Siaran Pers Bersama
Koalisi Selamatkan Pulau Pari
30 Hari Jangka Waktu LAHP Ombudsman Pulau Pari: Bupati Kepulauan Seribu Berupaya Mengingkari
Jakarta, 22 Mei 2018. Koalisi Selamatkan Pulau Pari menyatakan bahwa upaya Bupati Kepulauan Seribu dengan mengadakan pertemuan untuk melakukan penjelasan tentang legalitas hak atas tanah SHGB dan SHM di Pulau Pari adalah tindakan yang berupaya mengingkari Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman atas konflik perampasan tanah Pulau Pari. Hal ini terungkap dalam Surat Bupati Kepulauan Seribu No. 975/-1.71132 tertanggal 14 Mei 2018 yang pada pokoknya terkait dengan permasalahan tanah yang diklaim petisi masyarakat Pulau Pari Kepulauan Seribu. Terlihat jelas, upaya ini diduga untuk menandingi LAHP dari Ombudsman Republik Indonesia pada 9 April 2018 lalu dan juga upaya untuk menghindari tindakan korektif dari LAHP Ombudsman.
Masyarakat nelayan Pulau Pari tidak pernah membuat petisi terkait tanah di Pulau Pari yang ditujukan kepada Bupati Kepulauan Seribu seperti yang disebutkan dalam Surat Undangan dari Bupati Kepulauan Seribu tersebut. Undangan Bupati Kepulauan Seribu yang menyatakan klaim petisi masyarakat Pulau Pari atas permasalahan tanah di Pulau Pari diduga akan menjadi akal-akalan untuk melegitimasi SHM dan SHGB yang diduga telah terjadi kongkalikong termasuk dengan Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta dalam terbitnya. Sementara warga masyarakat dan nelayan Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari (FP3) tidak diundang terlebih jaringan Koalisi Selamatkan Pulau Pari. Atas dugaan kongkalikong tersebut kami meminta keterlibatan KPK dalam melakukan penyidikan dugaan korupsi atas keluarnya SHM dan SHGB yang diterbitkan oleh BPN Jakarta Utara kepada PT. Bumi Pari Asri serta kemungkinan adanya keterlibatan dari Bupati Kepulauan Seribu.
Selanjutnya, upaya Bupati Kepulauan Seribu menunjukkan itikad kurang baik dan keberpihakannya kepada PT. Bumi Pari Asri, sehingga tidak berjalannya proses koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelesaian konflik tanah di Pulau Pari. Tidak adanya tembusan surat undangan tersebut kepada Gubernur DKI Jakarta, padahal konflik tanah Pulau Pari sudah diadukan pada tingkat Provinsi DKI Jakarta bahkan ke Pemerintah Pusat yakni Kementerian ATR/BPN. Bupati Kepulauan Seribu merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang seharusnya menindak lanjuti LAHP Ombudsman khususnya tindakan korektif yang telah diumumkan pada tanggal 9 April 2018 yang lalu. Tindakan korektif kepada Pemprov DKI Jakarta mengembalikan peruntukan Pulau Pari sebagai kawasan pemukiman penduduk nelayan dan bersama Kantor Wilayah BPN Jakarta melakukan inventarisasi data warga Pulau Pari, pengukuran dan pemetaan ulang terhadap kepemilikan hak atas tanah di Pulau Pari.
Di sisi lain, koalisi meminta agar Kementerian Perikanan dan Kelautan tidak tinggal diam atas upaya privatisasi pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Pulau Pari di Kepulauan Seribu, dan menjamin pemenuhan hak konstitusi warga Pulau Pari sesuai Undang-Undang Dasar Repbulik Indoneisa tahun 1945. Seperti yang disebut pada Pasal 27 ayat (2) UUD 45 tentang Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, Pasal 28 H ayat (1) tentang Hak Hidup Sejahtera, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Seperti yang kita ketahui sebelumnya nelayan dan masyarakat Pulau Pari terus melakukan upaya-upaya penyelamatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai tanah kelahiran leluhur masyarakat Pulau Pari yang berhak atas tanah dan sumber daya pesisir Pulau Pari. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) No. 3/PUU-VIII/2010 atas Uji Materi UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, merupakan antitesa terhadap praktik privatisasi serta komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagai upaya mempertahankan tanah dan sumber daya sebagai hak negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran setiap rakyat.
Terakhir, pada 9 April lalu, Ombudsman telah menyatakan dalam LAHP, terjadi praktik maladaministrasi dalam terbitnya 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari. Dalam LAHP Ombudsman tersebut, terdapat tindakan korektif yang harusnya dilaksanakan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri oleh Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta; Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Inspektur Jendral Kementerian ATR/BPN RI. Dalam LAHP, Ombudsman menemukan adanya penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang dan pengabaian kewajiban hukum oleh Badan Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara untuk dikuasai PT. Bumi Pari Asri. Atas upaya Bupati Kepulauan Seribu untuk menandingi LAHP Ombudsman tersebut, maka masyarakat nelayan Pulau Pari meminta Ombudsman untuk memberikan penjelasan tindakan lanjutan pasca LAHP Ombudman yang lalu. Khususnya, pada masa waktu pelaksanaan tindakan korektif selama 30 hari kerja yang jatuh pada 22 Mei 2018.
Hormat kami,
Koalisi Selamatkan Pulau Pari
FP3, WALHI, KIARA, LBH Jakarta, KNTI, Solidaritas Perempuan, SPI