Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) menyerukan Pemerintah Indonesia agar segera mengakhiri praktik hukuman mati. HATI juga mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan terlibat aktif dalam mengampanyekan penolakan praktik hukuman mati. Hal tersebut disampaikan dalam rangka hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober. Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI) terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat dan Reprieve (Penangguhan Hukuman).
Sementara para keluarga korban dan mantan korban hukuman mati melakukan konferensi pers di Kantor Kontras (09/10). Keluarga korban dan mantan korban tersebut adalah Yusman Telaumbauna mantan terpidana hukuman mati atas kasus pembunuhan, Siti, Istri dari Zulfikar Ali terpidana hukuman mati yang dituduh membawa Narkoba jenis Heroin seberat 300 gram, dan Lukman adik dari Santa terpidana hukuman mati yang dituduh memiliki Narkoba jenis Sabu seberat 20 kg. Mereka melakukan konferensi pers yang tujuannya mendesak pemerintah agar lebih perhatian terhadap kondisi yang memprihatinkan dan tidak manusiawi yang dialami para terpidana mati.
Dalam konferensi Pers tersebut, Yusman dengan terbata-bata karena belum fasih berbahasa Indonesia menceritakan kisahnya perihal vonis mati yang pernah ia terima. Menurut cerita Yusman, ia telah mengalami ketidakadilan sejak awal proses hukum berlangsung, mulai dari penyidikan. Yusman juga bercerita soal penyiksaan yang ia terima dari polisi.
“Waktu Aku ditangkap di Riau, sampai di Nias, mendapat siksa dari polisi, aku pernah dipukul polisi ketika proses interogasi satu pertanyaan aku mendapat satu kali pukulan, ketika aku dibawa ke lokasi kejadian untuk olah tempat kejadian perkara, aku juga dipukul,” kenang Yusman.
Putri Kanesia (Koordinator Bidang Advokasi KontraS) yang juga sebagai kuasa hukum Yusman, selanjutnya menambahkan cerita dari Yusman. Menurutnya, Yusman yang pada saat kejadian diperkirakan berusia 15-16 tahun dipaksa untuk mengakui bahwa usianya 19 tahun.
“Polisi tidak percaya pengakuan Yusaman karena pada saat itu dia tidak punya dokumen identitas untuk membuktikannya,” jelas Putri.
Saat polisi bertanya kepada Yusman, Yusman telah menyatakan bahwa usianya 15. Bahkan Yusman telah meminta polisi tersebut untuk ke kampungnya dan menanyakan langsung kepada keluarga atau aparat desanya. Namun polisi tidak mau melakukan apa yang Yusman katakan. Akhirnya, Yusman tetap diberikan berkas yang menyatakan usianya 19 tahun. Bahkan dihadapan jaksa, Yusman tetap mengaku bahwa ia berusia 16 tahun.
“Kasus Yusman membuktikan bahwa masih buruknya Pengadilan di Indonesia. Masih banyak orang-orang yang tidak tahu tentang sebuah peristiwa pembunuhan kemudian disiksa, dianiaya untuk mengakui bahwa dia yang melakukan pembunuhan padahal ia tidak pernah melakukannya,” terang Puteri.
Usia Yusman yang masih 16 tahun pada saat itu tidak membuat polisi memperlakukan Ia sebagai anak di bawah umur, tetapi dilakukan seperti orang dewasa.
“Dalam UU SPPA, anak dibawah umur 18 tahun tidak boleh dihukum mati, jangankan dihukum mati, dihukum seumur hidup pun tidak boleh, maksimal 10 tahun, tapi kemudian Yusman sampai divonis hukuman mati,” tegas Puteri.
Dalam penelusuran kasusnya, diketahui bahwa Yusman merupakan saksi yang melihat peristiwa pembunuhan berencana. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh tukang ojek di Gunung Sitoli, Nias. Oleh para pelaku pembunuhan, Yusman dan kakaknya yang melihat peristiwa pembunuhan tersebut diancam akan dibunuh juga jika ia melaporkan kejadian yang ia lihat ke polisi. Mendengar ancaman tersebut Yusman dan kakanya kabur, tiga bulan kemudian ia ditemukan oleh pihak kepolisian Polres Nias di rumah orangtuanya di Riau. Sampai kemudian akhirnya Yusman ditangkap dan mengalami penyiksaan oleh kepolisian dipaksa mengakui pembunuhan tersebut.
Zulfikar Ali Terpidana Mati yang Ditangkap tanpa Barang Bukti
Dalam konferensi pers tersebut, datang juga Siti, istri terpidana mati Zulfikar Ali. Warga negara Pakistan tersebut dituduh memiliki 300 gram Heroin. Siti menceritakan kronologis kasus yang menimpa suaminya. Hingga saat ini Ia masih teguh berjuang untuk mengembalikan nama baik suaminya yang Ia yakini bahwa suaminya tidak bersalah. Dalam kisahnya, Siti bercerita bahwa pada saat penangkapan suaminya tidak ditemukan barang bukti sama sekali. Namun polisi tetap membawa suaminya, dan melakukan tindakan penyiksaan agar suaminya mengakui kepemilikan Narkoba tersebut. Dalam menjalani proses hukum, Zulfikar yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik juga tidak mendapatkan bantuan.
“Suami saya tidak mengetahui apa tuntutannya, apa hukumannya karena tidak didampingi pengacara. Dari awal penangkapan sampai sidang pertama tidak ada penasehat hukum sama sekali, suami saya juga disuruh menandatangani surat pernyataan, yang berisi suami saya akan menanggung sendiri perbuatannya,” cerita Siti.
Pada saat Zulfikar mendapatkan penerjemah, ternyata hal tersebut juga tidak membantu Zulfikar sama sekali. Penerjemah justru menjandi kepanjangan tangan polisi yang memaksa Zulfikar untuk menandatangani surat yang ia tidak paham isinya. Banyak kejanggalan dalam proses hukum yang Zulfikar jalani. Selain tidak ditemukannya barang bukti, pada saat penangkapan juga polisi tidak menunjukan surat penangkapan. Surat penangkapan dikirimkan oleh polisi tiga hari kemudian melalui tukang ojek ke keluarga Zulfikar.
Akibat ketidakjelasan informasi penangkapan terhadap Zulfikar, selama beberapa hari Siti sempat kehilangan suaminya.
“Jadi saya tidak tahu suami saya dibawa kemana dalam beberapa hari. Dari hari pertama, kedua, dan hari ketiga saya cari suami saya ke semua kantor polisi tidak ada yang tahu. Suami saya tidak ada di kantor polisi manapun. Jadi, beberapa hari itu saya tidak tahu suami saya dibawa kemana. Saya cari ke Polres Bogor tidak ada, saya disuruh cari ke Jakarta oleh Polres Bogor, saya datang ke Polda Metro Jaya juga tidak ketemu, tidak ada nama suami saya. Beberapa hari kemudian baru ada kabar namun saya tetap tidak dapat menemuinya karena masih proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Beberapa saat kemudian baru bisa ketemu suami, suami saya dalam keadaan babak belur, pipinya berdarah, matanya dan seluruh wajah bengkak akibat pukulan dari petugas kepolisian, semuanya memar dan tidak bisa berjalan,” cerita Siti sambil menangis.
Eva, dari Imparsial yang juga salah satu penasehat hukum terpidana hukuman mati Zulfikar menjelaskan bahwa kasus yang dialami Zulfikar memiliki banyak kejanggalan. Menurutnya, sejak awal penangkapan Zulfikar di bulan November 2014 tidak ada bukti sama sekali. Lebih lanjut, Eva juga menjelaskan bahwa sebelum Zulfikar ditangkap, pada bulan Agustus ada seseorang berinisial C yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena membawa Heroin seberat 300 gram. Orang tersebut dalam penangkapannya sempat menyebutkan nama Zulfikar Ali, tiga bulan kemudian Zulfikar ditangkap di rumahnya.
“Zulfikar yang ditangkap di rumahnya, tanpa ada barang bukti apapun, jadi itu adalah tuduhan yang memaksa oleh pihak kepolisan, bahkan sebenarnya tuduhan itu telah dicabut oleh C di atas notaris, alasan kenapa ia menyebutkan nama Zulfikar Ali, karena pada waktu itu Ia diiming-imingi dan dipaksa untuk menyebutkan nama Zulfikar, dan itu sudah dicabut kembali oleh dia. Sayangnya ketika kita mengajukan bukti ini ke pengadilan tidak diterima oleh Majelis Hakim,” terang Eva.
Tentang Hukuman Mati
Di tempat yang sama Pengacara Publik LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari menjelaskan, bahwa hukuman mati adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hukuman mati melanggar hak hidup yang tidak bisa diambil dalam keadaan apapun. Meskipun dalam ketentuan Internasional masih dimungkinkan diterapkan hukuman mati tetapi menurutnya hanya untuk kejahatan yang serius seperti Narkoba dan Genosida.
Dalam praktik hukuman mati di Indonesia, selalu ditemui penyiksaan didalamnya. Tersangka sejak awal telah mendapat intimidasi, mendapatkan siksa baik fisik maupun psikis oleh penyidik polisi, sehingga mereka tidak dalam keadaan bebas untuk bisa menerangkan apa yang menjadi fakta sebenarnya. Ketika mereka dituduhkan dengan ancaman hukuman mati mereka juga tidak didampingi oleh pengacara yang memadai.
“Melihat berbagai cerita diatas, sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan dan menghapuskan hukuman mati di Indonesia, juga mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen yang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh vonis hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia, mengingat banyaknya fakta yang ditemukan terkait kejanggalan kasus maupun dugaan rekayasa yang dialami oleh terpidana mati,” tutup Gifar. (Anggi)