#MayDay 2018
Bangun Kekuatan Politik Alternatif, Wujudkan Indonesia Berkeadilan!
Dalam peringatan May Day 2018, Gerakan Buruh untuk Rakyat (GEBRAK) menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk bersama-sama membangun kekuatan politik alternatif untuk mewujudkan jalan keadilan bagi rakyat Indonesia. Seruan ini mendasarkan pada kondisi selama ini kita melihat tidak ada harapan akan perubahan dari kekuatan politik elit yang ada saat ini, baik yang berada dalam lingkar kekuasaan kubu Jokowi maupun kubu oposisi (Prabowo).
Tidak ada kesungguhan dari kedua kekuatan politik tersebut untuk memperbaiki kehidupan rakyat dan para korban pelanggaran hak asasi manusia. Ketika rakyat berjibaku dengan upah yang semakin murah, kerja yang semakin sulit digapai, para elit politik justru saling menyerang demi menaikan posisi tawar satu sama lain. Tidak ada dari mereka menggerakan kekuatan untuk melawan penggusuran-penggusuran yang merampas ruang hidup rakyat, menghapus impunitas dan menyelesaikan berbagai persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan, lingkungan, dan korupsi.
Selama 20 tahun reformasi, realitas politik yang berkembang Indonesia kembali memasuki watak militeristik-watak represif. Watak tersebut mempersempit substansi hak asasi manusia dan ruang demokrasi. Watak tersebut termanifestasi didalam sikap anti-kritik, intoleran, kebal hukum [impunitas], anti HAM, anti demokrasi dan anti terhadap upaya-upaya penegakan hukum hak asasi manusia. Watak tersebut diperlihatkan oleh Presiden Jokowi, institusi militer, Polri, purnawirawan militer, elit-elit politik sipil maupun kelompok masyarakat, baik yang berkuasa maupun yang oposisi.
Praktik jahat ini bisa kita lihat meningkatnya tindakan kriminalisasi terhadap warga sipil yang kritis. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kriminalisasi dan kekerasan kerap terjadi dalam konflik agraria dan TNI menjadi salah satu aktor kekerasan tersebut, disamping Polisi dan preman. Tercatat Sepanjang tahun 2017 ini, 13 warga negara tewas, 6 orang tertembak dalam konflik agraria. Kemudian, sebanyak 612 warga negara menjadi korban kekerasan dalam peristiwa konflik agraria, dan dari jumlah tersebut sebanyak 369 diantaranya ditahan (kriminalisasi) dan sebanyak 224 orang dianiaya.
Selain itu, persekusi dan pembubaran diskusi-diskusi publik dengan dalih “bangkitnya komunisme”, dan penyebaran berita hoaxs meningkat dratis. Watak militeristik juga diperlihatkan dalam pembuatan UU MD3, UU Ormas, RKUHP, dan berbagai produk kebijakan lainnya yang membunuh kebebasan berekspresi warga negara.
Watak tersebut yang telah mengagalkan seluruh agenda-agenda Reformasi, substansi hak asasi manusia dan demokrasi. Sehingga, instrumen-instrumen hukum dan hak asasi manusia yang telah dikeluarkan pada awal-awal reformasi dan institusi-institusi yang dibentuk untuk memberikan rasa keadilan bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa berjalan secara efektif.
Hari ini kita saksikan, ancaman militerisme semakin menjadi keseharian rakyat, baik yang dipraktikkan oleh institusi militer lewat berbagai bentuk dan bidangnya, termasuk dalam melakukan perjanjian atau MoU dengan Polisi dan berbagai instansi pemerintah. Catatan KontraS ada 23 MoU TNI dengan berbagai instansi selama periode Jokowi. Melakukan manuver politik dan maju dalam politik elektoral,Lima jenderal aktif dari TNI dan Polisi bahkan maju dalam pilkada 2018. Belum lagi aktor-aktor militer yang bermain dibelakang layar untuk memuluskan agenda-agenda militer.
Dalam konteks pertambangan kita juga melihat ijon politik. Laporan Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan sepanjang 2017 dan 2018, terdapat 170 izin tambang dikeluarkan. Di Jawa Barat, ada 34 izin tambang muncul pada 13 Februari 2018 atau dua pekan sebelum penetapan calon kepala daerah, di Jawa Tengah ada 120 izin tambang diterbitkan 30 januari 2018.
Partai-partai yang duduk dan tidak duduk di pemerintahan juga mengabaikan menguatnya patriarki. Partai-partai tidak memperdebatkan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berpotensi memenjarakan perempuan dan memperkuat diskriminasi. RUU itu juga akan semakin memperlemah posisi perempuan dalam melawan kekerasan seksual, alih-alih malah rentan disalahkan meskipun menjadi korban.
Begitu juga dengan kasus korupsi, gerakan rakyat tidak lagi percaya pada partai-partai yang ada saat ini. Tidak ada satupun partai di parlemen yang bebas dari noda korupsi. Bahkan, partai-partai baru tidak lebih dari pengejawantahan partai lama.
Kedua kekuatan politik yang ada saat ini, baik oposisi maupun penguasa, juga terus memperdalam agenda-agenda neoliberalisme-kapitalisme ke bumi Indonesia. Bahkan, kesediaan Indonesia menggelontorkan sumber daya untuk menjamu pertemuan 15 ribu delegasi IMF dan Bank Dunia pada Oktober 2018 merupakan dukungan nyata. Rancangan World Development Report Bank Dunia sendiri, seperti diberitakan The Guardian pada Jumat 20 April 2018, malahan merekomendasikan penurunan upah minimum dan mempermudah pemecatan buruh. Laporan itu rencananya akan diluncurkan pada 2019.
Dalam kondisi demikian, maka dapat disimpulkan politik elektoral dalam Pilkada serentak di 171 pada Juni 2018 dan Pemilu 2019 tidak akan mewakili kepentingan rakyat. Siapapun pemenangnya tetap akan memperkuat militerisme, fundamentalisme agama, patriarki, korupsi, perusakan lingkungan dan kapitalisme-neoliberalisme. Hal-hal tersebut berarti memiskinkan, memecah belah, dan menyempitkan ruang demokrasi dan gerak rakyat.
Perkuat Konsolidasi Kekuatan Politik Alternatif
Setelah menggelar Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia dan MayDay ini, GEBRAK akan memperingati 25 tahun kasus marsinah yang tak kunjung tuntas. Marsinah tewas di tangan militer pada 8 Mei 1993 ketika memperjuangkan kenaikan upah. GEBRAK akan menyerukan kembali cita-cita reformasi yang agenda-agendanya tak kunjung tuntas hingga saat ini.
GEBRAK akan terus mengorganisir sebuah kekuatan Gerakan Rakyat Indonesia dalam sebuah wadah yang permanen yang melibatkan seluas-luasnya kaum tani, masyarakat adat, nelayan, kaum buruh, kaum muda, perempuan, para pejuang lingkungan, pejuang HAM, kelompok-kelompok minoritas–sebagai langkah untuk memantapkan pembangunan kekuatan politik rakyat sebagai tandingan dari semua kekuatan politik elit.
Tujuan konsolidasi tersebut adalah untuk menghasilkan gagasan-gagasan dan perjuangan-perjuangan tentang Indonesia berkeadilan yang non kapitalistik, berdaulat-merdeka, yang mempidanakan kejahatan HAM di masa lalu, yang mengembangkan kapasitasnya berdasarkan kemampuan rakyatnya dan potensi alamnya dalam kerja sama Internasional yang setara, yang mengambil peran dalam mendorong perdamaian dunia dan penghargaan sepenuhnya atas kedaulatan tiap negara.
Indonesia berkeadilan yang sepenuhnya terbuka bagi partisipasi rakyat luas dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pengawasan keputusan-keputusan negara, hingga penyusunan konstitusinya. Indonesia berkeadilan yang menghargai kemajekukan, tanpa diskriminasi, yang memberi ruang yang sama bagi kelompok perempuan dalam politik-hukum-ekonomi dsb. Indonesia baru yang mengembangkan kapasitasnya berdasarkan kemampuan rakyatnya dan potensi alamnya, serta berdasarkan kerja sama Internasional yang setara.
Sebuah Indonesia yang tidak boleh lagi ada anak yang tidak bisa sekolah sampai perguruan tinggi, tidak ada lagi orang yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan untuk segala jenis penyakit. Indonesia yang kaum buruh-para pekerja, mempunyai ruang yang sangat luas untuk menentukan kebijakan politik-ekonomi-hukum dan segala kebijakan lainnya dari tingkat nasional sampai level pabrik.
Indonesia berkeadilan yang memberi kesempatan sekolah inklusif hingga perguruan tinggi dan layanan kesehatan gratis universal, bukan lagi berdasarkan asuransi sosial seperti BPJS, juga perlindungan pada kaum buruh, nelayan, pengusaha kecil, dan tani dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi serta Indoensia berkeadilan yang memberikan ruang bagi kelompok marjinal.
GEBRAK menyerukan gerakan-gerakan rakyat untuk bangkit membangun kekuatan politik alternatif untuk mewujudkan Indonesia berkeadilan. Unjuk rasa peringatan Hari Buruh Internasional akan menjadi momentum bagi gabungan kekuatan gerakan rakyat menyerukan pembangunan kekuatan politik tersebut.
Dalam May Day 2018 ini, GEBRAK menyatakan sikap:
- Menuntut negara menjalankan Upah layak nasional, cabut PP 78/2015 tentang Pengupahan dan hapuskan kontrak, outsourcing, serta pemagangan.
- Pemberantasan korupsi dengan memperkuat KPK, sita harta para koruptor, adili, dan penjarakan.
- Perbesar subsidi untuk rakyat (pendidikan, kesehatan, energi, perumahan dan transportasi).
- Jalankan Reforma agraria sejati. Reforma agraria sejatah adalah menciptakan sistem yang menyejahterakan petani dan memberi kepastian ruang hidup, bukan sekedar bagi-bagi sertifikat tanah.
- Tuntaskan Pelanggaran HAM berat. Ungkap tuntas kejahatan di masa lalu, hapus impunitas, adili para jendral dan penuhi hak-hak korban sebagai landasan untuk Indonesia berkeadilan.
- Tolak pertemuan IMF dan Bank Dunia di Indonesia. Pertemuan itu hanya akan memperdalam neoliberalisme.
- Hentikan kriminalisasi terhadap rakyat (buruh, tani, miskin kota, mahasiswa, dll).
- Perlindungan pelaut Indonesia, Buruh Migran, dan PRT. Hentikan dan hapuskan birokrasi yang mempersulit pekerja Indonesia untuk mendapat perlindungan dan akses pekerjaan di luar negeri. Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan akui PRT sebagai buruh.
- Perlindungan hak-hak perempuan. Negara wajib menjamin perusahaan agar memberikan hak-hak maternitas.
GEBRAK merupakan gabungan 36 organisasi berbagai elemen yang tidak menyampaikan dukungan politik pada kandidat dari partai manapun. Koalisi ini terdiri dari organisasi gerakan buruh (KPBI, KASBI, SGBN, GSBM, FKI, FSPM Independen, JARKOM SP Perbankan, GSPB, SP Jhonson, dan KSN, PPI), mahasiswa (FMK, SMI, LMND, SSDEM, SEMAR UI, GPMJ, FGK Unindra, FN, GMNI Jaktim, GMNI, GPPI, dan AKMI), Non-Government Organization (TURC, KPA, YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, KIARA, Migrant Care), KPR, Politik Rakyat, PRP, Aliansi Petani Indonesi, KPO-PRP dan juga organisasi perempuan (Perempuan Mahardhika).
Jakarta, 30 April 2018
Gerakan Buruh untuk Rakyat!