Perjuangan Hukum di Persimpangan[1]
Hizkia Yosias Polimpung[2]
Membaca Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2018 bertajuk “Demokrasi di Pesimpangan” yang dikemas dengan apik oleh tim penyusun, tentunya akan memberi kesan miris dan ironis. Bagaimana tidak, superhero masyarakat kecil di bidang perjuangan hukum dan HAM ini mencatat cerita-cerita yang didominasi dengan kemuraman kondisi hukum dan kekuasaan di tanah air di satu sisi, dan kelemahan dan ketakberdayaan masyarakat kecil di-plokoto oleh penguasa dan pemodal melalui instrumen-instrumen hukum. Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan politik, perkotaan, perburuhan, jender, dan masalah-masalah non-struktural, tampak masyarakat berada pada posisi terpojok, defensif, bahkan tidak jarang, diburu oleh palu hukum yang dimainkan oleh penguasa. LBH Jakarta, sekalipun dengan segala keterbatasan personil, stamina dan pundi-pundi finansial, tetap teguh berdiri di pihak rakyat tidak hanya untuk membela, melainkan juga mengedukasi kita semua dalam perjuangan di ranah hukum.
Dulu, saat saya masih seorang atlit basket dan juga coach tim basket, saya percaya bahwa “a good defense is the best offense”—sebuah pertahanan yang baik adalah serangan terbaik. Pertahanan yang baik, demikian keyakinan saya, akan membuat musuh kelelahan dan pada akhirnya lengah: lengahnya musuh adalah kesempatan kita untuk melakukan serangan balik. Sedemikian teguhnya saya meyakini itu sampai saya menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Bertahan dengan sebaik-baiknya dan secerdik-cerdiknya, demi melancarkan serangan yang mematikan.
Namun demikian, mengaplikasikan keyakinan tersebut di ranah perjuangan sosial politik kemasyarakatan, nampaknya hal tersebut sulit untuk berlaku. Belakangan baru saya sadari, slogan tersebut mengasumsikan stamina yang relatif setara alias 11-12 di antara kita dan kubu lawan. Bahwa dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, adalah mungkin bagi lawan untuk bisa kelelahan dan akhirnya bertindak sembrono, yang akhirnya menjadi momen bagi kita untuk menyerang balik dengan serangan cepat. Berbeda dengan konteks pertandingan bola basket, perjuangan di ranah sosial politik menghadap-hadapkan rakyat dengan penguasa dan pemodal. “Stamina” kedua kubu ini, sialnya, tidaklah 11 12, melainkan terjadi jurang yang teramat-sangat-sangat-sangat jauh. Berjuta-juta kali rakyat bertahan, namun tetap saja penguasa dan pemodal tidak pernah tampak kelelahan. Beribu-ribu kali kita menunggu ke-sembrono-an lawan untuk kemudian melakukan serangan balik, yang terjadi malah lebih parah: bukan hanya sembrono, melainkan penguasa malah semakin brutal dalam kesembronoannya. Seiring dengannya, pertahanan apa-adanya dari rakyat justru bisa diporak-porandakan dengan mudah, yang akhirnya meninggalkan kita, rakyat, dalam keadaan yang demor (demoralisasi, patah arang) dan stamina dan semangat yang semakin habis.
Di tengah pesimisme rakyat yang kemudian melahirkan pragmatisme-pragmatisme politik tak bervisi, blunder, dan justru malah semakin memperkuat basis legitimasi “demokratis” bagi kesewenang-wenangan kekuasaan negara dan modal, LBH Jakarta masih tetap bertahan dengan stamina yang susah-payah dikonservasikannya. Untuk ini, tentu saja kita harus memberikan penghormatan dan apresiasi setinggi-tingginya. Namun demikian, pertanyaan mendesak yang harus mulai kita pertanyakan dan cari solusi strategisnya adalah: sampai kapan kita akan bertahan? Kita tidak bisa terus bertahan, sekalipun seandainya dengan slogan saya ‘pertahanan yang baik adalah serangan terbaik’ yang ternyata tidak bisa kita terapkan di konteks perjuangan sospol rakyat ini. Sekalipun mungkin sudah terlambat, namun saya kira kita harus mulai memikirkan strategi-strategi yang lebih ofensif.
Tradisi réalpolitik di sini menjadi penting untuk dipertimbangkan. Yaitu bahwa hukum selalu adalah alat kekuasaan. Hukum adalah sesuatu yang netral, yang menjadi alat untuk menusuk siapapun yang diinginkan oleh pemegangnya. Giorgio Agamben pernah mengatakan dalam kajian-kajiannya mengenai konsep pengecualian dan kedaruratan yang menjadi penopang kekuasaan sang berdaulat, yaitu bahwa hukum adalah suatu means without ends, suatu alat tanpa tujuan; artinya, tujuan-tujuan hukum ditentukan dari siapapun yang mengerahkannya. Ayat-ayat hukum, bagi Agamben dalam kajiannya tentang yuris tersohor abad 20, Carl Schmitt, dan aplikasinya dalam nazisme, tidaklah ubahnya mainan anak kecil: para pengacara memain-mainkan ayat-ayat hukum layaknya balita bermain-main dengan kaleng kosong bekas susunya. Oleh karena itu, poin penting di sini adalah: siapa yang memainkan hukum.
Sampai saat ini, perjuangan rakyat di ranah hukum didominasi oleh postur bertahan. Hal ini yang dapat kita lihat dengan sangat jelas dalam lembaran-lembaran CATAHU 2018 ini. Demikian pula LBH selalu terdesak untuk bertahan bagi rakyat. Itulah mengapa mungkin kita perlu merumuskan strategi yang terencana, terkoordinasikan dan sistematis untuk perjuangan di ranah hukum yang mulai berbalik menyerang. Dengan penguasaan hukum yang amat-sangat mumpuni oleh para aktivis dan pengacara LBH, saya kira perlu untuk mulai menggunakan pemahaman yang persis sama tersebut untuk menyerang balik.
Namun demikian, serangan balik ini tentunya tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sporadis. Ia harus menjadi suatu strategi yang sistematis dan bahkan struktural. Perencanaan strategi gerakan, sekalipun dilakukan di keseharian dan di tingkatan mikro, perlu diorganisir secara sistematis dan visioner. Dan saya yakin kita semua tahu, visi pergerakan tersebut adalah: pembebasan rakyat pekerja dari kesewenang-wenangan penguasa dan pemodal, dan juga perebutan kendali negara neoliberal ini ke arah kendali rakyat luas yang demokratis dan ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat dan maksimalisasi pengembangan diri dan peradaban bangsa Indonesia. Perjuangan panjang, tentu saja. Namun perjuangan yang panjang tersebut tentu perlu ditata dalam rangkaian strategi dan milestones capaian yang terukur.
Sekalipun dalam ruang dan waktu yang terbatas, saya memberanikan diri untuk memantik beberapa gagasan strategis umum. Pertama, layaknya pertahanan dalam basket, tentunya pertahanan rakyat di bidang hukum memerlukan stamina dan nafas yang panjang. Itulah mengapa pertahanan di bidang ekonomi perlu dilakukan dengan cara secara aktif bahkan ofensif untuk mulai memperjuangkan titik-titik kemandirian ekonomi rakyat. Salah satu celah, misalnya yang terpikirkan oleh pengalaman sedikit saya, dengan memanfaatkan aturan hukum mengenai Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur (Kepmenakertrans 102 th. 2004) untuk menagih hak-hak pekerja terhadap (amat-sangat) banyak perusahaan yang gemar memainkan jam kerja fleksibel. Sektor media, misalnya, salah satu target empuk untuk eksperimentasi strategi ini.
Strategi pertama di atas, tentunya tidak akan lengkap, bahkan menjadi sia-sia apabila hasil dari serangan-serangan hukum dari rakyat ini tidak dikelola, diorganisir dan dimanfaatkan secara strategis bagi visi pembebasan rakyat. Akan jadi percuma, misalnya, upah lembur yang sudah diperjuangkan justru habis untuk hasrat konsumeris pekerja itu sendiri. Sehingga kemudian perlu dipikirkan strategi kedua untuk menadah hasil dari strategi pertama. Saya tidak memiliki ide lain selain membangun koperasi dan usaha bersama. Hal ini amat krusial karena ia bisa menjadi sarana bagi pekerja untuk memupuk kemandirian ekonominya, yang sebangun dengan pembebasannya: dari relasi upah eksploitatif, dari kesewenang-wenangan bos dan penguasa, dan dari tirani pasar.
Gagasan Bantuan Hukum Struktural yang ditawarkan dan telah menjadi spirit perjuangan LBH saya kira adalah langkah penting dalam konteks strategis yang coba saya tawarkan. Ia menjadi pintu untuk masuk lebih jauh mengenai gagasan strategis yang lebih struktural: tidak hanya bertahan dari kekuasaan dan pelemahan struktural dan sistemik, melainkan juga untuk mulai mengupayakan perebutan kekuasaan di ranah struktural melalui jalur-jalur legal. Advokasi hukum-hukum yang memberi karpet merah bagi usaha-usaha bersama dan kolektif rakyat dengan demikian perlu dicanangkan sebagai program yang secara aktif diinisiasi oleh LBH Jakarta.
Tentu saja pemikiran lebih mendalam dan lebih terperinci mutlak untuk dilakukan. Namun demikian, setidaknya melalui risalah ini gagasan akan perjuangan rakyat hukum yang sedang di persimpangan jalan ini bisa untuk diteruskan. Dengan LBH yang kuat dan otonom, tentunya perjuangan rakyat di ranah legal untuk mewujudkan visi pembebasan rakyat pekerja tidak lagi menjadi halusinasi di siang bolong. Akhirnya, rakyat pekerja subyek hukum Indonesia, bersatulah! [HYP]
[1] Risalah tanggapan untuk “Demokrasi di Persimpangan”: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2018, Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 19 Desember 2018.
[2] Dr. Hizkia Yosias Polimpung. Peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor di IndoProgress. Pengajar di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan Paramadina Graduate School. Kontak: [email protected].