SUAKA mengecam kebijakan pemerintah Australia yang mengalihkan para pencari suaka yang menggunakan perahu ke Papua Nugini atau Nauru. SUAKA merupakan jaringan yang memperjuangkan hak-hak pengungsi yang beranggotakan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah organisasi dan individu. SUAKA berpendapat bahwa Pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan yg sangat berpotensi akan mengancam kehidupan dan hak asasi manusia (HAM) para pencari suaka. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan Pemerintah Australia bahwa kebijakan terbarunya dalam menghadapi pencari suaka merupakan keberhasilan. Keberhasilan dalam hal ini harus dimaknai sebagai keberhasilan melanggar hak asasi para pencari suaka, berhasil semakin membahayakan nasib mereka yang gagal dilindungi oleh negara asalnya. Kebijakan yang diambil juga mendiskriminasi karena hanya berlaku bagi pencari suaka yang datang melalui perahu/kapal laut.
Seperti diberitakan banyak media, Pemerintah Australia mengambil kebijakan bahwa pencari suaka yang ingin mencari perlindungan ke Australia melalui perahu akan diarahkan menuju Papua Nugini atau Nauru. Selanjutnya para pencari suaka akan diproses, dan apabila berhasil mendapat status pengungsi, akan seterusnya menetap di Papua Nugini atau Nauru. Kebijakan ini melanggar prinsip universalitas HAM yang mengatur bahwa HAM berlaku untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Sebagai negara anggota Konvensi PBB 1951 mengenai Status Pengungsi, Pemerintah Australia telah berkomitmen dan berkewajiban untuk melindungi hak-hak pencari suaka yang memasuki wilayahnya tanpa mendiskriminasi. Ada kesengajaan Pemerintah Australia untuk mengurangi komitmennya melaksanakan Konvensi 1951 tersebut.
Dari data yang dipublikasikan Departemen Imigrasi Australia, sejak September 2012 – Maret 2013 rata-rata 89,4% dari pencari suaka yang memasuki wilayah Australia melalui laut memenuhi elemen pengungsi sebagaimana diatur dalam Konvensi Pengungsi, sementara yang melalui udara hanya 54,7% yang memenuhi elemen pengungsi. Hal ini berarti bahwa mayoritas pencari suaka yang menggunakan perahu menghadapi situasi yang sedemikian membahayakan mereka sehingga terpaksa meninggalkan negaranya karena menghadapi persekusi berdasarkan ras, agama, kewarganegaraan, atau keanggotaan pada kelompok sosial atau politik tertentu. Kebijakan yang diambil Pemerintah Australia berpotensi semakin membahayakan para pengungsi. Seandainya mereka memiliki pilihan lain, tentunya para pencari suaka akan memilih jalur udara, tidak akan memilih jalur air menggunakan perahu yang seringkali kondisinya tidak manusiawi.
Selain itu, Pemerintah Australia secara sadar telah menempatkan para pengungsi di negara dengan kondisi yang jauh lebih buruk dibandingan Australia. Berdasarkan Indeks Pembangunan yang disusun UNDP (Badan PBB untuk Pembangunan) yang menilai pendapatan per kapita nasional, ketersediaan pendidikan dan harapan hidup rata-rata, Australia menduduki peringkat 2 sementara Papua Nugini berada di peringkat 156. Papua Nugini saat ini belum memiliki kapasitas dan keahlian nasional untuk menerima pengungsi, dan masih memberlakukan penahanan bagi pencari suaka. Selain itu, 50% perempuan di Papua Nugini menjadi korban perkosaan, dan fasilitas penampungan pencari suaka di Pulau Manus juga kerap dikritik karena kondisinya yang tidak melindungi HAM, kesehatan dan kesejahteraan pencari suaka.
Nauru juga tidak memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan Papua Nugini. Baru-baru ini para pencari suaka di Nauru melakukan kerusuhan di tempat penahanan, menunjukkan tidak nyamannya fasilitas yang disediakan untuk para pencari suaka. Kejadian ini juga menambah negativitas pandangan penduduk setempat terhadap pencari suaka. Nauru juga sedang berjuang mengatasi tingginya tingkat pengangguran, sehingga tidak memungkinkan untuk menampung pengungsi untuk menetap disana. Untuk itu, SUAKA mendesak agar Pemerintah Australia membatalkan MoU yang ditandatangani dengan Papua Nugini dan Nauru dan mencabut kebijakan yang mengalihkan para pencari suaka yang datang dengan perahu ke Papua Nugini atau Nauru.