Catatan diskusi tentang gerakan sosial dengan Eko Prasetyo pada 1 April 2019
Oleh: Charlie Meidino Albajili
Bertepatan dengan hari jadinya ke 48 tahun pada 1 April 2019, LBH Jakarta mengadakan diskusi kecil bersama Eko Prasetyo dari Social Movement Insitute (SMI) Yogyakarta. Diskusi yang diadakan di lantai 2 LBH Jakarta tersebut membahas tantangan “Gerakan sosial saat dan pasca Pilpres 2019”. Diskusi mendadak tersebut dihadiri oleh sebagian Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) LBH Jakarta. Sebagian PBH lain tidak bisa hadir karena bersamaan dengan agenda persidangan maupun konsultasi hukum.
Tema tersebut sengaja dipilih mengingat Eko Prasetyo cukup banyak melakukan kajian, menulis buku dan bereksperimen terkait gerakan sosial baru (New Social Movement). Tema tersebut pun dirasakan sangat relevan dengan kondisi gerakan masyarakat sipil yang terfragmentasi karena politik elektoral di 2019. Setidaknya tiga bulan terakhir, seluruh energi publik tersedot pada agenda kontestasi Pilpres. Problemnya, kedua kubu yang berkontestasi tidak memiliki keberpihakan terhadap nilai HAM sehingga narasi HAM pun tidak menjadi sentral dalam percakapan publik. Publik dibelah dengan kampanye negatif yang saling menyerang urusan personal non substansial ketimbang adu gagasan.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2016 hingga 2018, LBH Jakarta melihat adanya ancaman otoritarianisme, militerisme dan oligarki yang kembali hadir melalui berbagai kasus seperti Strategic Lawsuit Againts Public Participation (SLAPP), kriminalisasi aktivis, perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan/investasi, Dwi Fungsi TNI/Polri hingga pemberangusan hak-hak sipil untuk berpendapat dan berekpresi.
Dalam kondisi tersebutlah tema ini dipilih dengan dua pertanyaan kunci: Bagaimana kondisi gerakan sosial saat Pilpres 2019 ini? Bagaimana membangun gerakan sosial pasca Pilpres 2019 untuk mengembalikan lagi kesadaran berdemokrasi dan menguatkan kultur HAM dalam masyarakat dan institusi?
Mempertebal Imajinasi Perubahan – “SmackQueen yaQueen”
Eko Prasetyo memulai pemaparannya dengan menyampaikan pentingnya merawat imajinasi perubahan atau yang ia sebut sebagai “utopisme” gerakan. Menurutnya, alih-alih dihindari, utopisme/ imajinasi dalam pemikiran aktivis adalah hal yang penting sebab jika tidak, maka aktivis tersebut akan terbawa arus perubahan yang bertolak belakang dari tujuan awalnya.
Dalam situasi aktivis HAM yang saat ini terus digempur, baik oleh karena narasi anti HAM yang menghegemoni, maupun digempur dalam arti sebenarnya (dikriminalisasi, diancam dibunuh), imajinasi tersebut harusnya semakin kuat. Eko meminjam cerita Leon Trotsky dalam bukunya Revolusi Permanen yang menganggap rezim Stalin yang terus menggempurnya seperti apel busuk – keropos di dalamnya. Trotsky semakin yakin perubahan akan terjadi ketika gempuran terhadapnya semakin mengerikan dilakukan oleh Stalin karena memperlihatkan rezim yang panik dan semakin kehilangan energinya.
Melihat fenomena menguatnya Orbaisme di rezim saat ini, Eko mengajak para aktivis justru smackqueen yaqueen dengan nilai perjuangannya. “Selayaknya apel busuk, rezim hari ini pun sudah kehilangan ideologinya. Energi yang ada lebih karena ditopang oleh lembaga survey, legitimasi dibentuk oleh opini,” ujar Eko. Untuk itu Eko menyarankan kepada aktivis di LBH untuk memperbanyak kajian mengenai Orde Baru, khususnya bagaimana Orde Baru sukses menghegemoni. “Salah satu aspek penting yang dikuasai Orde Baru untuk menghegemoni dan tidak pernah direbut pasca Reformasi adalah kurikulum pendidikan. Di sini, paham Orde Baru menguasai relung masyarakat. Menggantikan pendidikan kewargaan dengan kultur otoritarian,” ujar Eko.
Eko yang juga merupakan aktivis Pro-Demokrasi di era Orde Baru menyampaikan bahwa imajinasi tersebutlah yang tidak seutuhnya dimiliki mahasiswa 98 ketika itu. Saat itu gerakan sosial menemukan momentum pertemuan antara arus bawah (perlawanan mahasiswa) dan arus atas (perpecahan di tubuh militer dan oligarki). Narasi perlawanan meruncing pada tuntutan dijatuhkannya Soeharto dan penghapusan dwi fungsi ABRI. Namun, persis setelah itu yang mengisi masa Reformasi justru adalah orang-orang orde baru lagi. “Gerakan sosial saat itu tidak memiliki imajinasi perubahan yang utuh untuk mengisi zaman perubahan. Angkatan sekarang harus terus mengasah imajinasi tersebut supaya imajinasi perubahan tersebut dapat ditularkan,” ujar Eko.
Meninggalkan Mentalitas “Ruang Antara” Menuju Blok Politik Alternatif
Eko melihat salah satu penyebab gerakan masyarakat sipil saat ini tidak dianggap relevan/tidak berkembang adalah adanya “mentalitas ruang antara” di para aktivisnya. Aktivis perlu meninggalkan kesadaran perannya sebagai moderator perubahan sosial sebab hal tersebut tidak akan membawa pada perubahan apapun. Aktivis harus dapat membangun blok politik alternatif yang menawarkan pemaknaan yang baru kepada permasalahan sosial, yang menjadi kontra-hegemoni dari status quo. Pemaknaan tersebut harus dapat menangkap kegelisahan masyarakat serta berkelanjutan sehingga kemudian bertransformasi menjadi gerakan yang memiliki basis di masyarakat.
Untuk tujuan tersebut, aktivis pun perlu cermat dalam membaca situasi masyarakat. Eko berujar ada sebuah artikel menarik di majalah National Geographic yang membahas 3 hal yang membuat masyarakat saat ini mudah dibohongi. Penyebabnya:
Pertama, masyarakat lebih memilih informasi yang menyenangkan bagi dirinya. Kecenderungan aktivis yang selalu menyampaikan problem-problem terkait pelanggaran HAM secara berat, tragis dan sangat serius menjadi tidak menarik untuk diperbincangkan, meski penting untuk disampaikan. Perlu ada terobosan cara penyampaian;
Kedua, masyarakat tidak suka bertanya. Sehingga, narasi harus disampaikan pada permasalahan yang paling dirasakan masyarakat, tidak mengawang dan tidak jauh/sulit dipahami. Informasi juga harus disampaikan secara pasti/tidak ragu-ragu agar lebih mudah dipahami;
Ketiga, masyarakat masih melihat otoritas pihak yang menyampaikannya, bukan isi informasinya. Tentu mentalitas ini perlu diluruskan pelan-pelan. Namun, tidak ada salahnya bagi para aktivis juga untuk mempertebal identitas agensinya sebagai aktivis. Belakangan ini terminologi aktivis tidak lagi menarik bagi kelompok muda karena telah tereduksi dan kalah bersaing dengan identitas “soleh”.
3 hal ini harus diperhatikan oleh aktivis gerakan sosial. Para aktivis harus mencari cari untuk dapat menggali kegelisahan moral masyarakat dan mengamplifikasinya dengan memberikan wacana alternatif dan imajinasi perubahan. “Ajak masyarakat untuk kembali bermimpi bahwa ada yang ideal dan ada peluang. Berangkat dari hal-hal yang sangat dekat dengan masyarakat,” ujar Eko.
Eko menyampaikan bahwa ada 4 konflik yang dihadapi masyarakat saat ini yang perlu digeluti oleh para aktivis:
1. Konflik antara relasi antar orang/kelompok untuk bagaimana mempertahankan hidup.
2. Konflik memperebutkan aturan main, siapa yang mengatur, apa yang boleh diatur maupun bagaimana cara pengaturannya.
3. Konflik untuk mempertahankan status dan hak istimewa. Pertarungan untuk memperebutkan hak istimewa. Politik uang ada karena sudah tidak ada lagi kepercayaan masyarakat terhadap calegnya.
4. Konflik mengenai kontrol atas nilai kebudayaan. Ruang ini ada di dunia pendidikan.
Mengacu pada tiga permasalahan di atas pun, LBH perlu menggarap secara serius membangun aliansi/partner gerakan BHS dengan kampus (baik mahasiswa maupun dosen). Hal ini penting karena kampus adalah sentral legitimasi ilmu pengetahuan sekaligus juga mitra yang mampu bertahan dalam jangka panjang. LBH dapat memulainya dengan bekerja sama dalam mengadakan diskusi atau seminar publik tentang isu-isu LBH di kampus. LBH juga dapat mengelolanya dengan membuat ruang-ruang diskusi yang saat ini semakin langka di ibukota.
LBH khususnya juga tidak dapat sendiri dalam melakukan kerja Bantuan Hukum Struktural sebagai sebuah platform gerakan sosial. Kampanye LBH keluarannya harus mampu membuat target sasaran orang yang dikampanyekan mendukung dan terlibat dalam gerakan.[]