“Dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 2500 tahun, reforma agraria di berbagai belahan dunia mengalami perubahan/perkembangan makna. Namun ciri pokoknya tetap, yaitu “mengubah susunan masyarakat di bidang agararia, demi keadilan,” demikian pernyataan Gunawan Winardi pada Hari Tani Nasional tanggal 24 September 2017.
Pernyataan tersebut dikutip oleh Dewi Kartika selaku fasilitator pada Kalabahu 39, Jumat (13/04). Dewi yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyampaikan materi seputar reforma agraria dan perampasan tanah.
Kepada para peserta Kalabahu 39 Dewi memaparkan kunci reforma agraria yang merupakan restrukturisasi dan keadilan. Dewi mengatakan bahwa Reforma Agraria tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki ekonomi tapi juga bertujuan agar terjadi transformasi sosial di pedesaan, yang berkeadilan dan berbasiskan penataan ulang struktur agraria. Penguatan ekonomi kerakyatan juga menjadi fokus dari reforma agraria sehingga dengan sendirinya dapat menumbuhkan kesejahteraan.
“Reforma Agraria dapat dikatakan menjadi upaya sistematis untuk merombak tatanan struktur agraria (tanah) di sebuah negara sehingga menghasilkan struktur agraria baru yang lebih berkeadilan dan memakmurkan,” jelas Dewi.
Lebih lanjut, Dewi juga mengatakan bahwa reforma agraria harus dilakukan secara sistematis menyeluruh di seluruh Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan reforma agraria dan juga menyelesaikan permasalahan agrarian hingga ke akar-akarnya.
“Reforma Agraria tidak bisa dilakukan secara setengah-setengah,” tegas Dewi.
Dewi menjelaskan saat ini Indonesia sedang menghadapi krisis agraria yang kronis dan sistematik. Hal tersebut terlihat dari ketimpangan struktur yang tajam, konflik agraria struktural, de-agrarianiasasi dan kerusakan ekologis. Hal tersebut menyebabkan fenomena yang disebut dengan Guremisasi (petani yang memiliki kurang dari 0,5 ha), tunawisma (tanpa kepemilikan tanah), hilangnya generasi petani, ploletarianisasi petani, urbanisasi, migrasi, kemiskinan di desa dan krisis berdesa. Dengan masifnya hal tersebut, menurut Dewi hal tersebut menunjukan bagaimana kebijakan agraria di Indonesia jauh dari keadilan dan timpang.
“Sebagai contoh kondisi petani Indonesia saat ini sedang mengalami Guremisasi. Sebagian besar petani di Indonesia hanya memiliki tanah tidak lebih dari 0.5 hektar, dan sisanya justru mengalami kondisi landless tanpa kepemilikan tanah,” pungkas Dewi.
Kondisi alih daya tanah yang marak terjadi di Indonesia (awalnya lahan pertanian menjadi gedung-gedung industri, pabrik), telah mengalihkan masyarakat yang awalnya petani menjadi buruh-buruh pabrik. masyarakat pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang layak karena menganggap profesi petani tidak memiliki masa depan. Masyarakat yang sebelumnya menjadi petani terjebak ke dalam sektor informal dengan upah yang sangat rendah, bahkan rela bekerja ke luar negeri karena di tempat mereka tinggal tidak ada lagi tanah yang dapat digarap.
Mengutip dari Catatan akhir tahun KPA tahun 2017, “jumlah konflik agraria di Indonesia mencapai 659 dengan konflik seluas 520.491,87 ha. Sehingga apabila di rata-rata ada dua konflik agraria di Indonesia dalam sehari”.
Dalih-dalih perampasan tanah saat ini menurut Dewi bersembunyi dibalik alibi pembangunan bagi rakyat. Konflik agraria terjadi karena ekonomi politik agraria yang kapitalistik dan liberal, munculnya kolonialisme gaya baru, UUPA tidak dijalankan, dan tidak terjadi perubahan paradigma dalam memandang sumber agraria. Tanah kerap di pandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi saja, pembiaran monopoli atas tanah dan sumber agraria lainnya oleh segelintir orang/kelompok.
“Hingga tahun 2016 perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,67 Ha, 31 persen dari luas tersebut hanya dimiliki beberapa group saja seperti Sinar mas group, salim group, jardin Matheson group, wilmar group dan surya dumai Group,” kata Dewi.
Agenda reforma agraria dalam RPJMN 2015 -2019 yang digagas oleh Presiden Joko Widodo adalah sertifikasi tanah seluas 9 juta ha. Akan tetapi menurut Dewi, reforma agraria ala Jokowi harus diluruskan karena reforma agraria bukan semata-mata bagi-bagi sertifikat tanah.
Sebagai penutup, Dewi Kartika mengemukakan perlu adanya pelurusan dan percepatan reforma agraria. Perlu adanya penguatan landasan hukum agar refoma agraria dapat berjalan dengan baik dan juga diperlukan pengakuan dan pemenuhan hak dasar petani, nelayan, dan masyarakat adat. (Maulana)