Operasi Kewilayahan Mandiri Kepolisian Republik Indonesia yang terjadi jelang perhelatan Asian Games 2018 lalu telah menimbulkan banyak korban. 5 (lima) dari 15 (lima belas) korban telah melaporkan kasusnya kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Latar yang menjadi banyaknya laporan tersebut adalah kejanggalan yang terjadi dalam penembakan terhadap korban (yang diduga melakukan kejahatan jalanan). 2 keluarga korban akhirnya melaporkan kasus ini secara pidana bersama LBH Jakarta.
Keluarga korban yang didampingi oleh LBH Jakarta melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri pada 18 September 2018. Tidak hanya itu, keluarga korban bersama LBH Jakarta juga telah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM pada 12 September 2018. Keluarga korban berharap pelaku penembakan dapat diketahui dan diusut sesegera mungkin.
“Banyak sekali kejanggalan yang ada, mulai dari barang-barang kaya KTP, Dompet, HP tidak dikasihin lagi. Terus soal uang dan motor yang mereka kasih, lalu bilang jangan menuntut kami. Banyak deh yang janggalnya makannya saya meminta kejelasan untuk kasus anak saya,”. jelas Paryanto ayah dari Boby salah satu korban yang ditembak oleh polisi karena diduga menjambret.
Namun sayang, tidak serupa di Komnas HAM, di Bareskrim laporan itu mendapat penolakan. AKBP Dwi yang menerima laporan keluarga korban LBH Jakarta beralasan bahwa penembakan yang dilakukan oleh anggota polisi harus dilaporkan terlebih dahulu ke Propam. Ia menyarankan laporan ke Propam untuk diusut pelakunya guna menentukan bentuk hukuman yang akan pelaku terima.
“Jika Propam memutuskan itu merupakan pelanggaran kode etik maka akan diadili secara etik dan jika diputuskan pidana maka baru akan dilimpahkan ke Bareskrim Polri,” kata AKBP Dwi kepada keluarga korban dan LBH Jakarta.
AKBP Dwi juga menyebutkan bahwa anggota Polri tidak kebal hukum. Menurutnya, bisa saja anggota polisi diajukan langsung ke Bareskrim, dengan catatan perbuatan pidana yang ia lakukan jelas, seperti dilihat oleh banyak saksi.
“Kalau kasus ini kan terkait prosedural jadi harus ke Propam terlebih dahulu,” tambah Dwi.
Oleh keluarga korban dan LBH Jakarta penolakan tersebut tidak langsung diterima. LBH Jakarta menilai penolakan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan dilakukan dengan tujuan seolah ingin melindungi anggota polisi. Shaleh Al Ghifari Pengacara Publik LBH Jakarta yang menangani kasus extra judicial killing ini mengungkapkan, menurut informasi yang ia terima, pada saat kejadian korban telah tidak berdaya. Namun, polisi tetap menembak korban.
“Telah terjadi peristiwa dimana korban telah tidak berdaya dengan keadaan lengan sudah diborgol dan telah diamankan oleh warga setempat. Seharusnya tidak perlu lagi anggota Polri melakukan penembakan untuk melumpuhkannya. Apalagi sampai harus ditembak tepat di bagian dada. Hal itu menunjukan bahwa tindakan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polri tidak sesuai prosedur penggunaan senjata api sebagaimana terdapat pada Pasal 5 Perkap No. 1 Tahun 2009,” terang pria yang akrab disapa Gifar ini.
Gifar juga menyatakan bahwa hal tersebut menunjukan anggota Polri seolah tidak ingin repot mengurus dugaan kasus yang dianggap kelas teri, sehingga memilih untuk menggunakan jalan pintas dalam mengadilinya dengan menembak pelakunya.
“Padahal di publik, Polri mengklaim aksi ini sebagi bentuk efek gentar kepada para pelaku kejahatan yang kejam,” tambah Gifar.
Di sisi lain keluarga korban juga menyebutkan bahwa mereka tidak diperkenankan melakukan visum, tidak boleh melihat tubuh jenazah anggota keluarganya, dan tidak boleh menuntut kejadian tersebut. Tidak hanya itu beberapa kali juga keluarga korban sempat mendapatkan sejumlah uang tunai dan satu unit sepeda motor dari pihak kepolisian.
“Gimana tidak curiga, saya sebagai keluarganya aja tidak boleh melihat jenazah anak saya, sampe di rumah pun diikutin polisi, mereka juga mengasih uang tunai dan satu motor yang diberikan langsung oleh polisinya,” terang Paryanto ayah dari salah satu korban.
Dalam Perkap No. 1 Tahun 2009 diatur detail terkait penggunaan senjata api oleh anggota polisi. Pasal 5 dalam Perkap itu menerangkan terkait tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Dalam tahapan itu ternyata penggunaan senjata api berada pada tahap terakhir dari 6 tahapan yang ada. Senjata api baru dapat digunakan hanya pada saat perilaku dari pelaku kejahatan atau tersangka dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat.
Selain itu jika anggota polisi ingin menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian, anggota harus memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam pasal 3 Perkap No. 1 tahun 2009. Terutama pada asas Proposionalitas yang menyebutkan bahwa “…penggunaan kekuatan (dalam tindakan keolisian) harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota polisi…”. Artinya jika perlawanan yang datang kepada polisi itu lebih kecil resikonya maka tidak perlu menggunakan senjata api.
Selanjutnya keluarga korban bersama LBH Jakarta berencana akan melaporkan kasus ini ke Divisi Propam Polri untuk diusut terkait pelanggaran prosedural.
“Ya selanjutnya kita ke propam untuk melaporkan terkait pelanggaran prosedural, juga mungkin kita akan selipkan laporan terkait penolakan kita di Bareskrim oleh AKBP DWI,” tutup Gifar. (Budi-Jentera)