Selasa 13 November 2018 menjadi tanggal bersejarah bagi perjuangan Andro dan Nurdin. Perjuangan dua pengamen ini bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) mendapatkan ganti rugi akibat kejadian salah tangkap yang dialami mendapat titik terang.
Lima tahun lalu, Andro dan Nurdin dituduh melakukan pembunuhan, padahal mereka berdua bukanlah pelakunya. Andro dan Nurdin hanyalah pengamen yang kebetulan melihat mayat korban pembunuhan itu di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan. Andro dan Nurdin lantas melaporkannya ke seorang satpam dekat lokasi kejadian lalu polisi datang. Bukannya mencari pelaku yang sebenarnya, polisi justru menjadikan Andro dan Nurdin sebagai tersangka.
Dua pengamen miskin ini dipaksa mengaku oleh kepolisian dengan cara disiksa. Penyidik divisi kejahatan dan kekerasan Polda Metro Jaya melakukannya untuk mendapatkan pengakuan Andro dan Nurdin. Andro dan Nurdin mengalami penyiksaan secara fisik dan mental, di ruang tahanan, mereka dipukul dan disetrum.
Lima tahun mencari keadilan
Andro dan Nurdin menjalani peradilan sejak tahun 2013. 1 tahun sudah mereka menjalani masa penahanan hingga pada akhirnya, Andro dan Nurdin diputus oleh Hakim tidak bersalah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tahun 2014. Jaksa kemudian mengajukan kasasi, 1 tahun kemudian MA mengeleuarkan putusan menguatkan putusan sebelumnya. Pada Juli 2016, Andro dan Nurdin kembali didampingi LBH Jakarta mengajukan permohonan ganti kerugian atas kasus salah tangkap yang menimpanya. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima permohonan pra peradilan tersebut dan Hakim pun memutus Andro dan Nurdin berhak mendapatkan hak atas ganti kerugian masing-masing sebesar 36 juta rupiah karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili dengan keliru.
Pasal 14 ayat 6 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik diterangkan ganti rugi yang diberikan terhadap korban salah tangkap merupakan hak asasi korban sebagai bentuk perlindungan dari negara. Meski telah diputus, ada masalah dalam proses pencairan uang ganti rugi Andro dan Nurdin sebagai korban salah tangkap. Kementrian Keuangan (Kemenkeu) menurut Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHP ayat 1 menyatakan “pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan dibidang keuangan berdasarkan Petikan Putusan oleh penetapan Pengadilan”. Selanjutnya, Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHP ayat 2 menyatakan pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima.
Upaya perubahan dari kasus Andro dan Nurdin
Pasal 11 PP 92 Tahun 2015 Ayat 3 juga menjelaskan ketentuan mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam advokasi yang dilakukan oleh LBH Jakarta terungkap Kementrian Keuangan belum memiliki PMK tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Korban Salah Tangkap. Inilah titik pangkal masalah lambatnya pembayaran ganti rugi korban salah tangkap. LBH Jakarta lewat bantuan hukum struktralnya mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk segera membuatkan aturan turunan berupa PMK tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian Korban Salah Tangkap.
Shaleh Al Ghifari, pengacara publik LBH Jakarta pendamping Andro dan Nurdin menyatakan bahwa tujuan LBH Jakarta mendampingi kasus Andro dan Nurdin ialah agar ada perubahan kebijakan. “Bantuan Hukum yang dilakukan oleh LBH Jakarta terhadap Andro dan Nurdin sebagai korban salah tangkap tidak fokus untuk mengejar ganti rugi, melainkan juga untuk melakukan perubahan struktural agar korban-korban selanjutnya tidak ada. Setidaknya jika masih ada, harus segera mendapatkan pemulihan.” terangnya di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat (13/11).
Untuk menembus masalah-masalah struktural dalam pencairan dana ganti rugi tersebut LBH Jakarta telah menempuh berbagai langkah. Salah satunya, mengajukan permohonan sengketa non-litigasi ke Kemenkumham. Selain itu, sebelumnya LBH Jakarta juga telah mengadukan keterlambatan pembayaran oleh Kementrian Keuangan ini ke Ombudsman RI serta mengadukan Kemenkeu ke RDPU dengan Komisi III DPR-RI. Lebih dari itu, LBH Jakarta mendorong kepolisian dan kejaksaan serius dan hati-hati dalam menangani sebuah perkara. Jangan sampai salah tangkap orang terus berulang. LBH Jakarta setiap tahun menangani kasus salah tangkap, terhitung ini membuktikan kepolisian dan kejaksaan selama ini belum berubah.
Shaleh Al Ghifari mengungkapkan LBH Jakarta tetap mendesak Kemenkeu untuk segera menerbitkan PMK Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian Korban Salah Tangkap. “Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan tidak berbelit dan berkelit dalam mencairkan dana ganti rugi korban salah tangkap.” tandasnya. Dari perjuangan Andro dan Nurdin, masyarakat bisa mengambil pelajaran jika mengalami kesewenang-wenangan oleh kepolisian bisa menggugat melalui praperadilan. Meskipun berbelit-belit dan memakan waktu, akhirnya ganti rugi dapat juga dicairkan. (Riyan)