Sebagai upaya meningkatkan keamanan menjelang perhelatan akbar ASIAN GAMES yang diselenggarakan di Jakarta dan Palembang mulai 18 Agustus 2018 mendatang, Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya melakukan operasi keamanan besar-besaran diberbagai wilayah. Salah satu sasaran utama operasi tersebut adalah para pelaku begal, penjambretan dan kejahatan jalanan lainnya yang sedang marak terjadi dan dinilai meresahkan masyarakat. Tak tanggung-tanggung, Kapolda Metro Jaya memerintahkan tembak mati pelaku jika melakukan perlawanan.
Instruksi tembak mati Kapolda Metro Jaya Idham Aziz dalam operasi besar-besaran pengamanan Asian Games telah menyebabkan 11 orang tewas ditembak di bagian badan dan 41 orang lumpuh ditembak dibagian kaki. Dari 11 orang yang ditembak dibagian badan, sedikitnya tujuh ditembak tembus di bagian dada. Seperti diberitakan berbagai media, dua pekan terakhir polisi telah menangkap kurang lebih 2000 orang, sebanyak 320 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dengan berbagai tuduhan kejahatan dan sisanya dilakukan pembinaan oleh Kepolisian.
LBH Jakarta menilai praktek operasi dengan opsi tembak mati yang digalakkan kepolisian berlebihan, reaktif dan melanggar hak hidup dan hak atas keadilan bagi warga negara khususnya mereka yang dituduh begal, jambret dan kejahatan jalanan lainnya. LBH mengingatkan bahwa langkah kepolisian dalam operasi tersebut harus dilaksanakan secara bertanggungjawab dalam kerangka penegakan hukum dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mengingat, setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak-hak yang harus dilindungi seperti hak untuk tidak dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan (asas praduga tidak bersalah), hak untuk tidak ditangkap, ditahan sewenang-wenang, hak untuk membela diri, termasuk hak atas bantuan hukum dan hak-hak tersangka lain yang dijamin Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Upaya paksa seperti penangkapan, penahananan bahkan penembakan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan harus mengikuti prosedur hukum acara yang berlaku. Hal ini betul-betul harus diperhatikan untuk mencegah munculnya korban-korban kasus salah tangkap, salah tembak, kriminalisasi, penyiksaan, pembunuhan diluar hukum (extra judicial killing) maupun kesewenang-wenangan aparat lainnya.
Aksi tembak mati di tempat oleh polisi adalah tindakan perampasan hak tersangka untuk hidup dan mendapatkan keadilan, tindakan tersebut tergolong extra judicial killing (pembunuhan di luar proses pengadilan) dan bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memberikan jaminan agar setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil di hadapan hukum.
Tindakan tembak di tempat tanpa alasan dan prosedur yang sah tidak dibenarkan secara hukum dan melanggar hak asasi manusia. Polisi bukanlah aparat keamanan yang berfungsi untuk membunuh para pelaku kejahatan melainkan berfungsi sebagai aparat penegak hukum yang menangkap dan menahan tersangka pelaku kejahatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk diadili di pengadilan. Untuk menjalankan tugasnya, jika diperlukan, sesuai peraturan perundang-undangan dapat dilakukan upaya paksa bahkan tindakan pelumpuhan. Tindakan tembak ditempat sebagai penghukuman bertentangan dengan asas presumption of innocence dalam sistem peradilan pidana. Sejatinya, untuk memvonis para pelaku kejahatan, adalah kewenangan hakim dalam menentukan salah tidaknya seseorang, dan berapa atau jenis apa hukuman yang pantas di jatuhkan.
Penggunaan senjata api oleh kepolisian diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap Nomor 8 tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggara Tugas kepolisian negara Republik indonesia. Mengacu kepada dua Perkap tersebut, hanya dikenal dua jenis tembakan yang diperbolehkan. Pertama, tembakan peringatan, Kedua, tembakan pelumpuhan. Tidak ada istilah “tembak mati” dalam ketentuan yang menjadi pegangan internal kepolisian tersebut.
Selain itu, Pasal 5 Perkap No. 1/2009 menjelaskan tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari 1) kekuatan yang dimiliki dampak deterrent/pencegahan, 2) perintah lisan, 3) kendali tangan kosong lunak, 4) kendali tangan kosong keras, 5) kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri, 6) kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polri atau anggota masyarakat. Pasal 5 ini menunjukkan adanya tahapan-tahapan penggunaan kekuatan yang harus dilakukan oleh polisi terhadap pelaku kejahatan, tidak diijinkan untuk langsung melakukan penembakan dengan tujuan mematikan tersangka begitu saja. Dengan demikian, instruksi yang diperintahkan oleh kepala Polda Metro jaya, Inspektur Jenderal Idham Aziz bertentangan dengan Perkap No 1/2009 tersebut. Bahkan jika mengacu kepada Pasal 13 ayat 2 Perkap No. 1 Tahun 2009, anggota kepolisian boleh menolak perintah Kapolda tersebut karena bertentangan dengan perundang-undangan.
Dalam UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials penggunaan senjata api oleh aparat keamanan jika menimbulkan korban harus dilaporkan ke lembaga pengawas dan pengadilan. Di Indonesia, Komnas HAM sebagai lembaga pengawas, memiliki kewenangan pemantauan dan penyelidikan pelanggaran HAM, Komnas Ham berwenang melakukan pemantauan dan menyelidiki kepada para anggota Polri yang terlibat dalam penembakan mati kepada mereka yang dituduh sebagai penjahat jalanan tersebut. Bahkan Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk memanggil paksa pelaku pelanggar HAM.
Selain itu, Pasal 49 (2) Perkap No. 8 Tahun 2009 memberikan jaminan bahwa jika terdapat pihak yang merasa keberatan atau dirugikan akibat penggunaan senjata api, kepolisian wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang telah dilakukan, memberikan penjelasan kepada pihak yang dirugikan dan melakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, LBH Jakarta menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendukung upaya kepolisian untuk terus menjaga situasi aman dan damai di masyarakat khususnya menjelang perhelatan ASIAN GAMES di Jakarta dan Palembang dengan melaksanakan fungsi penegakan hukum secara professional, transparan dan akuntabel dengan menjujung tinggi prinsip hukum dan hak asasi manusia. Penegakan hukum yang mengedepankan HAM harus dipastikan mengingat ASIAN GAMES yang berada dibawah Olimphic Charter Association (OCA) dan International Charter telah menegaskan dalam konstitusi organisasi bahwa penyelenggaraan Olimpiade (ASIAN GAMES) tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia di kota tempat pelaksanaan;
2. Mendesak kepolisian untuk mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah, memberikan pemenuhan terhadap hak-hak tersangka khususnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, hak atas bantuan hukum serta menjamin hak atas proses hukum yang adil terpenuhi dalam setiap langkah penegakan hukum;
3. Mendesak Kapolda Metro Jaya untuk mencabut dan memerintahkan jajarannya untuk menghentikan tindakan menembak mati ditempat dalam operasi pengamanan begal, jambret dan kejahatan jalanan lainnya yang diduga telah melanggar hak hidup dan hak atas proses hukum yang adil bagi warga negara;
4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum dan hanya menyasar penegakan hukum pada kejahatan jalanan yang rata-rata dilakukan oleh masyarakat miskin dan bukan kasus-kasus kejahatan “berat” lain seperti halnya kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan dll;
5. Mendorong kepolisian untuk bekerjasama dengan instansi terkait pada level pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan jalanan seperti begal, jambret mengingat problem sosial ekonomi yang melatar belakanginya;
6. Mendesak Komnas HAM, Kompolnas dan Propam melakukan audit atas tindakan penggunaan senjata api Kepolisan Daerah Metro Jaya yang berujung extra judicial killing;
7. Menuntut pertanggungjawaban Kepolisian Republik Indonesia maupun anggotanya terhadap tindakan dalam operasi yang diduga keras telah melanggar hak asasi manusia maupun kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) Perkap No 8/ 2009;
8. LBH Jakarta mengumumkan pembukaan posko pengaduan untuk para korban maupun keluarga korban yang merasa telah diperlakukan semena-mena dan menjadi korban proses hukum yang tidak adil maupun penggunaan senjata api yang tidak sah oleh pihak kepolisian.
Jakarta, 18 Juli 2018
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
Arif Maulana (0817256167)
Saleh Al Ghifari