Siaran Pers
(30/04/2018) – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang yang diketuai oleh Kony Hartanto menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda Rp 100.000.000 kepada Alnodly Bahari, korban persekusi di kampung Gadog, Pandeglang Banten. Putusan tersebut dijatuhan kepada Alnoldy atas dakwaan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 UU ITE. Sepanjang berlakunya UU ITE, dan kasus-kasus berdasarkan pasal SARA UU ITE, pidana yang dijatuhkan kepada Alnoldy adalah pidana kedua terberat yang pernah ada sepanjang sejarah. Setelah sebelumnya putusan pidana 6 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah dijatuhkan kepada Sandy Hartono, Pontianak pada tahun 2011.
Putusan ini dianggap oleh kuasa hukum Alnoldy sebagai putusan yang sesat. Kuasa hukum Alnoldy mengatakan bahwa hakim mengeluarkan putusan tanpa sama sekali memasukkan fakta persidangan dengan utuh. Sebelumnya, pada persidangan terungkap pembelokan dan penambahan fakta persidangan.
“Majelis hakim kami anggap lalai dengan mengabaikan fakta persidangan,” kata Pratiwi Febri salah satu kuasa hukum Alnoldy.
Majelis hakim, menurut Pratiwi juga hanya menggunakan keterangan para saksi dan ahli yang memberatkan terdakwa untuk membangun fakta. Majelis hakim dianggap tidak melakukan analisis unsur pidana dengan menggunakan teori dan doktrin hukum, melainkan memakai analisis bahasa dengan menggunakan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini tersebut yang kemudian menjauhkan keadilan dari terdakwa pada proses persidangan.
“Sikap majelis hakim yang tidak imparsial memang sudah ditunjukkan sejak awal persidangan kasus Alnodly sampai proses pembuktian. Kecacatan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kembali diabaikan oleh majelis hakim,” tambah Pratiwi.
Pembelaan terdakwa dan kuasa hukum hanya menjadi sisipan dalam putusan majelis hakim tanpa pertimbangan yang jelas dan lengkap. Kalender persidangan (court calendar) yang tidak pernah disepakati oleh kuasa hukum dijadikan dasar untuk melanggar hak terdakwa dengan melewatkan pengajuan eksepsi terdakwa. Permintaan maaf dan sikap kooperatif terdakwa selama persidangan dianggap tidak ada oleh majelis hakim. Pemberatan justru diberikan oleh majelis hakim atas dasar keresahan masyarakat yang tidak jelas wujudnya dan sangat relatif serta tidak tertukur secara hukum.
Alat bukti yang cacat berupa hasil laboratorium forensik yang memeriksa status terdakwa berbeda dengan apa yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, hal tersebut tetap digunakan oleh majelis hakim sebagai pertimbangan dalam putusannya. Ketidakhadiran ahli forensik digital di muka persidangan guna menguji orisinalitas dan otentisitas status FB (Facebook) terdakwa diabaikan oleh majelis hakim.
Double Opzet (unsur kesalahan berlapis) gagal dibuktikan oleh penuntut umum dan hal tersebut justru dibenarkan oleh majelis hakim. Penjabaran dan penjelasan terkait Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat serta Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan yang telah dikirimkan oleh 2 (dua) organisasi masyarakat ELSAM dan ILRC dalam bentuk Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) pun diabaikan oleh Majelis Hakim.
Ruangan sidang utama PN Pandeglang disesaki puluhan massa aksi dan dalam waktu bersamaan massa juga menggelar aksi yang dipenuhi teriakkan dan ancaman. Mereka menuntut Alnoldy dipidana seberat-beratnya dengan mengatakan, “kita hormati putusan Pengadilan, tapi kalau tidak diputus maksimal 5 (lima) tahun kita siap ganyang”. Hal ini jelas merupakan pernyataan ancaman kepada Majelis Hakim. Bahkan beberapa kali pengunjung sidang yang merupakan massa aksi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar tata tertib persidangan. Seperti sidang-sidang sebelumnya, majelis hakim mengabaikan dan tidak menegur mereka.
Berdasarkan keseluruhan fakta persidangan sebagaimana yang kami ungkapkan di atas, kami Tim Kuasa Hukum menyatakan mengecam putusan Majelis Hakim PN Pandeglang atas nama Terdakwa Alnodly Bahari. Putusan tersebut merupakan produk dari peradilan sesat. Kami meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa ketiga Hakim dalam perkara Alnodly Bahari. Selain itu kami juga meminta Komisi Kejaksaan untuk memproses laporan yang telah kami masukan atas 8 (delapan) orang Penuntut Umum yang telah memproses perkara ini dengan penuh kesesatan dan kecacatan. Kepada Komisi Kepolisian Nasional, kami juga meminta untuk segera memproses oknum-oknum serta Pejabat Kepolisian yang telah bertindak melanggar SE Kapolri tentang Penanganan Hatespeech (Ujaran kebencian) dengan mengabaikan perdamaian yang telah terjadi antara masyarakat Kampung Gadog dengan Alnoldy dan isterinya, serta terus menaikkan perkara ini sehingga terjadinya eskalasi konflik di tengah masyarakat.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Hormat Kami.
TIM KUASA HUKUM
Alnoldy Bahari
Pratiwi Febry – LBH Jakarta
Uub – Safenet