Meskipun tahap proses seleksi Hakim Agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sudah selesai dilakukan, dan hasilnya dikirmkan ke Komisi 3 DPR, namun gugatan dari salah satu calon Hakim Agung Binsar M. Goeltom, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, masih berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Binsar M. Goeltom menggugat keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Komisi Yudisial tahun 2018 dengan Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 dan Keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Tahap Kedua (Kualitas) Calon Hakim Agung dengan Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.03/10 2018, yang pada intinya masih memasukan hakim non-karir sebagai calon Hakim Agung.
Goeltom berpandangan bahwa dua keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh Komisi Yudisial itu bertentangan dengan Pasal 7 huruf b butir 3 UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung cq. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, tanggal 19 Juli 2017 dan Surat Permintaan Wakil Ketua MA soal hakim karir. Selain gugatan tersebut sudah tidak relevan, gugatan Goeltom ini (1) potensial akan membuat para hakim TUN melanggar prinsip utama peradilan, “Nemo Judex Ideneus In Propia Causa”, yang mana hakim tidak boleh menjadi hakim untuk dirinya sendiri; dan (2) meruntuhkan semangat reformasi peradilan sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi.
Pertama, soal prinsip Nemo Judex Ideneus In Propia Causa atau Nemo Judex In Sua Causa, yang berarti hakim tidak boleh mengadili perkara di mana ia berkepentingan dengan kasus itu sendiri. Dalam tataran praktis, prinsip itu sudah dimasukan dalam Prinsip Ketiga Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tentang Berperilaku Arif dan Bijaksana. Prinsip itu kemudian diturunkan dalam poin ketiga yang berbunyi, “Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.” Dalam kasus ini jelas sekali, bahwa hakim yang memeriksa secara tidak langsung punya kepentingan terhadap gugatan Binsar.
Upaya mereduksi makna putusan MK, yang secara jelas tidak menyebutkan dalam amar putusannya, dan meminta tafsir PTUN untuk membuat tafsir baru terhadap putusan MK sebagaimana yang dimaksud oleh pemohon, yang pada sisi lainnya, hakim PTUN tersebut juga hakim karir yang berkepentingan terhadap permohonan ini, jelas menjatuhkan derajat para hakim itu sendiri.
Hakim yang memeriksa putusan ini secara tidak langsung berkepentingan agar Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut dapat memperkuat tafsir subjektif pemohon agar seleksi Hakim Agung tereduksi menjadi sekedar proses seleksi terhadap hakim karir. Pada titik ini, tentu saja para hakim yang memeriksa perkara tersebut melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana yang disampaikan di atas.
Kedua, soal semangat awal reformasi peradilan sebagaimana maksud konstitusi. Membaca ulang proses perubahan konstitusi, keberadaan Komisi Yudisial sebenarnya bertujuan untuk menguatkan independensi hakim, dengan melakukan seleksi terhadap orang-orang yang berintegritas untuk menjadi Hakim Agung. Komisi Yudisial kemudian dapat mencari orang-orang di luar pengadilan yang berintegritas dan cakap untuk memperkuat dan mereformasi Mahkamah Agung secara kelembagaan. Hal itu terlihat dari masuknya sejumlah Hakim Agung non-karir, seperti Bagir Manan, Artidjo Alkaustar, Komariah Emong Sapardja, dan sejumlah hakim non-karir lainnya.
Upaya Binsar yang ‘meminjam’ tangan PTUN untuk menutup akses calon hakim non-karir sebagaimana yang dimaksud diawal reformasi akan menutup pintu orang-orang berkualitas dan berkompenten di luar hakim karir untuk mengabdi kepada kepentingan publik.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan (PBHI, YLBHI, LBH Jakarta, ICW, ICJR Indonesian Legal Roundtable dan Kode Inisiatif) meminta kepada hakim yang memeriksa perkara:
1) Menghentikan proses guggatan yang sedang berjalan di PTUN;
2) Meminta Komisi Yudisial untuk memerika potensi adanya pelanggaran etik yang serius terhadap hakim yang memeriksa perkara.
Jakarta, 20 Februari 2019
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan
(PBHI, YLBHI, LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch, Institute Criminal Justice Reform, Indonesian Legal Roundtable dan Kode Inisiatif)
Kontak Person:
M Isnur (YLBHI) : 0815-1001-4395
Erwin Natosmal (ILR) : 081392147200
Tama S Langkun (ICW) : 0811-9937-669
Arif Maulana (LBH Jakarta) : 0817-256-167
Veri Junaidi (Kode Inisiatif) : 0852-6300-6929
Julius Ibrani (PBHI) : 0813-1496-9726