LBH Jakarta kembali menyelenggarakan KALABAHU (Karya Latihan Bantuan Hukum) Buruh untuk pengurus serikat-serikat pekerja di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Bertempat di Gedung LBH Jakarta Lantai 1, KALABAHU Buruh 2018 ini dibuka dengan Stadium Generale yang bertajuk “Melawan Oligarki: Membangun Kekuatan Gerakan Buruh yang Demokratis dan Berprinsip pada Nilai Hak Asasi Manusia” (17/11).
Dalam pembukaan acara tersebut, Rasyid Ridha Pengacara Publik LBH Jakarta dari bidang Perburuhan selaku Ketua Panitia KALABAHU Buruh 2018, membuka kegiatan ini dengan menyampaikan beberapa pesan para peserta Kalabahu Buruh 2018.
“LBH Jakarta dalam 5 tahun terakhir selalu adakan Kalabahu Buruh, untuk mengembangkan kapasitas pengetahuan aktivis serikat buruh terutama dalam hal isu bantuan hukum dan hak asasi manusia, khususnya di isu ketenagakerjaan. Kedepannya, Kalabahu Buruh ini juga bisa menjadi ajang silaturahmi dan konsolidasi antar pengurus serikat buruh yang berbeda-beda organisasinya,” ungkap Rasyid dalam pembukaan Kalabahu Buruh.
Dalam sambutannya tersebut, Rasyid juga menambahkan bahwa Kalabahu Buruh adalah medium transfer pengetahuan yang tidak hanya mencakup pada isu perburuhan, namun juga isu-isu lain di luar isu perburuhan, yang pada dasarnya saling memiliki keterkaitan.
Pasca sambutan dari Rasyid selaku Ketua Panitia Kalabahu Buruh 2018, Arif Maulana Direktur LBH Jakarta yang berhalangan hadir, turut menyampaikan sambutan melalui video jarak jauh kepada para peserta.
“KALABAHU Buruh yang diselenggarakan ini agar rakyat memiliki satu ikatan yang kuat, tujuan yang sama, yang bisa dijadikan alat pemersatu gerakan rakyat, yakni pemahaman mengenai hak asasi manusia dan demokrasi”, ujar Arif Maulana yang pada saat Kalabahu Buruh dimulai, beliau berada di Solo.
Dalam pesannya tersebut, Arif menjelaskan bahwa pada dasarnyahak asasi manusia adalah narasi yang harus terus disampaikan. Menurut Arif buruh tidak hanya memperjuangkan permasalahannya dalam kerangka ekonomi, tapi dalam kerangka hak asasi manusia secara keseluruhan.
“Hal ini penting, karena harapannya isu buruh bisa menjadi isu rakyat keseluruhan,” tambah Arif.
Memahami Bagaimana Oligark Bekerja Melalui Skema Relokasi Pabrik
Setelah pesan jarak jauh dari Direktur LBH Jakarta disampaikan, pada layar presentasi, sesi acara dilanjutkan pada sesi Stadium Generale. Tampak Syarif Arifin, Peneliti LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) menjadi pembicara pada sesi diskusi, dengan tajuk “Memahami Rezim Oligarki dalam Kasus Relokasi Pabrik”.
Pada diskusi tersebut, Syarif menyampaikan bahwa relokasi pabrik tidak hanya masalah kesulitan ekonomi perusahaan semata, atau masalah disparitas standar upah minimum. Lebih jauh lagi, relokasi pabrik adalah skema desain industrialisasi massif ke kota-kota baru.
“Kita bisa lihat hal ini misalnya di Kendal Jawa Tengah, atau Lamongan Jawa Timur. Wilayah yang hendak dijadikan kawasan industri pabrik ini, ya dikatakan hendak dijadikan wilayah industri, tidak lagi menjadi wilayah desa atau perkampungan. Imbasnya jelas, akan ada peralihan mata pencaharian lokal penduduk sekitar. Namun juga akan berdampak pada hal lain: masalah lingkungan, perubahan budaya, dan sebagainya”, ujar Syarif.
Menurut Syarif, relokasi pabrik disebabkan oleh banyak hal. Masalah daya pasokan listrik, pasokan air, daya tampung bangunan dan lingkungan, akses transportasi, dan sebagainya, adalah masalah utama mengapa ada relokasi pabrik. Masalah-masalah tersebut dianggap oleh korporasi akan berdampak pada proses akumulasi modal dan keuntungan pengusaha. Untuk itu, maka pihak korporasi melakukan upaya-upaya relokasi pabrik.
“Namun satu hal yang mesti diketahui, bahwa tidak ada regulasi terkait perlindungan hak buruh dalam skema relokasi pabrik. Karena semenjak awal, regulasi mengenai relokasi tidak memberikan posisi yang untung untuk menjamin hak buruh. Disinilah dapat dibaca, bahwa pebisnis dan politisi saling bergandengan dalam merumuskan kebijakan yang tidak pro-rakyat, yang dampaknya memiskinkan rakyat. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai praktik oligarki,” imbuh Syarif.
Di satu sisi, Syarif melihat bahwa dalam kondisi industrialisasi yang serba tak menentu, gerakan buruh terpecah belah. Beberapa diantaranya memutuskan untuk terlibat politik praktis, yang tak jarang turut berkolaborasi dengan aktor oligarki. Hal ini justru menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan massa basis serikat buruh terhadap gerakan buruh itu sendiri.
Pada posisi ini, Syarif menawarkan bahwa hal yang mesti dilakukan terlebih dahulu untuk melakukan perlawanan terhadap oligarki adalah dengan mensolidkan serikat, menjalankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di internal serikat buruh itu sendiri.
“Demokrasi itu kan mengakomodir pendapat atau ekspresi orang. Kita coba lihat, teman-teman anggota buruh senangnya apa? Mancing? Main game online? Atau apa? Nah medium-medium seperti itu yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menjalin pertemuan intensif, sambil mendiskusikan permasalahan perburuhan dan solusinya,” ungkap Syarif.
Stadium Genelare ini berjalan lancar dan disimak secara antusias oleh para peserta diskusi. Tampak juga ada beberapa dari peserta diskusi Stadium Generale memberikan tanggapan atas paparan Syarif Arifin ini, dalam hal problem oligarki dan demokratisasi serikat buruh. Di akhir kesempatannya, Syarif Arifin berpesan bahwa Kalabahu Buruh 2018 dapat menjadi fasilitas awal bagaimana di kemudian hari dapat mendemokratisasi dan mensolidkan kekuatan gerakan buruh. [] (Acid)