Tepat pada peringatan Hari Anti Hukuman Mati 10 Oktober 2018, Koalisi Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) yang terdiri dari Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, dan Human Right Working Group (HRWG), melakukan Screening Film “Novum” dan “Menanti Keadilan” serta diskusi publik di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera).
Kegiatan tersebut dinamakan Dignity for All #hakuntukhidup. Diskusi publik yang diadakan di STHI Jentera, dihadiri oleh 5 (lima) pembicara yaitu, Anugerah Rizky Akbari selaku dosen pidana STHI Jentera, Amiruddin Al Rahab selaku Komisioner Komnas HAM, kakak kandung Santa terdakwa narkotika yang dijatuhi hukuman mati, Yosua Octavian selaku pengacara Santa, dan Shaleh Al Ghiffari perwakilan dari LBH Jakarta.
Diskusi publik itu dibuka dengan menonton film dan dilanjutkan dengan pembukaan diskusi publik oleh Kakak Santa yang bercerita kasus Santa. Santa merupakan seorang supir tembak yang dituduh sebagai bandar narkotika yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Dihadapan para mahasiswa STHI Jentera kakak kandung Santa bercerita soal adiknya yang mengalami ketidakadilan selama menjalani proses hukum.
“Dalam kasusnya Santa mengalami peradilan sesat, mulai dari penyiksaan pada proses penyidikan hingga penyusunan pledoi yang hanya diberikan waktu 30 menit dengan alasan masa penahanan akan habis,” cerita kakak kandung Santa yang namanya tidak ingin disebutkan.
Yosua, kuasa hukum Santa menjelaskan bahwa dalam upaya melawan unfair trial, baru dapat ditempuh melalui mekanisme pengaduan. Seperti, misalnya melaporkan polisi yang melakukan penyiksaan ke Propam dan lain sebagainya. Namun sayangnya masih terdapat masalah dalam upaya itu yaitu berupa kecenderungan penerima pengaduan yang tidak aktif dalam menangani pengaduan.
“Cenderungnya mereka hanya menerima aduan lalu mengeluarkan hasil dari aduan, diterima atau tidak tanpa memberikan feedback kepada pengadunya,” tambah Yosua.
Shaleh Al Ghiffari menambahkan bahwa banyak kasus selain Santa yang juga sering mengalami penyiksaan dan bahkan tidak mendapatkan hak akses memilih pengacara yang dipilih sendiri. Bahkan terdapat satu kasus saat dibacakan tuntutan hukuman mati oleh jaksa, hakim terkaget dan menyuruh terdakwanya untuk menggunakan pengacara. Hal itu dikarenakan oleh putusan yang dapat batal demi hukum jika tuntutan diatas 5 tahun penjara namun tidak didampingi pengacara.
Penting bagi pemerintah jika ngotot masih ingin menerapkan hukuman mati, maka harus memberikan akses bantuan hukum yang berbobot bagi mereka yang dikenakan hukuman mati,” jelas Gifar.
Sementara perwakilan dari Komnas HAM Amiruddin Al Rahab meminta agar hukuman mati dimoratorium terlebih dahulu. Menurutnya hukuman tersebut harus ditinjau terlebih dahulu seluruh prosesnya termasuk criminal justice system yang ada di Indonesia. Peninjauan tersebut juga termasuk pendampingan oleh pengacara, pemberian penerjemah yang berkualitas dan pemenuhan hak-hak lain.
“Hal seperti itu lah yang dibutuhkan dalam proses kroscek pada sistem criminal justice di Indonesia. Dari situ dapat diketahui bahwa apakah memang hukuman mati itu harus ditinjau ulang dan lain sebaginya,” ujar Amiruddin.
Dari perspektif akademis dijelaskan oleh Rizky Anugerah Rizky Akbari selaku dosen pidana STHI Jentera, bahwa di negara maju dan berkembang hukuman mati dari tahun ke tahun telah berkurang bahkan dihapuskan. Hal itu dapat dilihat sejak tahun 2010, dalam data dari Amnesty Internasional. Tercatat bahwa hanya ada 96 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kejahatan. Lalu pada 2017 data itu naik menjadi 160 negara. Indonesia sendiri memiliki kemajuan terhadap hukuman mati, dilihat dari Rancangan Kitab Undang-undang Pidana (RKUHP) yang mulai mengubah hukuman mati dari hukuman pokok menjadi hukuman yang sifatnya alternatif.
Namun sayangnya hukuman mati ini masih terdapat dalam rumusan pasal dalam RKUHP. Hal itu menyebabkan jaksa masih akan terbawa suasana pikirnya yang beranggapan bahwa hukuman mati ini benar-benar masih ada.
“Jika pemerintah Indonesia benar serius dalam menghapuskan hukuman mati, seharusnya frasa hukuman mati itu dihapuskan dalam rumusan pasal dan dalam RKUHP dirumuskan mengenai bentuk-bentuk kondisi yang sangat ketat kapan hukuman mati dapa diberikan,” terang Rizky.
“Soal moratorium yang dilakukan oleh Komnas HAM sudah baik dan akan jauh lebih baik jika dilakukan moratorium pada penuntutan. Karena ketika penuntutan itu dihentikan, maka itu merupakan salah satu sumbatan dalam mencegah hukuman mati diterapkan,” tutup Rizky. (Ahmad Budi)