Kamis (24/1), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang sengketa TUN soal SK rotasi dan mutasi pegawai KPK antara Wadah Pegawai KPK (penggugat) dengan Pimpinan KPK (tergugat) dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi ahli dari pihak pengugat. Dalam kesempatan mendatangkan saksi ahli ke persidangan, WP KPK meminta Ir. Dinarwulan Sutoto, M.Si, Direktur Utama PT. Hardisc Pratama, perusahaan yang fokus dalam konsultasi sistem manajemen sumber daya manusia.
Dalam pemeriksaan di persidangan, pria yang akrab dipanggil Toto ini menjelaskan, bahwa bangunan sistem manajemen sumber daya manusia tidak terlepas dari nilai, arah, tujuan, dan kultur suatu organisasi. Artinya, ia dibangun berdasarkan bangunan, fondasi, dan cetak biru organisasinya itu sendiri.
Dalam konteks KPK, Toto menambahkan bahwa bangunan sistem manajemen sumber daya manusia diarahkan pada prinsip berdirinya lembaga KPK itu sendiri yang hendak memberantas korupsi, yang berpatok pada nilai integritas, akuntabel, transparan, profesional, dsb.
“Asas serta nilai akuntabilitas, profesionalitas dan transparansi menjadi penting dalam hal pembangunan sistem manajemen sumber daya manusia di KPK-RI. Asas dan nilai ini harus terlaksana baik dalam level perencanaan strategis maupun level eksekusi operasional manajemen sumber daya manusia di KPK,” ungkap Toto yang juga pernah menjadi konsultan sistem manajemen sumber daya manusia di KPK-RI pada periode 2007-2009.
Selain itu, Toto juga menambahkan bahwa setiap kebijakan kepegawaian yang dilakukan oleh suatu lembaga, harus berdasarkan data. Dalam hal ini data yang dimaksud adalah informasi mengenai kinerja pegawai.
“Pada dasarnya semua kepegawaian, termasuk didalamnya adalah mutasi dan rotasi, secara manajemen SDM yang ideal harusnya dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ini dimulai dan berbasiskan data atau informasi evaluasi pegawai yang mau dimutasi atau rotasi, secara objektif tentunya. Kalau kebijakan mutasi dan rotasi tidak transparan dan didasari oleh alasan subjektif, karena atasan suka dan tidak suka, biasanya institusi itu tidak akan bisa bertahan lama, hal itu akan merusak cita-cita dan tujuan organisasi,” imbuh Toto.
Toto menegaskan bahwa tindakan mutasi dan rotasi berdasarkan hasil riset mengenai sumber daya manusia, idealnya dilakukan setelah seseorang menjabat lebih dari 2 tahun, karena bila telah melewati masa 2 tahun kerja, pegawai akan cenderung bosan dan perlu mengeksplore hal baru.
“Paling tidak biasanya orang itu 2 tahun kerja, sudah mulai jenuh. Dalam kasus tertentu, juga terjadi di tahun ke-5. Mestinya, kebijakan mutasi maupun rotasi, mengacu juga pada periodesasi waktu kerja ini,” tegas Toto.
Dalam konteks terbitnya Keputusan Pimpinan KPK No. 1426 Tahun 2016 tentang Tata Cara Mutasi di Lingkungan KPK, Toto sebagai Ahli Manajemen Sumber Daya Manusia menilai bahwa pengaturan tata cara mutasi didalamnya rawan kesewenang-wenangan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, dalam konteks cita-cita ideal pembangunan sistem manajemen sumber daya manusia yang ideal di KPK, Keputusan Pimpinan KPK tersebut menegasikan prinsip transparansi, akuntabel, dan profesionalitas dalam melakukan eksekusi teknis operasional kebijakan kepegawaian.
Menurut Toto, persoalan kebijakan manajemen sumber daya manusia, yang didalamnya termasuk kebijakan mutasi dan rotasi, pada dasarnya sah-sah saja dilakukan oleh organisasi ataupun pimpinan organisasi. Namun ia mesti didasarkan pada assessment dan data yang valid, karena bila kebijakan tersebut tanpa diiringi data, pada akhirnya akan merugikan tujuan dan kepentingan besar organisasi itu sendiri. (Wayan Bimanda)