Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali mengadakan persidangan sengketa tata usaha negara antara Wadah Pegawai (WP) KPK vs Pimpinan KPK pada Kamis (31/1). Persidangan kali ini memasuki agenda mendengar keterangan saksi fakta dan ahli dari pihak penggugat, dalam hal ini Wadah Pegawai KPK.
Hadir sebagai saksi fakta Rasamala Aritonang (Kabag Perundang-undangan dan Produk Hukum KPK) dan Dian Novianthi (eks-Kabiro SDM KPK). Sementara Bivitri Susanti serta Oce Madril dihadirkan WP KPK ke persidangan sebagai saksi ahli.
Selang sesaat saksi fakta disumpah oleh Majelis Hakim untuk diambil keterangannya, pihak tergugat yang diwakili oleh Biro Hukum KPK menyampaikan surat keberatan terkait dihadirkannya Rasamala Aritonang sebagai saksi fakta, dengan alasan dapat menimbulkan conflict of interest. Namun, Majelis Hakim menganulir keberatan dari tergugat. Majelis Hakim beranggapan kehadiran Rasamala Aritonang sendiri sebagai saksi sudah sah, dan tidak memenuhi kualifikasi larangan sebagaimana termaktub pada Pasal 88 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Dalam keterangannya sebagai saksi fakta, Rasamala Aritonang menyampaikan bahwa dirinya sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembentukan dan penerbitan SK 1426. Selain itu, ia menyampaikan bahwa dalam praktiknya, Biro Hukum kerap melibatkan pihak-pihak terkait bila ada suatu rancangan peraturan yang hendak dibentuk. Selain itu, ia juga menyampaikan SOP pembentukan produk hukum di internal KPK, dll.
“Saya tidak tahu SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK itu dibuat. Tiba-tiba ada begitu saja. Padahal dalam SOP dan praktiknya, suatu produk hukum, baik SK, Perkom, dan lainnya, selalu melibatkan saya, minimal ada pemberitahuan kepada saya. Namun SK Tata Cara Mutasi Pegawai ini tiba-tiba ada, dan terbit begitu saja,”ungkap Rasamala.
Rasamala sendiri diperiksa di persidangan hingga kisaran satu jam. Setelah ia menyelesaikan sesinya, pemeriksaan dilanjutkan kepada Dian Novianthi (eks Kabiro SDM KPK). Saat terbitnya SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK, Dian Novianthi yang saat itu menjabat Kabiro SDM KPK, pun mengalami hal serupa: tidak dilibatkan dalam proses pembentukan maupun penerbitan.
“Biasanya, kebijakan kepegawaian yang berlaku di KPK, mesti melewati, diinisiasi, dan dikonsultasikan ke pihak kami, dalam hal ini Biro SDM KPK. Tapi ini tidak. SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK tiba-tiba ada, langsung dipesan oleh Pimpinan KPK itu sendiri. Ini jelas-jelas pelanggaran SOP pembentukan regulasi internal KPK sebenarnya,” ujar Dian.
Selain tidak dilibatkan dalam perumusan dan penerbitan kebijakan SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK, Dian Novianthi sendiri merupakan salah seorang korban kebijakan mutasi pegawai sewenang-wenang.
“Biasanya, mutasi itu dilakukan kepada orang yang gradenya turun, atau melakukan suatu pelanggaran berat di lingkungan pekerjaan. Nah dalam kasus ini tidak. Nilai grade saya relatif masih bagus, yakni “B”, tapi mengapa saya pun kena mutasi juga,” imbuh Dian.
Pasca Dian Novianthi memberikan keterangannya sebagai saksi fakta, tampak di pertengahan agenda sidang, pihak Tergugat menyerahkan 2 alat bukti susulan: 1) Perkom KPK tentang Produk Hukum KPK 2018, dan; 2) Perpim KPK No. 1 Tahun 2019. Pihak Tergugat menyatakan bahwa SK Tata Cara Mutasi Pegawai telah dicabut oleh ketentuan Pasal 42 ayat (2) Perpim KPK No. 1 Tahun 2019.
Bivitri Susanti tampil memberikan keterangannya sebagai ahli teori perundang-undangan di persidangan. Dalam sesinya tersebut, Bivitri yang merupakan dosen STHI (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia) Jentera dan Peneliti PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) menyampaikan beberapa hal terkait: hirarki aturan perundang-undangan, status produk hukum internal lembaga negara, posisi produk hukum berupa keputusan yang isinya mengatur dll.
“Misalnya ketika ada suatu pejabat negara, menerbitkan Surat Keputusan, namun isinya justru mengatur (seperti peraturan, red), ya itu sebenarnya telah terjadi kesalahan formil dalam pembentukan produk hukum. Artinya, produk hukum tersebut dibuat dengan tidak cermat, dan telah melanggar tertib hukum,” ujar Bivitri.
Selain permasalahan kesalahan dalam penerbitan SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK, Bivitri juga menyinggung problem pencabutan SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK oleh Perpim KPK No. 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karir Pegawai KPK. Menurutnya, mestinya SK dicabut oleh SK lagi, minimal oleh pejabat yang sama, atau pejabat atasannya.
“Lagi-lagi terjadi kesalahan, dimana SK justru dibatalkan oleh peraturan. Idealnya, SK dicabut oleh SK, peraturan dicabut oleh peraturan. Tapi ini justru dicabut dengan jubah produk hukum yang berbeda. Sebenarnya secara formil, pencabutan tersebut tidaklah terjadi, karena SK masih berlaku sepanjang SK tersebut belum dicabut oleh SK. Pada posisi ini, maka sebenarnya telah terjadi ketidakpastian hukum terkait keberlakuan SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK maupun Perpim KPK No. 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karir Pegawai KPK ,” imbuh Bivitri.
Setelah Majelis Hakim PTUN mengajukan pertanyaan yang cukup ‘bertubi-tubi’ kepada Bivtri Susanti, sesi pemeriksaan keterangan ahli dilanjutkan kepada Oce Madril, yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Direktur PUKAT UGM.’
Dalam kesempatannya, Oce menerangkan beberapa hal terkait format formil produk hukum berupa SK, definisi KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara) yang diperluas, status badan hukum pada Wadah Pegawai KPK, prinsip-prinsip AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik) yang mesti dipenuhi dalam pembentukan produk hukum/kebijakan, status keberadaan SK 1426 vis a vis Pasal 42 ayat 2 Perpim KPK No 1 Tahun 2018, kekhususan lembaga KPK, dll.
“Kalau ada misalnya, pejabat negara yang mengeluarkan kebijakan, namun ia menyampingkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, tidak transparan, tidak akuntabel, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, dll., patut diduga dalam tindakannya tersebut telah terjadi penyalahgunaan wewenang,” ungkap Oce.
Terkait status badan hukum Wadah Pegawai KPK, Oce mengungkapkan bahwa pembentukan Wadah Pegawai KPK telah diamanatkan oleh PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia, meskipun tidak bersifat wajib. Namun karena Wadah Pegawai KPK telah berdiri sejak 2007, menjalankan kegiatan dengan maksud dan tujuan terkait kepentingan kepegawaian, memiliki anggota, dan memiliki aset, mestinya Wadah Pegawai KPK adalah badan hukum.
“Keberadaan Badan Hukum itu mesti diartikan sebagai perkumpulan orang perorangan, yang memiliki maksud tujuan tertentu, dan memiliki kepentingan hukum. Dalam hal ini, Wadah Pegawai KPK memiliki kriteria itu. Artinya bila kepentingan hukum Wadah Pegawai KPK dilanggar, mestinya Wadah Pegawai KPK memiliki hak yang setara di hadapan hukum untuk mempertahankan kepentingan hukumnya tersebut, termasuk di pengadilan ini,” ujar Oce.
Ketika ditanya oleh Majelis Hakim terkait problem pencabutan SK Tata Cara Mutasi Pegawai KPK oleh Perpim KPK No. 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karir Pegawai KPK, Oce menjawab bahwa mestinya SK dicabut oleh SK. Kalau SK dicabut oleh Peraturan, dan juga sebaliknya, maka hal ini berbahaya dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam praktik berhukum. []