Minggu, 28 Juli 2013, bertempat di jalan Diponegoro no. 74 Jakarta Pusat, LBH Jakarta resmi membuka posko pengaduan permasalahan Tunjangan Hari Raya (THR) dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Posko ini dibuka untuk menyelesaikan masalah dan bukan menumpuk permasalahan kaum pekerja.
Berdirinya posko THR dan PHK tersebut diprakarsai oleh beberapa serikat pekerja, LBH Jakarta serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang tergabung dalam Gerakan Buruh Korban PHK (GeBuK PHK).
Posko tersebut dibuka sebagai reaksi serta evaluasi atas leletnya aksi pemerintah menyelesaikan permasalahan THR. Hal ini mengacu pada pengalaman tahun lalu (2012), dimana LBH Jakarta mangadukan 4 permasalahan THR ke Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tapi tidak ada tindaklanjut.
Untuk agenda jangka pendek, posko THR dan PHK akan fokus pada penyelesaian masalah THR, hal ini mengingat hari raya tinggal dalam hitungan hari. Selain itu, perundang-undangan juga mensyaratkan agar uang THR dibayar tujuh hari sebelum lebaran.
Dari data yang masuk, sudah ada sekitar 1.150 pekerja yang hak-hak THRnya terancam. Pekerja tersebut berasal dari dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta Utara. Data tersebut dipaparkan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP).
Semangat yang diusung oleh GeBuK PHK mendirikan posko THR dan PHK adalah menyelesaikan permasalahan THR sama dengan menegakkan undang-undang. Hal ini mengingat THR adalah hak yang dimiliki pekerja yang dilindungi oleh undang-undang.
Secara umum, posko yang didirikan oleh GeBuK PHK juga sebagai sarana perjuangan kaum pekerja yang memiliki posisi lemah dihadapan pihak pengusaha. Sebagaimana diketahui, hal yang paling mencolok dari permasalahan buruh adalah menjadi korban PHK sewenang-wenang dan kerap dilanggarnya hak-hak normatif yang dimiliki.
Untuk agenda lainnya, GeBuK PHK akan menggalang kekuatan melawan PHK dengan melakukan Deklasrasi Seribu Buruh Melawan PHK pada September 2013 dan Lima Ribu Buruh Duduki Menakertrans pada Oktober 2013.