Pembahasan tentang Hak Asasi Manusia di pelatihan tahunan Kalabahu angkatan ke-39 LBH Jakarta diperdalam dengan pembahasan Pengantar Hak Sipil dan Politik (16/04). Sesi ini di fasilitasi oleh Papang Hidayat, dari Amnesty Internasional Indonesia. Sesi ini diawali dengan pre-test untuk melihat perspektif awal peserta terkait dengan isu-isu kontradikitif terkait hak sipil dan politik.
Papang menjelaskan bahwa hak sipil termasuk hak-hak yang melekat pada diri seseorang, yang tidak boleh dirampas dan dilanggar secara semena-mena oleh pihak lain, baik itu oleh negara, organisasi sosial, atau individu lainnya. Sedangkan hak politik adalah hak-hak yang melekat pada diri seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial (politik) dalam konteks ketatanegaraan atau pemerintahan.
Hak sipil dan politik secara umum diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Secara khusus juga diatur dalam berbagai instrumen HAM Internasional.
“Jenis-jenis hak sipil dan politik meliputi hak hidup, hak atas peradilan yang adil dan jujur, hak untuk tidak disiksa, hak memeluk agama dan/atau keyakinan, hak meyakini paham politik tertentu, dan sebagainya,” jelas Papang.
Tugas negara dalam pemenuhan hak sipil dan politik sebenarnya sebagaimana tugas negara terhadap hak asasi manusia itu sendiri, yakni untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak asasi tiap-tiap manusia. Namun, untuk melakukan tugas tersebut pada hak sipil dan politik, dimensi hak bersifat negatif.
“Yang dimaksud dengan dimensi hak bersifat negatif adalah pemenuhannya terjadi bila negara tidak melakukan intervensi (pelanggaran) terhadap hak sipil dan politik seseorang. Dengan kata lain makin minim peran negara dalam pengaturan hak ini, maka tugas negara terhadap hak sipil dan politik justru makin baik,” tegas Papang.
Dimensi hak yang bersifat negatif pada hak sipil dan politik ini, nampaknya belum dipahami oleh negara secara utuh. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aturan yang justru menunjukan intervensi negara dalam pengaturan hak sipil dan politik. RUU KUHP dengan banyaknya pasal pidana keagamaan dan pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi kelompok tertentu. Kelompok minoritas gender contohnya, yang kehadirannya seolah tak diinginkan negara dalam hak sipil dan politik. Hal lain yang menunjukan ‘keusilan’ negara dalam mengatur hal yang tak seharusnya diatur adalah hukuman mati. Hal tersebut seharusnya tidak dilakukan oleh negara karena memperlihatkan sikap negara yang tidak menghargai manusia sebagai manusia. Negara lupa bahwa tidak seorang-pun dapat dirampas hak-nya untuk hidup atas dalil apapun.
Disisi lain, negara justru malah menjadi pelanggar hak sipil dan politik itu sendiri secara pasif. Hal ini dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti kesengajaan negara untuk abai terhadap pemulihan hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu, ketidaktegasan negara terhadap pelaku penutupan rumah-rumah ibadah dan penegakan hukum terhadap aparatur negara pelaku penyiksaan.
“Berdasarkan hal ini maka dapat dilihat logika terbalik negara terhadap tanggung jawabnya atas hak sipil dan politik. Dimana harusnya negara tidak hadir, negara justru hadir dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, sedangkan penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia tak dilakukan oleh negara. Hal ini menunjukan bahwa hadirnya negara dalam hak sipil dan politik justru malah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia,” tutup Papang. (Jeanny)