Siaran Pers
Nelayan Pulau Pari Dibebaskan Pengadilan Tinggi Jakarta,
Kriminalisasi Harus Dihentikan
Koalisi Selamatkan Pulau Pari menghimbau kepada Kepolisian Resor Kepulauan Seribu untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Pulau Pari. Pekan lalu 3 (tiga) orang nelayan Pulau Pari diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Koalisi juga mendesak kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk membebaskan Sulaiman, mantan Ketua RW di Pulau Pari yang akan menghadapi sidang putusan perkara kriminalisasi pada 6 November 2018 mendatang.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas 3 (tiga) orang nelayan Pulau Pari: Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bahrudin alias Edo melalui Putusan Nomor 242/PID.B/2018/PT.DKI tanggal 5 September 2018 dan Putusan Nomor 243/PID.B/2018/PT.DKI tanggal 5 September 2018 setelah sebelumnya mereka dipenjarakan selama 6 bulan dengan tuduhan melakukan pemerasan (Pasal 368 ayat (1) KUHP) terhadap pengunjung Pantai Pasir Perawan di Pulau Pari karena mengumpulkan donasi sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa:
1. Tidak ada saksi yang melihat terjadi ancaman kekerasan dalam kejadian tersebut;
2. Tindakan pengumpulan donasi oleh masyarakat setempat bukanlah pelanggaran karena tidak ada dasar hukumnya;
3. Perbuatan mengumpulkan donasi bukanlah memeras atau mencari keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain karena merupakan uang pengganti atas jasa yang diberikan oleh masyarakat setempat sehingga para pengunjung merasa nyaman (misalnya sarana air bersih, penerangan, dll.) yang memang belum disediakan oleh Pemerintah Daerah.
4. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah mengelola, namun masyarakat perlu memenuhi kebutuhan hidup, maka pengelolaan oleh masyarakat harus diutamakan.
Masih ada perkara kriminalisasi lainnya di Pulau Pari: Sulaiman sedang menunggu putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara setelah dilaporkan oleh Pintarso Adijanto, konglomerat yang merasa memiliki tanah di Pulau Pari melalui sertifikat yang muncul secara tiba-tiba pada 2015. Kepemilikan tanah yang dimiliki Pintarso Adijanto telah dimentahkan oleh Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang telah menyatakan 62 (enam puluh dua) Sertipikat Hak Milik (SHM) dan 14 (empat belas) SHGB (Sertipikat Hak Guna Bangunan) di Pulau Pari maladministrasi.
Hampir 90 persen tanah di Pulau Pari sudah diklaim oleh perorangan maupun korporasi. Semua sertifikat muncul tanpa adanya pengukuran tanah sebagaimana wajib berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Padahal, secara nyata tanah tersebut sudah lama dimiliki dan ditempati secara efektif oleh warga Pulau Pari. Warga sudah melaporkan upaya perampasan tanah ke Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Agraria dan Tata Ruang, namun sampai saat ini tindak lanjut atas pelaporan warga. Negara masih tutup mata atas upaya perampasan ruang-ruang hidup rakyat.
Oleh karena itu, Koalisi Selamatkan Pulau Pari mendesak:
1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk membebaskan Sulaiman dari segala tuduhan;
2. Pemerintah (Gubernur DKI Jakarta, Menteri Agraria dan Tata Ruang, dll.) turun tangan mengatasi perampasan tanah berkedok kriminalisasi ini dan melindungi warga;
Jakarta, 28 Oktober 2018
Koalisi Selamatkan Pulau Pari
Narahubung:
Sulaiman: 083819382770
Sahrul: 081284449546 (FP3)
Nelson: 081396820400 (LBH Jakarta)
Tubagus: 085693277933 (Walhi Jakarta)
Fatilda: 0812-6076-7526 (Walhi Eknas)