Siaran Pers Bersama
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
Jakarta, 22 Maret 2019. Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menyesalkan keputusan Gubernur Anies Baswedan yang menolak pemutusan kontrak swastanisai air Jakarta dan lebih memilih pendekatan perdata. Hal tersebut merupakan pelanggaran konstitusi dan berpotensi menambah kerugian negara.
Tepat satu tahun lalu, KMMSAJ melakukan aksi di Balaikota dan mendesak Gubernur untuk menghentikan praktik privatisasi air di Jakarta. Ternyata butuh waktu cukup lama bagi Gubernur untuk mengambil tindakan. Pun prosesnya tidak partisipatif dan menghasilkan keputusan yang mengecewakan. Atas rekomendasi Tim Tata Kelola Air, Gubernur hendak mengambil alih pengelolaan air melalui langkah perdata. Padahal Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa air merupakan barang publik. KMMSAJ berpandangan bahwa pendekatan business to business yang di dijalankan Gubernur Anies tidaklah berbeda dengan opsi yang ditawarkan oleh Gubernur sebelumnya, Basuki Thahja Purnama pada 2013 . Saat itu Ahok menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memperbaiki carut marut kontrak swastanisasi pengelolaan air minum di DKI hanyalah melalui renegoisasi kontrak. Pemerintah Provinsi menunjuk PT. Jakpro untuk melakukan negoisasi dengan swasta, dan disuntik PMD Rp 650 miliar untuk mengakuisisi 49 persen saham PT Astratel Nusantara di PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Namun, akuisisi tak terealisasi. Belakangan duit tersebut direalokasikan secara sepihak oleh PT. Jakpro dan menuai gugatan yang berujung pada pembentukan pansus di DPRD DKI . Belakangan, argumen yang sama kembali di sampaikan oleh Tim Tata Kelola Air DKI yang menyatakan bahwa pendekatan perdata perlu diambil guna menjaga iklim investasi. Pernyataan ini sangat melukai warga Jakarta, seolah urusan orang banyak harus kembali mengalah kepada kepentingan investor.
Nurhidayah, salah satu penggugat mengatakan: “Gubernur sama saja dengan Mahkamah Agung yang mengabaikan konstitusi dan selalu menjaga kepentingan swasta nakal. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa swasta berlindung dibalik kontrak yang cacat dan penuh kerahasiaan”. Nurhidayah merujuk pada ketidakjelasan penggunaan fasilitas dan dana publik di balik negoisasi antara Pemprov yang diwakili PDAM dengan dua operator swasta. Sampai saat ini belum ada jawaban dari tuntutan KMMSAJ agar Gubernur mempublikasikan secara utuh hasil studi dan rekomendasi Tim Tata Kelola Air.
Koalisi meminta Gubernur untuk berpegangan pada aturan tertinggi yang ada di Republik ini, yaitu konstitusi, bukan kontrak komersial. KMMSAJ mencatat bahwa pada tahun 2005, Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan perintah pasal 33 dengan sangat terperinci, khususnya soal air dan PDAM. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa air adalah res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi . Artinya proses uji tuntas (due diligent), atau perhitungan harga saham swasta yang akan dibeli oleh PAM Jaya adalah illegal dan tidak selayaknya menggunakan uang publik.
“Saham yang dimiliki swasta lahir dari ijin konsesi pengelolaan air minum yang disertai dengan supporting letter dari Gubernur DKI terdahulu, supporting letter itulah yang menjamin bahwa swasta akan tetap untung terlepas dari baik buruknya kinerja, swasta juga akan bebas dari resiko proyek (shortfall). Kebijakan ini yang disebut MK sebagai “swastanisasi terselubung” dan memberi landasan bagi MK untuk membatalkan keberlakuan UU No.7/2004 tentang sumberdaya air. Artinya swastanisasi air terjadi karena dijinkan oleh pemerintah, lantas kenapa Gubernur masih meneruskan kebijakan itu. Cabut saja supporting letter tersebut, akhiri praktek swastanisasi air terselubung.” Ujar Reza dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air.
Sementara Arif Maulana dari LBH Jakarta menegaskan bahwa kekhawatiran bahwa swasta akan melakukan gugatan arbitrase akiiat pemutusan kontrak juga berlebihan dan tidak perlu dihindari. “Supaya dunia tahu bagimana perusahaan swasta berlaku curang dan mengambil untung dari penderiataan tiada akhir warga Jakarta, terlebih perempuan. Senada dengan pernyataan tersebut, Halimah yang merupakan anggota Solidaritas Perempuan Jabotabek, warga dari Rawabadak menyampaikan keresahannya “Kami masih harus bangun tengah malam untuk menampung air hujan, mengeluarkan sebagaian besar pendapatan untuk beli air, sementara pemerintah dan swasta sibuk hitung untung rugi. Sampai kapan harus begini? Ini ujian bagi pemimpin, tidak ada jalan tanpa resiko bagi kedaulatan rakyat atas air. Biar sejarah mencatat dipihak mana Gubernur berdiri: kepentingan warga atau keuntungan swasta?” pungkasnya.
Narahubung:
Nurhidayah 0812.9735.6167
Reza 0813.7060.1441
Arif Maulana 0817.256.167