Penyampaian materi dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) ke-39 kembali dilakukan LBH Jakarta, Selasa (17/04). Materi yang disampaikan pada kesempatan kali ini adalah Hak Atas Pendidikan yang disampaikan oleh Heny Supolo Sitepu. Heny Supolo Sitepu beliau merupakan ketua dari Yayasan Cahaya Guru dan juga salah satu pengagas sekolah Al-Idzar di Pondok Labu. Beliau juga pernah mengabdikan dirinya di LBH Jakarta pada tahun 1980 s/d 1984. hingga saat ini beliau telah menjadi seorang pendidik hingga kurang lebih sudah 30 tahun.
Seorang ibu yang akrab disapa dengan Heny ini memulai sesi dengan menceritakan kondisi riil kesempatan untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Khususnya pada anak, yang kita ketahui bersama bahwa saat ini masih banyak orang tua yang mengizinkan anaknya untuk menikah di usia dini. Menurut Heny, ketika berbicara mengenai masa depan, maka hak seorang anak untuk mendapatkan sebanyak mungkin pendidikan yang dipakai sebagai amunisi untuk menghadapi masalah sangatlah penting.
“Baru-baru ini kita dikejutkan oleh orang tua yang mau menikahkan anaknya yang masih SD dengan seorang pria berumur 30 tahun, di Leuwiliyang di daerah Bogor. Kami pernah patungan untuk membayar hutang seorang bapak karena ingin mengawinkan anaknya yang baru kelas 5 SD, si Bapak rela mengadaikan anaknya agar hutangnya terbayar,” cerita Heny.
Ia menyebutkan faktor ekonomi menjadi salah satu faktor adanya pernikahan anak. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan kesempatan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut tentunya akan berbalik bilamana seorang anak bisa mencoba untuk terus mencerdaskan dirinya. Dengan mencerdaskan diri bisa dikatakan seorang anak akan siap untuk menerima tantangan-tantangan berpikir dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di masa depan.
Kepada para peserta Heny memberikan masukan mengenai apa yang harus dilakukan ketika kelak para peserta bertemu dengan kejadian serupa secara nyata. Menurut Heny para peserta dituntut untuk dapat sabar dan memiliki kemampuan mendengar.
“Untuk kalian latihan mendengarkan menjadi penting, pada saat kita bicara mengenai hak atas pendidikan melihat bahasa tubuh mendengarkan menjadi sangat penting, pada saat berbicara Bantuan Hukum Struktural yang lebih penting adalah itu,” jelas Heny.
Saat sesi menjelasakan Ibu Heny mempersilahkan ke peserta untuk langsung menanyakan terkait yang disampaikan olehnya. Salah satunya peserta, Dharma dari Yogyakarta, kepada Heny ia mempertanyakan sistem pendidikan di Indonesia yang sebetulnya belum menjadi prioritas.
Menurut Heny, proses penguatan pendidikan bisa dilakukan siapa pun, meski hal tersebut memang tanggung jawab negara. Pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pasca pemaparan materi dari Ibu Heny, suasana kelas menjadi semakin dinamis karena banyak peserta yang bertanya. Pertanyaan para peserta berkutat seputar bagaimana hak atas pendidikan dan menceritakan beberapa pengalaman yang dialamai langsung. (Toha)