Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 39 kembali digelar LBH Jakarta, Jumat (20/04) di Gedung LBH Jakarta. Pada kesempatan kali ini, para peserta Kalabahu 39 mendapat materi tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Materi tersebut disampaikan oleh Arif Maulana Kepala Divisi Kaderisasi dan Pengembangan Organisasi LBH Jakarta bersama dengan Ayu Eza Tiara Pengacara Publik LBH Jakarta bidang Fair Trial.
Sesi ini dibuka dengan cerita dari Hirmayani, orang tua tunggal dari salah satu klien anak LBH Jakarta. Hirmayani adalah seorang ibu yang anaknya mengalami penahanan dan penyiksaan di kepolisian. Melalui contoh kasus yang dialami Hirmayani, Arif Maulana menjelaskan bagaimana sistem advokasi terhadap anak.
“Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia identik dengan dua hal, yakni Restorative Justice dan Diversi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengusung semangat keadilan restorative, yaitu untuk memulihkan keadaan anak sebagai korban. Bagaimana caranya? Melalui tahapan Diversi,” Arif menjelaskan.
Arif Maulana menambahkan, untuk memastikan bahwa diversi telah dijalankan, maka perlu peran dan perhatian dari BAPAS, Advokat dan Orang tua dari anak yang berhadapan dengan hukum. Apabila diversi telah dilaksanakan namun mengalami kegagalan, maka dapat dilakukan upaya diversi lagi di tahapan selanjutnya.
“Diversi dilakukan dalam setiap tahapan, baik di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Di tahapan penyidikan hingga pengadilan,” tambah Arif.
Berdasarkan amanat UU SPPPA, anak tidak boleh diperlakukan sama dengan orang dewasa. Meski pada prakteknya anak yang berhadapan dengan hukum masih sangat sering diperlakukan seperti perlakuan terhadap orang dewasa. Hal tersebut dapat dilihat dari belum tersediannya penyidik anak di kepolisian.
“Penyidik anak sejauh ini tidak dapat ditemukan dijajaran kepolisian sektor di wilayah Jakarta,” tegas Arif.
Meskipun anak adalah pelaku, tapi anak yang berhadapan dengan hukum adalah korban dari sistem sosial, korban dari sistem keluarga, korban dari kondisi yang memaksa mereka melakukan suatu tindak pidana. Oleh karenanya, anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa dalam berhadapan dengan hukum.
Minimnya pemahaman penegak hukum terkait SPPA dan kelengkapan perangkat peradilan pidana untuk anak saat ini masih menjadi penghambat saat menghadapi suatu peristiwa yang menempatkan anak berhadapan dengan hukum. (Monic)