Rilis Pers No. 1399/SK-ADV-PMU/XII/2018
25 November 2018 Pos Pengaduan Korban Pinjaman Online LBH Jakarta yang dibuka sejak awal November 2018 resmi ditutup. Hingga pos pengaduan ditutup, LBH Jakarta telah menerima 1330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut diantaranya :
1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
4. Penyebaran data pribadi.
5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
8. Biaya admin yang tidak jelas.
9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman.
12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.
Sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam. Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini merupakan pelanggaran hak atas privasi.
Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48.48% pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya. Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online.
Selain itu, pada pengaduan yang disampaikan oleh korban aplikasi pinjaman online, LBH Jakarta juga masih menemukan berbagai pelanggaran pidana dalam bentuk pengancaman, fitnah, penipuan bahkan pelecehan seksual. Ironisnya, sebagian besar peminjam hanya memiliki pinjaman pokok senilai dibawah Rp.2.000.000. Tindak pidana yang mereka alami menjadi “harga” yang sangat mahal yang harus mereka “bayar”.
Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman oline yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.
Berdasarkan pada hal tersebut, LBH Jakarta:
-
- Mendesak OJK untuk menyelesaikan semua permasalahan hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online;
- Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas semua tindak pidana yang dilaporkan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online;
- Mendesak penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk menghentikan semua bentuk praktik buruk yang dilakukan hanya untuk menarik keuntungan dan memiskinkan masyarakat
Jakarta, 9 November 2018
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta