LBH Jakarta menggelar pertemuan kelas pertama Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) ke-39, Senin (9/4). Materi dalam pertemuan pertama Kalabahu 39 ini adalah Pengantar Ideologi yang disampaikan oleh Hizkia Yosias Polimpung, peneliti dari Koperasi Riset Purusha dan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Pria yang akrab disapa Yosie ini memulai kelas dengan sebuah penegasan bahwa pembahasan ideologi tidak akan bersifat abstrak. Menurutnya ideologi justru bersifat riil, kongkrit, dan materialis.
“Orang selalu membayangkan bahwa bahasan soal ideologi itu seolah-olah satu hal yang ideal, yang ngawang-ngawang, soal gagasan dan bla-bla-bla seterusnya. Saya akan menunjukkan, bahwa persoalan ideologi itu sebenarnya riil, nyata, materialis, dan kongkrit. Ia dapat ditemukan dengan mudah dari cara berpakaian seseorang, bersosialisasi, dan atau cara ia bertindak, berucap, maupun berbahasa,” jelas Yosie.
Ia menyebutkan, bahwa pada arah tujuannya, ideologi diarahkan untuk membuat satu tatanan terlihat teratur, dan terlihat normal. Hal ini ia contohkan dengan menganalisa bentuk format barisan kursi peserta Kalabahu di dalam kelas.
“Coba anda bayangkan dan pikirkan, mengapa bentuk kursi dalam kelas ini harus berjejer dan berderet seperti ini? Kenapa harus berbentuk “Letter U”? Dan mengapa anda harus duduk di belakang, sedangkan saya harus berdiri dan berbicara di depan?” Tanya Yosie kepada para peserta.
Atas pertanyaan tersebut, sebagian peserta menjawab bahwa deretan kursi di dalam kelas diposisikan sedemikian rupa agar kelas menjadi kondusif. Sebagian peserta lain menyambut pertanyaan Yosie dengan jawaban bahwa posisi tersebut dimaksudkan agar penyampaian pengetahuan di dalam kelas bisa saling tersampaikan.
Mendengar ragam jawaban peserta, Yosie kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya dalam posisi tersebut, ada upaya pendisiplinan, dan penormalan. Tidak hanya itu, ia menyebutkan bahwa terdapat relasi kuasa yang timpang di dalam kelas melalui contoh susunan kursi.
“Anda-anda itu dianggap sebagai seorang yang tidak punya pengetahuan, oleh karena itu harus duduk dan berbaris rapi. Sedangkan saya yang seolah-olah punya pengetahuan, berposisi lebih tinggi, dibekingi oleh CV, bertindak agar anda-anda ini punya pengetahuan dan terdisiplinkan. Ini sebenarnya ada relasi kuasanya disini,” jawab Yosie ditutup tawa.
Pada pemaparan selanjutnya, Yosie menjelaskan bahwa analisis ideologi, diperlukan suatu pemahaman yang analitis. Artinya, ia harus cermat, detail, dan sekongkrit mungkin membedah cara kerja suatu ideologi, karena dalam ranah praktik, ia kerap menjelma dalam bentuk mutasi-mutasi.
Yosie mencontohkan pada konteks seksualitas. Pada zaman dahulu kala, orang melakukan aktivitas seksual bisa dengan sesuka hati. Entah itu dalam mode heteroseks, ataupun homoseks. Dan hal ini adalah perilaku bersenang-senang, yang cukup menghabiskan waktu dan tenaga.
Namun seiring berjalannya waktu, pada abad 17 masehi, perilaku ini sedikit demi sedikit diintervensi dan dikontrol, dengan alasan, tidak menunjang produktifitas dan tidak bersifat prokreatif. Untuk itu, moral agama, budaya, dan masyarakat dibuat dan dijadikan legitimasi untuk mengkontrol seksualitas. Seperti yang tergambar pada abad 17 masehi saat kebangkitan industrialisasi dan kapitalisme.
Ia menambahkan, bahwa banyak orang-orang yang kerap kali salah kaprah dalam memandang dan melihat ideologi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya orang yang kerap mendefinisikan ideologi sebagai suatu alat yang mengaburkan realitas, sebagai alat klaim untuk heroistik dan pemelaratan diri, hingga ada juga yang kemudian menghindarinya dengan alasan observasi objektif.
“Bahwa sebenarnya, kita tidak bisa sama sekali keluar dari ideologi. Kita menyerap berbagai pengetahuan, cara dan perilaku hidup, norma, moral, dan sebagainya. Dan itu berjejak dalam diri kita, dalam setiap penggunaan bahasa dan tingkah laku kita. Justru ketika mengklaim kita keluar dari ideologi, atau seolah-olah sesuatu itu normal dan biasa saja, maka sebenarnya kita semakin tercengkram dalam ideologi tersebut,” imbuh Yosie.
Dalam ilustrasi yang diberikan Yosie, seseorang yang menjalani hidupnya seolah-olah biasa saja, normal, dan tak terjadi apa-apa, sebenarnya pada saat itu juga suatu ideologi itu bekerja. Namun ketika seseorang mulai mempertanyakan ada yang aneh dan tidak biasa-biasa saja dalam hidup ini, maka itu momen atau tegangan bagaimana ideologi terkontradiksi di dalamnya.
“Saya mempercayai bahwa di dunia ini yang masih eksis dan merembes pada perilaku setiap manusia, adalah ideologi kapitalisme ataupun ideologi neo-liberalisme. Jika ideologi kapitalisme adalah berbicara soal praktik kehidupan ekonomi oleh pasar, maka ideologi neo-liberalisme adalah ideologi yang berbicara soal praktik politik oleh negara, oleh kedaulatan,” ungkap Yosie.
Ideologi besar tersebut memiliki skema ideologisnya tersendiri, dalam menormalkan, mendisiplinkan, menstabilisasikan, dan mewajarkan setiap perilaku yang mendukung cita-cita ideologi-ideologi besar tersebut. Tak terkecuali bagi kelompok pejuang khilafah, yang masih sama-sama menggunakan logika kedaulatan khas kelompok neo-liberal, ataupun kelompok islam syariah yang masih menggunakan logika kapitalisme dalam praktik ekonomi syariahnya.
Dalam akhir sesi pemaparannya, Yosie menambahkan penjelasan bagaimana ideologi memiliki dampak terhadap hukum. Baginya, hukum adalah media yang sangat potensial terpapar atas ideologi, karena ia ditopang oleh kekuatan dan struktur berbahasa. Oleh karenanya, hukum sendiri bukanlah produk langit yang tiba-tiba ada, tapi ia kongkrit dan situasionis.
“Bagaimana melihat intervensi suatu ideologi atas suatu produk hukum, ini bisa dilihat dari bahasa atau frasa apa yang digunakan dalam merumuskan suatu teks hukum. Penggunaan diksi kata atau kalimat, itu sangat terpengaruh oleh suatu ideologi. Dan suatu hukum, itu bisa mencerminkan kepentingan kelompok berideologi tertentu juga,” ujar Yosie.
Yosie menegaskan, bahwa hukum itu berasal dari yang partikular. Partikularitas hukum tersebut mencerminkan dorongan kehendak dan norma kelompok tertentu, agar hukum tersebut dijadikan suatu yang universal, dan menertibkan tatanan seraya mengeksklusikan satu hal lain yang dianggap tidak dapat turut menertibkan tatanan.
Pasca pemaparan materi dari Yosie, suasana kelas menjadi semakin dinamis karena banyak peserta yang bertanya. Pertanyaan para peserta berkutat seputar kapitalisme dan neoliberalisme yang mereka anggap mengancam demokrasi. (Rasyid)