Siaran Pers
Senin 23 Juli 2018. Pada pagi hari pengguna commuterline Jabodetabek dihebohkan dengan antrian panjang di hampir seluruh stasiun KRL. Penumpukan penumpang di pintu masuk dan keluar beberapa stasiun tersebut dipicu pembaruan dan pemeliharaan sistem tiket elektronik (e-ticketing) yang dilakukan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) sejak Minggu (22/7/2018) pagi.
Pengguna KRL tidak bisa menggunakan uang elektronik atau kartu multi-trip, sebagai gantinya pengguna KRL harus mengantri membeli tiket kertas seharga Rp3.000,00. Pada awalnya pembaruan dan pemeliharaan sistem ini ditargetkan selesai pada pukul 11.00 WIB Minggu, 22 Juli 2018. Tetapi pada kenyataannya hingga hari Senin pagi belum juga selesai. Pihak PT. KCI baru merespon permasalahan ini pada hari Minggu malam melalui siaran pers menyampaikan permohonan maaf dan mengumumkan bahwa akan diberlakukan tiket kertas pada hari Senin, 23 Juli 2018.
Dampaknya, terjadi kebingungan masal yang dialami oleh pengguna KRL. Di berbagai media sosial dan media elektronik, pengguna KRL protes akibat mendadaknya sosialisasi terhadap perubahan tersebut. Para penumpang yang rata-rata pekerja harus terlambat hingga 2-3 jam menuju tempat kerja yang direspon oleh PT. KCI dengan memberikan surat keterlambatan kerja pada para penumpang. Penggunaan tiket elektronik baru benar-benar pulih pada hari selasa (24/7).
Peristiwa tersebut tentu tidak dapat dianggap sepele. PT. KCI maupun Kementerian Perhubungan terlalu menyederhanakan jika menganggap masalah selesai dengan pemberian kompensasi tersebut. Pasalnya aktivitas warga Jabodetabek sudah tentu terhambat sebab KRL merupakan angkutan penopang utama mobilisasi penduduk di Jabodetabek. Berdasarkan data PT. KCI pada 2017, rata-rata penumpang per hari kerja mencapai 953.932, untuk hari libur mencapai 884.623 penumpang yang menggantungkan mobilitas pada KRL. Dari jumlah tersebut, penumpang tujuan Bogor/Depok mencapai 69,95%, tujuan Bekasi 13,46%, Serpong 11,87%, Tangerang 4,72%.
Peristiwa tempo hari hanyalah salah satu hal yang menunjukan belum maksimalnya pelayanan publik KRL Commuterline. Pengguna KRL masih marak mengeluhkan seringnya keterlambatan jadwal KRL baik dikarenakan gangguan sinyal maupun anjloknya kereta.[1] Problem kepadatan dan penumpukan penumpang di jam pergi-pulang kantor pun dirasakan banyak pihak belum bisa ditemukan solusinya.[2] Kasus pelecehan seksual di KRL pun masih marak. Selama 2017, LBH Jakarta mendapatkan 41 pengaduan dengan total 166 pencari keadilan terkait pelecehan seksual di KRL.
Dalam penelitian “Mereka Yang Dihambat” yang dipublikasikan pada 2015, LBH Jakarta juga menemukan bahwa sarana prasarana KRL di Jabodetabek masih tidak aksesibel untuk difabel. Dari 10 sampel stasiun KRL yang diteliti di wilayah Jabodetabek, seluruhnya tidak memenuhi standar yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, baik Kementerian Perhubungan maupun PT. KCI punya kewajiban untuk melakukan perbaikan demi menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang prima. Hal tersebut penting demi memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif sebagaiman dijamin dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik.
LBH Jakarta menemukan bahwa salah satu akar persoalan buruknya layanan KRL adalah ketiadaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) khusus untuk KRL meskipun telah diamanatkan oleh Pasal 15 huruf a UU Pelayanan Publik. Saat ini standar pelayanan KRL masih mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang dengan Kereta Api. SPM tersebut tidak membedakan antara kereta antar kota dengan kereta dalam kota seperti KRL meskipun karakteristik dan kebutuhan layanannya sangat berbeda. Perumusan mengenai kewajiban kompensasi penyedia jasa kepada pengguna pun lebih banyak mengatur kereta antar kota ketimbang dalam kota.
Atas dasar tersebut, LBH Jakarta mendesak Kementerian Perhubungan dan PT.KCI untuk segera memprioritaskan pembuatan Standar Pelayanan Minimal khusus untuk KRL dengan melibatkan stakeholder terkait dan elemen masyarakat sipil lainnya. SPM tersebut perlu dibuat dengan memperhatikan berbagai aspirasi dan keluhan yang dirasakan pengguna khususnya memperhatikan akses terhadap difabel dan keamanan terhadap kelompok minoritas dan rentan demi terselenggaranya penyelenggaraan pelayanan publik dasar yang tidak hanya layak namun juga adil.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
M. Charlie Meidino Albajili
Nelson Nikodemus Simamora
(021) 3145518
[1] https://tirto.id/kisah-klasik-penumpang-krl-se-jabodetabek-czuA
[2] https://tirto.id/laba-krl-tinggi-tapi-penumpang-masih-keluhkan-layanan-dasar-cgWv