Siaran Pers Bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
Menteri Keuangan ingin Mempertahankan Kerugian Negara dalam Peninjauan Kembali atas Putusan Kasasi Swastanisasi Air Jakarta
Menteri Keuangan Republik Indonesia yang sekarang dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati mengajukan peninjauan kembali atas perkara swastanisasi air Jakarta. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa Menteri Keuangan ingin mempertahankan kerugian negara dalam kasus swastanisasi air Jakarta yang untuk kurun waktu 1998-2011 saja telah membukukan kerugian negara sebesar 1,2 triliun rupiah[1]. Dan apabila terus dipertahankan hingga akhir tahun 2022 maka kerugian negara akan mencapai 18,2 triliun[2].
Menteri Keuangan adalah kuasa keuangan negara dan bertindak sebagai bendahara negara (lihat Pasal 6 dan Pasal 8 UU Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara). Tindakan mengajukan peninjauan kembali dan ingin agar kerugian negara terus terjadi tersebut tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Menteri Keuangan karena Menteri Keuangan harus mengelola keuangan negara berdasarkan prinsip-prinsip utama, antara lain efisien, ekonomis, efektif, serta memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan sesuai dengan tujuan bernegara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 7 UU Keuangan Negara. Tentunya sangat tidak efektif, tidak ekonomis, tidak efisien, dan tidak adil apabila pada akhirnya rakyat pembayar pajak yang harus menanggung kerugian negara tersebut dan tujuan bernegara (lihat Pembukaan UUD 1945) tidak tercapai.
Patut juga dipertanyakan latar belakang peninjauan kembali ini dari sisi non-yuridis. Jika mundur sedikit, kita bisa melihat awalnya Menteri Keuangan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2013 menyatakan bahwa meskipun dirinya digugat karena menerbitkan Support Letter Nomor S-684/MK.01/1997 tanggal 26 Desember 1997 yang menanggung seluruh kerugian yang diderita oleh Palyja dan Aetra dalam swastanisasi air Jakarta, dirinya maupun kementerian yang dipimpinnya tidak ada hubungannya dengan swastanisasi air Jakarta dan mohon kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara ini untuk mengeluarkan Menteri Keuangan sebagai pihak dalam gugatan (lihat halaman 102 dan 243 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.). Otomatis, sepanjang persidangan sampai kasasi Mahkamah Agung tidak ada “perlawanan” yang berarti karena pihak Kementerian Keuangan tidak terlalu ambil pusing dengan adanya proses hukum yang ada.
KMMSAJ juga melihat pertimbangan Majelis Hakim Kasasi terdahulu (Perkara Nomor 31 K/PDT/2017) sudah jelas, singkat, dan bernas. Dalam putusannya Majelis Hakim Kasasi menilai majelis hakim pengadilan tinggi telah salah menerapkan hukum karena: 1) Perjanjian Kerja Sama Swastanisasi Air Jakarta tanggal 6 Juni 1997 telah melanggar Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM JAYA); 2) Selama 13 tahun (sampai 2015), pengelolaan air bersih dan air minum warga Jakarta tidak meningkat dari segi kualitas, kuantitas, dan kontiunuitas; 3) PAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena diserahkan ke pihak swasta. Pada pokoknya Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di awal sudah tepat.
Selain itu hal penting lainnya adalah Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus segera memberitahukan upaya hukum dan memberikan memori peninjauan kembali kepada Para Penggugat. Jika dilihat dari tanggal, memori peninjauan kembali sudah didaftarkan pada 22 Maret 2018. Namun hingga saat ini Para Penggugat belum mendapatkan memori tersebut. Hal ini sangat penting agar Para Penggugat dapat menggunakan haknya untuk menyanggah alasan-alasan peninjauan kembali. Kejadian Para Penggugat harus menunggu selama 5 (lima) bulan untuk mendapatkan salinan putusan tingkat pertama jangan sampai terulang.
Terakhir, kami melihat tindakan peninjauan kembali ini sebagai upaya untuk menjinakkan putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap dan harus dieksekusi agar mendapatkan putusan sebaliknya. Pemerintah agar tidak melakukan intervensi terhadap proses peradilan yang ada karena kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam memberikan keadilan dan menegakkan kebenaran.
Atas hal-hal tersebut, KMMSAJ mendesak:
1. Menteri Sri Mulyani Indrawati untuk mencabut permohonan peninjauan kembali beserta memori peninjauan kembali yang telah diajukan; atau
2. Mahkamah Agung melalui Majelis Hakim Peninjauan Kembali menolak peninjauan Kembali yang diajukan oleh Menteri Keuangan karena tidak beralasan menurut hukum mengingat alasan-alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali sudah berkali-kali diperiksa dan diputus oleh berbagai tingkatan pengadilan[3];
3. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk melaksanakan putusan kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali tidak menghentikan proses eksekusi (Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk segera menyampaikan pemberitahuan peninjauan kembali dan memori peninjauan kembali kepada Para Penggugat swastanisasi air Jakarta;
5. Pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum yang sedang berlangsung di Mahkamah Agung.
Jakarta, 7 Mei 2018
Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
(LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, KNTI, Solidaritas Perempuan, JRMK, UPC, FPPI, Koalisi Anti Utang, Walhi)