Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus bersalah Dendy Apriyandi dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, Senin (23/4). Dendy dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah menguasai narkotik jenis shabu yang ditemukan di mobil dan dompetnya. Menurut kuasa hukum Dendy, majelis hakim dianggap tidak mempertimbangkan “kesalahan” atau kondisi batin (mens rea) Dendy yang tidak mengetahui mengapa ada narkotika golongan I tersebut di barang bawaanya. Sejak awal persidangan Dendy menegaskan ada rekayasa kasus dalam perkaranya.
Majelis hakim yang diketuai Tafsir Sembiring Meliala dengan hakim anggota Desebeneri Sinaga dan Abdul Kohar tersebut mendasarkan pertimbangannya dari keterangan 2 orang saksi dari Polsek Senen. Meskipun diputus jauh dari tuntutan jaksa yang meminta Dendy dihukum 6 tahun penjara, Shaleh Al Ghifari, Pengacara Publik LBH Jakarta yang menjadi kuasa hukum Dendy mengaku tetap kecewa dengan putusan tersebut. Menurutnya, Dendy harus bebas.
Gifar menyebut hakim tidak mempertimbangan fakta persidangan yang menunjukan barang-barang Dendy dikuasai orang lain sebelum ditangkap.
“Dipersidangan terbukti bahwa barang bawaan Dendy (dompet dan mobil) dikuasai seharian pada tanggal itu (27 November 2017) oleh counselornya yang bernama Rizki di Panti Sosial, Ciseeng. Bahkan, dompet dan mobil baru diserahkan Rizki sekitar pukul 7.15 malam. Selang satu jam, ia (Dendy) ditangkap Polsek Senen di Jalan Mad Nur, Ciseeng, Bogor lalu polisi mengaku menemukan shabu itu. Ini kan aneh, Dendy ini dijebak, seharusnya ia bebas.” ungkap Gifar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (23/4) usai mendengar putusan hakim.
Konsekuensi dari tidak dipertimbangkannya fakta tersebut menurut Gifar membuat Dendy sangat dirugikan. Seharusnya fakta tersebut menurut Gifar dapat dijadikan alat bukti petunjuk dihubungkan dengan keterangan Dendy bahwa ia pernah bermasalah dengan seorang anggota DPR-RI yang tidak senang dengannya karena ia dekat dengan istri kedua dari wakil rakyat itu. Terlebih ada fakta bahwa pengacara anggota DPR itu sempat berkomunikasi dan meminta nomor HP Rizki saat Dendy berada di Panti. Sebaliknya pada pertimbangan hakim juga tidak terungkap bagaimana asal mula narkotika tersebut bisa berada di dompet Dendy.
“Unsur mens rea dalam suatu perkara pidana harus dibuktikan. Meskipun terbukti ada narkotika di barang bawaan Dendy, tidak mungkin Dendy dipersalahkan dan bertanggungjawab atas tindak pidana penguasaan narkotika, padahal ia sendiri tidak mengetahui asal muasal narkotika itu. Fakta bahwa ada orang yang tidak senang dengan Dendy dan barang-barangnya dikuasai orang lain sebelum ditangkap, seharusnya sudah cukup untuk membuat hakim yakin berdasarkan persesuaian alat bukti sebagai petunjuk bahwa “niat” jahat Dendy tidak terbukti. Setidaknya, hakim seharunya tidak menganggap kesalahan Dendy terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt)” tambah Gifar.
Selanjutnya, majelis hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa dari bukti-bukti yang diajukan penasihat hukum tidak ditemukan adanya fakta bahwa terjadi penjebakan. LBH Jakarta menilai majelis hakim tersebut juga tidak tepat. “Ini sangat aneh, dalam perkara pidana beban pembuktian berada pada penuntut umum, bahkan hakim sendiri bisa mencari bukti diluar yang diajukan penuntut umum agar suatu perkara yang diputus pidana terbukti secara sah dan meyakinkan. Majelis menurut kami telah keliru membebankan pembuktian penjebakan pada pihak terdakwa selaku orang yang dituntut. Ini menujukkan, jaksa dan hakim gagal membuktikan mens rea Dendy” tambah Gifar.
Selain itu, diterimanya keterangan saksi yang berasal dari kepolisian oleh majelis hakim juga menjadi catatan sendiri dalam kasus Dendy. Ahli Hukum Pidana Dr. Ahmad Sofyan sebelumnya dipersidangan (19/3) diajukan oleh LBH Jakarta menerangkan bahwa tidak ada aturan spesifik yang melarang polisi menjadi saksi. Namun, berdasarkan penelitiannya, keterangan polisi penangkap tidak bisa diterima di persidangan. Apalagi dalam kasus narkotika. Jika keterangan polisi saja terus menerus dijadikan bukti dalam kasus narkotika maka ditakutkan akan terus terjadi rekayasa kasus.
Arif Maulana, Kepala Divisi Fair Trial LBH Jakarta menerangkan bahwa semestinya polisi tidak bisa menjadi saksi perkara pidana karena sangat diragukan objektifitas keterangannya. “Banyak preseden putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keterangan polisi, apalagi yang menangkap Terdakwa tidak diterima oleh Pengadilan. Polisi punya kepentingan perkaranya menang di pengadilan, tidak mungkin ia objektif. Jadi seharunya polisi tidak diterima kesaksiannya. Tidak memenuhi ketentuan Pasal 186 KUHAP yang mensyaratkan keterangan saksi haruslah diberikan secara bebas dan objektif” ungkap Arif yang juga menghadiri persidangan saat itu.
Keterangan ahli Ahmad Sofyan dan dalil LBH Jakarta dibantah hakim dalam putusannya dengan menyatakan menurut penilain majelis hakim keterangan polisi masih objektif, tanpa menjelaskan alasannya. Atas putusan tersebut LBH Jakarta berencana akan melakukan banding. Namun LBH jakarta masih menunggu keputusan dari kliennya, Dendy. “Kami berencana banding, tapi sepertinya Dendy masih shock mendengar putusan hakim. Kami menunggu keputusan Dendy, ia masih pikir-pikir” tambah Arif.