Kamis (12/07), Pengadilan Negeri () Jakarta Pusat menggelar sidang pertama gugatan masyarakat terhadap Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum memiliki versi terjemahan resmi dalam Bahasa Indonesia. Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menggugat Presiden Republik Indonesia (RI), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, Ketua dan Anggota DPR RI.
Sidang yang seharusnya dimulai pukul 11.00 WIB diundur untuk menunggu kehadiran pihak tergugat, Presiden RI serta Menteri Hukum dan HAM RI. Namun, sampai pukul 13.00 WIB hanya perwakilan DPR yang datang pada sidang pertama ini. Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi menyayangkan ketidakhadiran pihak Presiden RI serta Menteri Hukum dan HAM RI, padahal surat panggilan sidang, menurut Majelis Hakim, sudah diterima oleh pihak pemerintah.
Akhirnya, Majelis Hakim meminta agar sidang ditunda sampai pada tanggal 02 Agustus 2018, untuk pemanggilan ulang pihak pemerintah dan memberikan kesempatan kepada para pihak mempersiapkan legal standing-nya. Sidang ditunda kurang lebih dua minggu untuk memberikan jangka waktu pemanggilan dikarenakan wilayah yurisdiksi Menteri Hukum dan HAM RI yang berada dibawah PN Jakarta Selatan.
KUHP yang Berlaku Masih Berbahasa Belanda
Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Pusat pada tanggal 8 Juni 2018. YLBHI dkk memandang Presiden RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Ketua dan Anggota DPR RI telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan kelalaian karena tidak melaksanakan perintah Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Bab III Pasal 25-45 UU No. 24 tahun 2009 telah meletakkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, jati diri bangsa, pemersatu bangsa, dan juga merupakan kebanggan nasional. Pasal 26 menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa dalam peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, KUHP, atau dalam bahasa resminya Wetboek van Strafrecht (WvS) merupakan warisan kolonial yang hingga kini masih berlaku di Indonesia tanpa terjemahan resmi dari pemerintah. Meskipun terjadi beberapa kali perubahan terhadap WvS, namun penerapan Bahasa Belanda masih dijumpai hingga sekarang. Yang juga mengherankan, penerapan KUHP hingga saat ini masih mengandalkan terjemahan dari beberapa pakar hukum pidana, seperti Moeljatno, Sunarto Surodibroto, R. Soesilo, Andi Hamzah dan BPHN.
“Adanya perbedaan KUHP hasil terjemahan dari para pakar hukum, menimbulkan konsekuensi adanya penafsiran yang berbeda antara satu pakar dengan pakar yang lain. Dengan demikian, bagaimana kita dapat memiliki kepastian dan keselarasan hukum khususnya penerapan hukum pidana yang bersifat materiil,” seperti yang tercantum pada gugatan Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi. (Sornica)