sebuah langkah yang salah. Kelompok anarko-sindikalisme adalah kelompok terdidik yang paham dinamika isu sosial hingga permasalahan ideologis. Artinya, bila memposisikan kelompok anarko-sindikalisme sebagai orang bodoh, tidak terdidik, yang butuh dididik oleh negara, hal tersebut justru sama sekali tidak efektif dan tidak berdampak apa-apa terhadap keberadaan kelompok anarko sindikalisme.
Selain itu, langkah pembinaan hingga pendidikan terhadap kelompok anarko-sindikalisme dalam kacamata hukum dan HAM, rentan akan adanya pelanggaran HAM, yang dalam hal ini pemaksaan ideologi-pikiran. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan sipil dan politik yang diatur dalam UU HAM 1999, UUD NRI 1945, hingga Kovenan Internasional dan Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan setiap orang bebas untuk memilih agama, keyakinan, dan kepercayaan, sesuai dengan apa yang ia yakini.
Maka segala bentuk tindakan represif terhadap kelompok anarko sindikalisme, pada akhirnya tindakan yang membunuh demokrasi Indonesia. Padahal bila hendak membuka mata, hati, dan pikiran, banyak aspirasi dari kelompok anarko sindikalisme ini yang berguna untuk mengoreksi pelbagai kebijakan Pemerintahan Indonesia yang tidak tepat sasaran dan merugikan rakyat. []
–Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta. Tulisan adalah pendapat pribadi.
Disclaimer: <em>Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta</em>.