Pada November 2018, Binsar Goeltom, Hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, mengajukan gugatan tata usaha negara ke PTUN Jakarta dengan nomor 270/G/2018. Poin utama dari gugatan ini adalah meminta PTUN membatalkan kebijakan Komisi Yudisial untuk menerima calon hakim agung dari unsur non-karir. Sampai sejauh ini, proses gugatannya masih berjalan. Meskipun kelihatannya sederhana, gugatan ini punya implikasi yang serius bagi reformasi peradilan.
Ada dual hal yang membuat gugatan ini perlu menjadi perhatian publik: Pertama, gugatan ini menutup pintu masuknya calon hakim nonkarir sebagai calon hakim agung. Dengan ditutupnya calon hakim agung dari unsur non-karir maka potensi publik untuk mendapatkan hakim agung yang berkualitas menjadi mengecil. Ada banyak contoh di mana hakim agung dari unsur nonkarir punya kontribusi yang signifikan bagi reformasi atau penguatan Mahkamah Agung secara kelembagaan, antara lain Artidjo Alkausar, Komariah Emong Saparja, dll.
Kedua, gugatan ini berpotensi melanggar kode etik hakim sendiri. Dalam prinsip ketiga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEEPH) tentang Berperilaku Arif dan Bijaksana, terutama dalam poin ketiga berbunyi: “hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang memiliki kepentingan perkara dengan perkara tersebut.” Dalam kasus ini, patut diduga dengan kuat bahwa hakim yang memeriksa perkara juga mempunyai kepentingan langsung dengan perkara karena hakim merupakan hakim karir, di mana sulit untuk tidak mengatakan tidak ada korelasinya.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Peradilan meminta kepada hakim yang memeriksa perkara untuk:
- Menghentikan proses gugatan Binsar Goeltom yang sedang berjalan di PTUN;
- Hentikan Pelemahan Komisi Yudisial.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Peradilan
(PBHI, YLBHI, LBH Jakarta, ICW, ICJR, ILR, Kode Insisiatif, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Unand, Puskapsi FH Univ Jember, Pukat FH UGM)