Kami, LBH Jakarta dan LBH Bandung mengkritik keras rencana Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung yang menerapkan sistem peradilan cepat khusus terhadap kasus penyalahguna narkotika. Sebagaimana ramai dipublikasikan, Kejari Bandung membuat ‘terobosan hukum’ (baca: menerabas hukum) dengan memangkas durasi waktu persidangan dari dakwaan hingga putusan hingga kurang dari 14 hari dengan alasan untuk mewujudkan prinsip peradilan cepat, murah, biaya ringan. Upaya Kejaksaan Negeri Bandung tersebut pun diperparah dengan adanya persetujuan dari pihak Kejaksaan Agung. LBH Jakarta dan LBH Bandung memandang bahwa ide ini bermasalah karena akan mengakibatkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Setidaknya terdapat 4 (empat) permasalahan dalam pelaksanaan acara peradilan cepat khusus terhadap kasus penyalahguna narkotika tersebut, yaitu:
- Peradilan Cepat Pengguna Narkotika Melanggar Pasal 205 KUHAP
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, proses pemeriksaan cepat adalah proses pemeriksaan terhadap perkara pidana yang diancam pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau dengan denda sebanyak-banyaknya Rp 7500 (Tindak Pidana Ringan/Tipiring) dan perkara penghinaan ringan (Pasal 205 ayat [1] KUHAP). Sedangkan peraturan terkait penyalahguna narkotika diatur dalam undang-undang khusus yaitu Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu: Setiap Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, jelas bahwa kasus narkotika bukan merupakan jenis tindak pidana ringan yang dapat diproses dalam proses pemeriksaan cepat
2. Peradilan Cepat Menghambat Hak Terdakwa untuk Membela Diri dan Mendapatkan Proses Peradilan yang Adil (Fair Trial)
Dalam sebuah persidangan setiap terdakwa berhak untuk membela diri dengan menghadirkan alat bukti yang dapat meringankan tuntutan pidana mereka, mendapatkan rehabilitiasi atau bahkan membebaskan mereka dari dakwaan/tuntutan jaksa. Tak terkecuali pada kasus penyalahguna narkotika. Pada prakteknya, selama ini terdakwa kasus narkotika acapkali tidak mendapatkan akses bantuan hukum dan akhirnya tidak mampu membela diri. Terlebih, untuk menghadirkan bukti-bukti yang mendukung pembelaan mereka seperti; surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik, surat keterangan dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim dan tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran narkotika. Dengan proses peradilan acara biasa saja masih banyak terdakwa penyalahguna narkotika yang kesulitan untuk menghadirkan bukti-bukti yang meringankan tersebut. Dengan adanya kebijakan proses peradilan cepat bagi penyalahguna narkotika, mereka akan lebih mengalami kesulitan untuk mengajukan pembelaan-pembelaan yang maksimal. Dengan demikian upaya pencarian kebenaran materiil sebagai prasyarat diperolehnya keadilan sulit akan tercapai.
3. Maraknya Kasus Salah Tangkap dan Praktek Pungutan Liar Kasus Narkotika
Tak dapat dipungkiri dalam penanganan kasus penyalahguna narkotika, marak terjadi praktek penjebakan (cepu) yang mengakibatkan terjadinya kasus salah tangkap maupun praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap penyalahguna narkotika yang ingin mendapatkan rehabilitasi. Fenomena tersebutlah yang menyebabkan para penyalahguna narkotika mengalami kesulitan untuk mendapatkan rekomendasi untuk di rehabilitasi, mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak atas kesehatan dalam hal ini rehabilitasi. Hal tersebut sangat mempengaruhi keputusan Hakim dalam mengadili suatu perkara penyalahguna narkotika yang pada akhirnya lebih banyak memutus pidana penjara dari pada mengirim para penyalahguna narkotika ke panti-panti rehabilitasi. Dengan demikian jika proses peradilan cepat ini dibiarkan akan semakin minim kesempatan control terhadap proses penegakan hukum yang mengedepankan prinsip keadilan dan praduga tidak bersalah;
4. Peradilan Cepat Penyalahguna Narkotika akan Menambah Masalah Overcrowing Rumah Tahanan dan Bertentangan dengan semangat rehabilitasi penyalahguna narkotika
Dengan adanya banyak penyalahguna narkotika yang mendapatkan hukuman pidana penjara, akan semakin memperkeruh permasalahan overcrowing yang meskipun telah menjadi salah satu prioritas utama pemerintah dalam paket kebijakan hukum, namun belum juga menjadi solusi. Sebagaimana yang kita ketahui saat ini kasus penyalahguna narkotika merupakan penyumbang sepertiga dari keseluruhan jumlah narapidana. Pendekatan pemerintah saat ini seakan mudah mengirim pelaku tindak pidana ke dalam penjara, meski beberapa kasus para penyalahguna narkotika sebenarnya bisa dikirim ke pusat-pusat rehabilitasi. Mengingat jumlah pengguna narkotika yang sangat besar di dalam penjara, semestinya pemerintah perlu berhenti mengirimkan penyalahguna narkotika ke penjara dan meninjau kembali pendekatan hukuman penjara terhadap penyalahguna narkotika demi menghindari permasalahan overcrowing di dalam penjara. Meski di satu sisi, adanya semangat untuk tidak melulu memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkoba melainkan melakukan rehabilitasi telah muncul dalam sistem hukum Indonesia. Hal itu tercantum dalam Pasal 54, Pasal 127, Pasal 128 Undang Undang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010, namun demikian dalam prakteknya ancaman pemenjaraan selalu menghantui para penyalahguna narkotika.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mendesak:
- Jaksa Agung harus mengevaluasi diri dan memerintahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung untuk menghentikan kebijakan sistem peradilan cepat khusus terhadap kasus penyalahguna narkotika yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) dan prinsip hak atas peradilan yang adil sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable right);
- Komisi Kejaksaan harus memberikan teguran keras dan evaluasi terkait kebijakan Kejaksaan yang menyalahi ketentuan perundang undangan;
- Mahkamah Agung untuk memerintahkan seluruh Hakim dijajarannya untuk menolak pelaksanaan peradilan cepat penyalahguna narkotika yang menyalahi Hukum Acara Pidana Indonesia dan prinsip peradilan yang adil;
- Kejaksaan harus berbenah diri agar tidak lagi muncul ‘terobosan hukum’ yang justru kontraproduktif dengan upaya penegakan hukum pidana yang mengedepankan prinsip peradilan yang adil berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku;
Jakarta, 23 Januari 2019,
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- Arif Maulana – LBH Jakarta (0817256167)
- Ayu Eza Tiara – LBH Jakarta ( 082111340222)
- Willy Hanafi- LBH Bandung (081283000212)
- Harold Aron – LBH Bandung (081223531782)