Selasa (03/07/18), TIM ADVOKASI RAKYAT UNTUK DEMOKRASI kembali hadir dalam persidangan lanjutan di Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli. Permohonan uji materi dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terhadap Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l dan Pasal 245. Permohonan uji materi dilakukan dengan dilatarbelakangi dengan adanya potensi mengebiri supremasi hukum dan memotong akses warga terhadap kebebasan berpendapat.
Masih Ada Potensi Imunitas Bagi Anggota Dewan Yang Terlibat Tindak Pidana
TIM ADVOKASI RAKYAT UNTUK DEMOKRASI mengapresiasi putusan Majelis Hakim MK yang telah secara cepat mengabulkan uji materi terhadap Pasal 73 ayat (3),(4),(5)d dan (6) serta Pasal 122 huruf l, oleh Permohonan Perkara Nomor 30/PAN.MK/2018 melalui putusan nomor 16/PUU-XVI/2018. Namun sangat disayangkan uji permohonan terhadap Pasal 245 ayat (1), Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi masih mempertahankan aturan tersebut sehingga apabila anggota dewan yang diduga terlibat dalam tindak pidana harus terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis dari presiden ketika ia hendak diperiksa oleh Aparat Penegak Hukum seperti Lembaga Kepolisian.
TIM ADVOKASI RAKYAT UNTUK DEMOKRASI berpendapat bahwa pengaturan terhadap Pasal 245 UU MD3 tersebut lebih buruk dari aturan sebelumnya. Adapun perbandingannya adalah sebagai berikut :
Pasal 245 dalam UU NOMOR 17 TAHUN 2014 |
Pasal 245 dalam UU NOMOR 2 TAHUN 2018 |
Keterangan |
(1)Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. |
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.” |
Pasal 245 UU MD3 terbaru tidak mengatur batas waktu terkait pemberian izin untuk memproses anggota dewan yang diduga terlibat dalam tindak pidana |
Dari perbandingan tabel diatas dapat diketahui bahwa Pasal 245 dalam UU MD3 lama mengatur bahwa apabila persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) paling lama 30 hari sejak diterimanya permohonan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR dapat dilakukan. Namun, dalam perubahan UU MD3 terbaru tidak ada batas waktu bagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memberikan izin tersebut sehingga pengaturan terhadap Pasal ini semakin memperbesar terjadinya potensi praktek penundaan berlarut (undue delay).
Pasal 245 telah memakan korban
Akibat pengaturan terhadap Pasal 245 tersebut telah menimbulkan korban, yakni menghambat pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Sebagaimana contohnya peristiwa dugaan tindak pidana penganiayaan yang diduga oleh anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Herman Hery. Polisi tidak bisa memanggil Herman Hery untuk pemeriksaan meski yang bersangkutan diduga kuat telah melakukan penganiayaan, karena polisi harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Selain Herman Hery, ada juga kasus tukang ojek yang ditabrak oleh anggota DPRD Maluku Tengah, Jimy G Sitanala. Jimy belum diperiksa karena kepolisian akan mengumpulkan bukti terlebih dahulu sebelum menyurati Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Masyarakat berpotensi kesulitan mendapatkan informasi yang utuh mengenai pertimbangan atas putusan Mahkamah Konstitusi
Selanjutnya TIM ADVOKASI RAKYAT UNTUK DEMOKRASI juga menyayangkan putusan Majelis Hakim yang terkesan terburu-buru dengan hanya memberikan putusan terhadap 1 pemohon dengan registrasi perkara Nomor 30/PAN.MK/2018 sebagaimana yang ada dalam putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018. Hal tersebut dikarenakan terdapat 9 (Sembilan) Permohonan Judicial Review terhadap UU MD3 namun dengan batu uji yang berbeda-beda.
TIM ADVOKASI RAKYAT UNTUK DEMOKRASI menginginkan adanya penggabungan putusan permohonan tersebut sebagaimana yang diatur dalam aturan hukum acara Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Pasal 11 ayat 6 huruf a dan b yang mengatur penggabungan perkara dapat dilakukan apabila memiliki kesamaan pokok permohonan dan memiliki keterkaitan materi permohonan. Hal tersebut sangat penting dilakukan hal tersebut dikarenakan masyarakat memerlukan informasi mengenai pertimbangan yang utuh dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus Pasal 73 ayat (3),(4),(5) dan (6) serta Pasal 122 huruf mengatakan aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat namun masih mempertahankan Pasal 245 yang sangat berpotensi melanggar hak warga negara untuk mendapatkan keadilan.
Jakarta, 2 Mei 2018
Tim Advokasi Rakyat untuk Demokrasi:Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi), LBH JAKARTA, LBH PERS, dan IMPARSIAL.
Narahubung:
Pemohon :
1. Sunarno (KASBI) : 081280646029
2. Damar (KPBI) : 081298853283
3. Ellena (SINDIKASI) : 081252263327
4. Eduard (KSBSI) : 081398289727
Kuasa Hukum:
1. Ayu Eza (LBH Jakarta) : 085810808705
2. Gading Yonggar (LBH Pers) : 081392946116
3. Hussein (IMPARSIAL) : 081259668926