LBH Jakarta mengecam praktek merger perusahaan aplikasi yang melanggar hak-hak pekerja. Pasca Uber merger dengan Grab, status seluruh karyawan Uber, termasuk seluruh driver Uber terombang-ambing. Alih-alih memberikan hak karyawan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Uber justru meniadakan hal tersebut. Bahkan, untuk sebagian besar karyawannya yang bekerja sebagai driver dengan menggunakan istilah “kemitraan”. Hubungan kemitraan ini bersifat eksploitatif karena menganggap buruh transportasi sebagai mitra, namun memperkerjakan mereka sama seperti buruh pada umumnya.
Pihak Uber telah memberikan informasi bahwa per tanggal 8 April 2018 nanti, pihaknya akan melakukan merger dengan Grab. Seluruh supir Uber Indonesia diberikan notifikasi untuk melakukan daftar ulang kembali ke Grab. Selain itu, Grab juga tidak menjamin untuk menerima driver yang memiliki disabilitas maupun yang lanjut usia, seperti yang terjadi pada para driver Uber motor yang tuna rungu. Pihak tersebut tidak diberikan hak-hak apapun sebagai pekerja Uber.
Kebijakan untuk tidak memperkerjakan pekerja karena alasan disabilitas sesungguhnya melanggar peraturan perundang-undangan. Indonesia sendiri sejatinya telah mengakomodir hak – hak para pekerja disabilitas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, yang mana terdapat prinsip non-diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pasal 11 UU No. 8 Tahun 2016 sudah jelas menyatakan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau swasta tanpa diskriminasi.
Kebijakan untuk mendaftar ulang ke Grab tanpa memberikan hak apapun sesungguhnya melanggar hak-hak pekerja. Istilah kemitraan dijadikan kedok untuk meniadakan kewajiban pengusaha dalam memenuhi hak. Padahal, hubungan antara Uber dengan buruh transportasinya tidak dapat dikategorikan sebagai kemitraan. Kemitraan sendiri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Terdapat 4 syarat kemitraan, yaitu: (1) adanya hubungan kerjasama antara 2 (dua) pihak atau lebih; (2) adanya relasi hubungan yang setara antara kedua belah pihak; (3) adanya keterbukaan/ transparansi; (4) adanya hubungan yang saling menguntungkan terhadap kedua belah pihak yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian kemitraan. Sedangkan perjanjian antara Uber dengan pengemudinya lebih tepat dikategorikan sebagai perjanjian kerja sebagaimana didefinisikan dalam UU Ketenagakerjaan dikarenakan memiliki karakteristik pekerja, menjalankan perintah dan menerima upah.
Sebagai akibat dari karakteristik hubungan kerja antara Uber dan seluruh pengemudinya, maka seluruh karyawannya harus dijamin hak-haknya sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenegarakerjaan, termasuk dalam hal penggabungan atau pengalihan perusahaan. Dalam Pasal 61 Ayat (2) Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2003, mengatur bahwa, “dalam hal terjadinya pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh”. Oleh karenanya, sistem “Daftar Ulang” yang dilakukan dalam hal merger ini seharusnya tidak boleh diartikan sebagai “masa pekerja di Nol kan lagi”. Bahkan sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang 13 Tahun 2003, disebutkan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja dalam hal terjadinya penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya, maka pekerja berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU 13 tahun 2003.
Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta mendesak agar seluruh karyawan Uber harus diakui sebagai pekerja tetap sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga seluruh hak-hak normatif pekerja maupun driver Uber haruslah diberikan pasca terjadinya merger, serta masa kerja pekerja yang semula bekerja di Uber haruslah diakui oleh pihak Grab. Selain itu, LBH Jakarta mendesak agar Pihak Grab pasca merger, untuk dapat segera mempekerjakan kembali para driver penyandang disabilitas tanpa adanya diskriminasi.
Jakarta, 29 Maret 2018
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung : Oky (081265410330)