Bendera merah putih berkibar seraya turut memberikan semangat untuk warga Desa Kebun Sayur yang pada tanggal 17 Agustus 2018 lalu tengah merayakan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di atas rumput sebuah lapangan desa mereka, berkumpul seluruh warga Kebun Sayur. Terlihat mereka mengenakan pakaian adat asal daerah masing-masing. Berbicara soal warga Kebun Sayur sama dengan berbicara tentang keberagaman yang ada di Indonesia. Di Kebun Sayur terdapat warga yang berasal dari suku Batak, Nias, Betawi, Sunda, Jawa, Ambon, Kupang. Mereka adalah suku-suku yang mewarnai keberagaman warga Desa Kebun Sayur.
Gelak tawa dan canda menghiasi rangkaian acara yang disusun oleh Panitia Acara 17 Agustus. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa melebur menjadi satu dalam perayaan tersebut. Suasana hangat terbentuk ditengah teriknya matahari, dan disela ancaman penggusuran paksa di Desa Kebun Sayur.
Semenjak tahun 2009, warga Kebun Sayur hidup dalam selimut rasa takut akan penggusuran. Ancaman akan penggusuran paksa itu datang dari Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) yang secara sepihak melakukan klaim terhadap kepemilikan lahan di Desa Kebun Sayur. Padahal, sejak tahun 1980-an Warga Desa Kebun Sayur mengaku telah mendiami dan menggarap lahan seluas 5,3 hektar itu. Lahan yang pada mulanya berbentuk semak belukar, kemudian digarap oleh warga menjadi kebun sayur. Hingga sebelum tahun 2009 tak ada yang mengusik lahan tersebut, sampai pada akhirnya klaim lahan secara sepihak itu datang bersamaan dengan berbagai ancaman didalamanya.
“Lapangan ini saya pikir menjadi saksi perjuangan warga untuk mempertahankan lahan 5,3 hektar yang saat ini menjadi rumah tidak hanya satu suku, tapi beraneka suku, ras, agama hidup berdampingan secara rukun di kebun sayur. Ini juga sebagai penanda warga walau berbeda-beda tetapi tetap satu dalam kesatuan dan keberagaman,” jelas Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta yang menjadi pendamping warga Kebun Sayur.
Momentum Perayaan hari kemerdekaan Indonesia digunakan oleh warga Kebun Sayur untuk menunjukan semangat perjuangan sekaligus perlawanan dari warga Desa Kebun Sayur. Perjuangan untuk mempertahankan hak atas tempat tinggal dan perlawan untuk tindakan semena-mena yang dilakukan pihak luar (Perum PPD-red).
“…bahwa hak kita tidak hanya tentang hak tinggal namun juga soal air, pendidikan, kesehatan yang susah diakses oleh kita kaum miskin, kaum yang termarjinalkan, kaum yang tidak dihitung dan yang terpinggirkan,” ungkap perwakilan warga Kalibaru yang tergabung dalam JRMK saat hadir bersolidaritas meyemangati Warga Kebun Sayur yang sedang berjuang.
“…kami berencana untuk menggelar sebuah rangkaian acara yang berlokasi di Desa Kebun Sayur ini. Acaranya bermacam-macam, mulai dari diskusi publik, pendidikan hukum, sekolah Matalangi dari BEM FHUI, sampai acara-acara musik dan seni akan diadakan disini. Acara ini yang kami tujukan untuk seluruh kalangan yang ingin membangun solidaritas bersama kami, warga Desa Kebun Sayur. Ini juga merupakan langkah kebersamaan Warga Desa Kebun Sayur yang kami tuangkan dalam rangkaian acara ini. Harapan kami, Desa Kebun Sayur dapat memberikan kontribusi lebih untuk bangsa kita,” Asep, perwakilan BEM FH UI yang terlibat aktif mendampingi warga Kebun Sayur berjuang.
Warga Kebun Sayur mengawali rangkaian acara pada pukul 7 pagi, kemudian disusul dengan pementasan drama kolosal yang menceritakan tentang keberagaman warga Desa Kebun Sayur. Pada waktu jam menunjukan angka 12, warga berkumpul untuk menikmati santap siang bersama. Kebersamaan terasa kental saat itu. Kemudian acara dilanjutkan dengan penampilan pentas tari khas daerah masing-masing. Ada pula yang membacakan puisi, menyanyi dan tak lupa perlombaan tumpeng juga turut andil meramaikan perayaaan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia di Desa Kebun Sayur, Ciracas. Hingga diakhir acara sekitar pukul 4 sore semua warga berkumpul di lapangan untuk ber-joged bersama. (Anisa)