“Kami ini warga yang berjuang dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup, bukannya tidak berusaha. Hanya kami lahir dari keluarga yang tidak seberuntung bapak-bapak sekalian. Kami tidak sanggup membeli rumah yang harganya mahal sekali. Jadilah kami menempati lahan tidur di Kebun Sayur berpuluh tahun lalu, menggarap dan memanfaatkan tanah yang dulu tak bertuan itu. Hingga setelah 2009, satu-satunya sumber penghidupan kami ini diakui oleh PPD. Kami terancam digusur dan pelayanan publik dicabut, padahal mereka tidak bisa menunjukan bukti kepemilikan. Sekarang kami harus mengalah lagi untuk pembangunan apartemen.” – Reli Silalahi (warga Kebun Sayur)
Cerita tersebut disampaikan Reli SIlalahi (53), salah seorang warga Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur di depan Istana Negara, Senin (25/6). Pagi itu, sekitar 200 warga Kebun Sayur melakukan unjuk rasa untuk menuntut penyelesaian konflik agraria antara warga dengan Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) sejak 2009.
“Warga melakukan aksi di depan istana ini karena berlarutnya upaya penyelesaian sejak 2009 sekaligus menagih janji reforma agraria Jokowi yang saat ini sangat digaungkan agar bisa dilaksanakan di Kebun Sayur,” ujar Pandi S ketua Tim 9 (tim 9 merupakan perwakilan warga yang dibentuk untuk penyelesaian sengketa lahan).
Unjuk rasa dimulai pukul 09.30 WIB dan berakhir pada pukul 12.30 WIB. Unjuk rasa tersebut juga didukung LBH Jakarta, BEM FH UI dan KontraS. Sepanjang unjuk rasa yang terus diguyur hujan tersebut, warga Kebun Sayur menyatu dengan warga Komplek Kodam Tanah Kusir yang saat itu juga melangsungkan unjuk rasa di depan istana karena terancam digusur oleh Kodam Jaya.
“Kita melihat baik kasus Kebun Sayur dan Tanah Kusir sama karena rakyat yang paling membutuhkan tanah dan rumah justru dikesampingkan untuk kepentingan bisnis,” ujar Dewi salah satu perwakilan warga Tanah Kusir.
Pada pukul 12.00 WIB, perwakilan dari Kantor Staf Presiden, Burhan menemui warga di depan Istana Negara dan menyatakan akan menerima dan mempelajari kedua kasus tersebut. Aksi diakhiri dengan penyerahan berkas dan surat-surat yang ditulis oleh anak asus Matalangi di Kebun Sayur Ciracas kepada perwakilan Kantor Staf Presiden yang hadir. “Unjuk rasa kami tidak berakhir setelah berkas diserahkan, kami akan terus melakukan unjuk rasa hingga hak kami dipenuhi,” ujar Abdul Razak, selaku penasihat Tim 9 di atas mobil komando sembari menutup aksi.
Jalan Panjang Perjuangan Warga
Warga Kebun Sayur telah mulai menggarap lahan seluas 5,3 hektar tersebut sejak 1980-an dan berlangsung hingga 1990-an. Pada mulanya sebagian besar adalah petani yang menggarap lahan untuk kebun sayur.
“Dulu lahannya masih semak belukar dan kita mulai garap sebagai kebun. Karena sulitnya memperoleh pekerjaan dan membeli rumah, yang mulanya hanya menggarap kemudian mendirikan rumah. Sejak dulu (sebelum 2009-red) tidak pernah ada yang mempermasalahkan dan mengaku memiliki lahan,” ujar Daniel Agus Setiyadi, salah seorang petani yang menggarap lahan di Kebun Sayur sejak 1993.
Pada 2009, warga mengalami ancaman penggusuran paksa oleh Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) yang mengklaim kepemilikan lahan tersebut dengan didasarkan pada PP No. 42 Tahun 2003 tentang Penyertaan Modal Negara dalam Perum PPD. Saat itu warga yang mulai didampingi LBH Jakarta menolak karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur. Pihak PPD tidak dapat membuktikan kepemilikan sertifikat sebagai Azas Publikasi Positif.
“PP tersebut juga bertentangan dengan hukum karena menganggap tanah sebagai milik pemerintah, padahal belum ada hak atas tanah yang melekat di sana, sehingga pemerintah justru menggunakan prinsip hukum kolonial yaitu domein verklaring yang sudah tidak berlaku lagi. Pemerintah bahkan tidak melihat ada warga yang memiliki hak untuk mendaftarkan tanah lantaran telah menggarap lahan tersebut lebih dari 20 tahun dengan itikad baik,” ujar Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta selaku pendamping warga.
Pasca penolakan tersebut, upaya penyelesaian sengketa dilakukan warga melalui mekanisme mediasi di Komnas HAM yang berlangsung hingga 2012. Pada saat itu telah ditemui beberapa kesepakatan, diantaranya menetapkan tanah status quo akibat tidak ada pihak yang memiliki sertifikat dan imbauan larangan penggusuran paksa.
“Saat itu mediasi ditunda karena ada pergantian direksi di PPD, namun justru tidak pernah berjalan lagi setelah itu,” ujar Pandi S.
Di tengah penyelesaian yang berlarut tersebut, pada 2017 PPD justru mengadakan kerjasama dengan PT. Adhi Karya tentang penggunaan lahan Kebun Sayur untuk pembangunan apartemen LRT City. Apartemen LRT City merupakan bagian dari proyek Transit Oriented Development (TOD) untuk hunian di sekitar jalur LRT. Saat ini, pihak PT. Adhi Karya telah mendirikan kantor pemasaran di dekat pemukiman warga dan telah melakukan pemasaran unit apartemen. Meski demikian, tidak pernah diadakan musyawarah untuk menentukan nasib warga Kebun Sayur.
”Jangankan diajak berunding dan bermusywarah, untuk mengakses informasi mengenai status tanah dan proyek saja kami tidak bisa karena dianggap tidak berhak,” tambah Pandi S.
LBH Jakarta menganggap bahwa tuntutan warga untuk dapat memperoleh hak atas tanah di lahan tersebut selayaknya sejalan dengan janji reforma agraria yang tertuang dalam Nawacita.
“Ini penting untuk membuktikan bahwa pemerintah mengerti tentang reforma agraria karena reforma agraria bukan berarti bagi-bagi sertifikat melainkan memperbaiki struktur ketimpangan lahan dan mengembalikan fungsi sosial tanah untuk digunakan oleh mereka yang paling membutuhkan. Dalam kasus ini jelas warga Kebun Sayur lebih membutuhkan ketimbang perusahaan,” ujar Charlie.
Terhentinya Layanan Publik Dasar
Akibat adanya sengketa dengan PPD adalah hilangnya akses warga Kebun Sayur untuk menikmati layanan publik dasar seperti administrasi kependudukan dan juga listrik. Pada 2009, sebelum mengirimkan peringatan pada warga, PPD terlebih dahulu meminta PLN untuk memutus aliran listrik warga. Tidak hanya itu, pasca 2009, warga Kebun Sayur yang sebelumnya memiliki KTP sementara untuk domisili di Kebun Sayur tidak dapat memperpanjang KTP karena dianggap tidak memiliki hak oleh pihak kelurahan.
“Berbagai upaya sudah kami lakukan mendatangi Komnas HAM dan Ombudsman namun pemerintah tetap menolak menerbitkan KTP kami di Ciracas sehingga sebagian terpaksa membuat KTP di tempat lain meski saya sendiri masih memiliki KTP di sana,” keluh Reli Silalahi.
LBH Jakarta secara terang menganggap terdapat maladministrasi dan pelanggaran hak dasar warga Kebun Sayur yang tidak mendapatkan adminduk di daerah tersebut. Selain melanggar UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, pelarangan tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 171 Tahun 2016.
“Tidak diberikannya KTP di daerah asli tempat tinggalnya membuat warga tidak bisa mengakses banyak sekali layanan publik, terutama urusan kesehatan. Padahal persoalan adminduk dan layanan dasar lainnya jelas tidak berkaitan dengan persoalan sengketa lahan sebagaimana sudah dinyatakan dalam Pasal 6 ayat 3 Pergub DKI No. 171 tahun 2016,” tutup Charlie.