Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 39 LBH Jakarta memasuki pekan kedua. Pada Senin (16/04) para peserta belajar dan berdiskusi tentang Hak Kebebasan Berkumpul dan Berserikat. Materi ini disampaikan dan dipandu oleh Fransisca Fitri dari YAPPIKA. Fransisca menyampaikan materi dan mengajak para peserta diskusi terkait permasalahan mutakhir tentang kebebasan Berkumpul dan Berserikat seperti permasalahan Perppu Ormas.
Fransisca mengawali penyampaian materi dengan mengupas pengertian Organisasi Kemasyarakatan. Ia menyoroti sejarah panjang Ormas mulai zaman pra kemerdekaan hingga saat ini.
“Pada masa penjajahan pemerintah Kolonial membuat Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen yang merupakan kerangka hukum Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum, kurun beberapa tahun lahirlah Ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’. Pada masa Orde Baru pemerintah UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk terwujudnya asas dan wadah tunggal 10 Desember 1987. UU Tersebut digunakan untuk membubarkan Pelajar Islam Indonesia dan Gerakan Pemuda Marhaen dibubarkan Mendagri Soepardjo Rustam dengan alasan karena tidak menyesuaikan dengan UU Ormas,” jelas Fransisca.
Fransisca juga mengupas kembali pengertian Ormas yang salah kaprah dalam UU Ormas saat ini. Menurutnya, ada kerancuan pada pengertian Ormas di UU Ormas yang bisa menciderai Kebebasan Berkumpul dan Berserikat.
“UU Ormas merancukan kerangka hukum dan menyempitkan kemerdekaan berserikat menjadi hanya berbentuk Ormas, serta mengembalikan pendekatan politik kepada organisasi sosial di bawah pembinaan Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol). Dimasukkannya Yayasan dan Perkumpulan berdampak besar bagi rumah sakit, kampus, panti asuhan, dan berbagai organisasi sosial/pendidikan/kesehatan. Apakah mereka akan disebut sebagai Ormas?” Tambah Fransisca.
Konsekuensi UU Ormas yang mencampuradukkan yayasan dan perkumpulan ke dalam kategori ormas mengakibatkan konflik norma dan kompleksitas pada tataran implementasi. Sebab dalam penerapannya sebuah organisasi harus tunduk pada 2 undang-undang yang mengatur pembidangan yang sama.
Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, UU Ormas dan Masa Depan Demokrasi Kita
Masa depan demokrasi Indonesia saat ini bisa dikatakan berjalan tanpa ruh. Demokrasi hanya ditafsirkan untuk merebut kekuasaan, jika demikian demokrasi kehilangan subtansinya. Rezim perizinan dalam UU Ormas saat ini adalah bentuk represi yang tidak mencerminkan demokrasi, menurut Fransisca saat ia masuk pada bagian pembahasan demokrasi. Melalui contoh yang sama soal UU Ormas, Fransisca mengatakan bahwa pengaturan Ormas sebagai “UU payung” hanya akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit.
Lebih lanjut, demokrasi di Indonesia juga terancam kehilangan subtansinya untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengekangan terhadap rakyat atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat melalui UU Ormas menghilangkan peran rakyat dalam mengawal demokrasi di Indonesia.
“Esensi dari kebebasan warga negara untuk berkumpul dan berserikat dalam kondisi damai adalah sebagai teropong yang mengontrol dan mengawasi peran, fungsi, dan kewenangan pemerintah dan agar selalu berjalan dalam koridor demokrasi,” tutur Fransisca.
Mengumpulkan kekuatan dan menyatukan suara dalam bentuk kebebasan berkumpul dan berserikat adalah kepentingan rakyat yang harus didengar dan dipenuhi oleh negara. Hal tersebut harus dipandang sebagai penyeimbang dalam fungsi kontrol sosial dan politik.
“Selama tindakan-tindakan organisasi itu tidak melanggar hukum, ketertiban umum, keselamatan publik dan keamanan nasional serta pembatasan-pembatasan dalam kerangka HAM secara internasional,” tutup Fransisca. (Toha)