Siaran Pers: Jaringan Buruh Migran (JBM) dan Koalisi Peduli Perdagangan Orang NTT
Tanggal 02 Mei 2012, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya melalui UU No 6 Tahun 2012. Hampir enam tahun pasca ratifikasi dan hampir empat bulan pasca disahkannya UU terbaru yang merupakan revisi dari UU 39/2004 yakni UU Pelindungan Pekerja Migran No 18 Tahun 2017, kasus kematian pekerja migran di NTT setiap minggunya tetap tinggi dan bahkan belum lama ini, dalam waktu satu minggu, terdapat tiga (3) jenazah yang dipulangkan dari Malaysia ke NTT dan terindikasi korban perdagangan orang.
Data kompilasi dari BP3TKI Kupang dan Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang menyebutkan selama 8 tahun (2011-Feb 2018) , jumlah pekerja migran dari NTT yang telah meninggal sebanyak 243 kasus. Bila dibandingkan data nasional pekerja migran meninggal dunia tahun 2017 yang dihimpun dari BNP2TKI, 29% dari 217 pekerja migran yang meninggal dunia, berasal dari NTT. Data media monitoring yang dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran (JBM) menunjukkan selama 2017 kasus perdagangan orang menjadi kasus kedua yang dialami oleh pekerja migran Indonesia (1.083 orang). Menurut United Nations Office on Drugs and Crime, tahun 2016, 71 % dari korban perdagangan orang di seluruh dunia adalah perempuan dan 28% korbannya adalah anak-anak.
Salah satu korban yang terindikasi korban perdagangan orang dan telah meninggal dunia adalah Milka, 60 tahun asal dari Kabupaten Kupang. Pada 09 Maret 2018, Milka meninggal dunia secara mendadak setelah 9 menit berbicara dengan keluarganya. Jenazah Milka dipulangkan ke Kabupaten Kupang dan pada jenazah Milka terdapat luka jahitan bekas autopsi dari kemaluan hingga leher. Greg R. Daeng dari Koalisi Peduli Perdagangan Orang NTT mengatakan bahwa Milka adalah korban trafficking. Meski berangkat melalui PPTKIS resmi karena umur dan tanggal lahir dipalsukan, PPTKIS yang memberangkatkan Milka, satu tahun setelah Milka bekerja di Malaysia, dicabut ijinnya oleh Kementerian Tenaga Kerja. Terkait dengan kematian Milka, juga terdapat beberapa fakta aneh diantaranya menurut keluarga, ketika masih berkomunikasi via telp, suara Milka masih terlihat sehat. Sayangnya telpon Milka diambil paksa dan dimatikan. Dua kali Milka berusaha menelpon keluarganya kembali namun dimatikan dari sana dan 9 menit kemudian keluarga mendapat telpon bahwa Milka meninggal. Hingga saat ini, respon pemerintah NTT pun tidak peduli. Meski peti mati hampir tiap minggu datang ke NTT, sampai dengan saat ini, belum ada pernyataan resmi dari kepala daerah, baik itu gubernur, bupati maupun walikota yang mengatakan bahwa NTT mengalami darurat perdagangan orang.
Selain tidak ada respon dari pemerintah provinsi maupun kabupaten, terdapat beberapa kejanggalan dalam penanganan kasus Milka. Okky Wiratama, Pengacara Publik LBH Jakarta menyatakan bahwa meskipun Pemerintah Malaysia telah melakukan otopsi berdasarkan aturan hukum Malaysia yakni Criminal Procedure Code Act No 539 dalam Pasal ke 330 dan 331, namun hingga saat ini keluarga belum dapat menerima alasan penyebab kematian yang tertulis dalam dokumen keterangan kematian dari pemerintah, ditambah keluarga merasa tidak pernah ditanya perihal ijin autopsi forensik. Keluarga masih menunggu kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Milka hingga meninggal.
Bila kasus pekerja migran hanya ditanggani layaknya sebagai pemadam kebakaran, maka niscaya kasus pekerja migran tidak akan berkurang. Hariyanto, Ketua Umum SBMI menegaskan sejak 2016 sampai 2017, SBMI mendapat aduan kasus pekerja migran sebanyak 1501 kasus. Dari kasus tersebut, 75% di duga korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan mayoritas adalah pekerja migran yang bekerja disektor rumah tangga (65%). Oleh karenanya, penting bagi pemerintah daerah NTT untuk melakukan upaya pencegahan atas maraknya terjadi korban TPPO dari NTT. Pencegahan yang dimaksudkan bukan menghentikan orang bekerja yang dijamin oleh Konstitusi RI, namun pencegahan ini lebih kepada membuat pendataan yang terintegrasi, terhubungnya informasi terkait dengan ketenagakerjaan dari pemerintah pusat, daerah, desa kepada masyarakat di NTT.
Savitri Wisnuwardhani, dari Seknas JBM menggarisbawahi bahwa kasus trafficking adalah kasus serius yang harus segera diselesaikan. Dalam kasus Milka terbukti bahwa dokumen paspor dipalsukan. Pemerintah harus segera membuat exit strategy untuk penuntasan kasus trafficking. Banyak hal yang harus dikerjakan, 31 gugus tugas TPPO masih berada ditingkat provinsi dan ada di 191 kab/kota namun untuk koordinasi dan implementasi ditingkat kab/kota blm berjalan. Kebijakan yang ada lebih difokuskan pada penindakan TPPO, belum memaksimalkan upaya pencegahan terlebih masih tingginya egosektoral antar pemerintah, pemahaman tidak merata antara aparatur negara dalam memandang permasalahan TPPO dan belum dilibatkannya peran organisasi buruh migran/organisasi yang peduli pekerja migran Indonesia untuk terlibat dalam pencegahan TPPO. Diharapkan peraturan turunan UU PPMI dapat mengatasi permasalahan trafficking.
Selain peraturan turunan yang harus diselesaikan selama 2 tahun pasca disahkannya UU PPMI, sejumlah rekomendasi dari Komite Buruh Migran PBB terkait implementasi Konvensi PBB 1990 yang telah diratifikasi oleh Indonesia juga harus dijalankan.
Daniel Awigra, Project Manager ASEAN & HAM, HRWG menyatakan bahwa kepulangan Milka dan kasus kematian PMI dari NTT seharusnya menjadi pukulan keras terhadap kinerja pemerintah Indonesia dalam melindungi PMI di luar negeri, khususnya Malaysia. Oleh karenanya HRWG mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan rekomendasi Komite Buruh Migran PBB untuk kasus TPPO diantaranya untuk memastikan UU Pemberantasan TPPO berlaku secara efektif diseluruh wilayah Indonesia termasuk di daerah kantong pekerja migran dan memastikan perlindungannya melalui peningkatan kapasitas HAM konsuler, pemberian sanksi terhadap pelaku, dan meningkatkan inspeksi ketenagakerjaan kepada pekerja migran di dalam dan luar negeri.
Terakhir yang juga sangat penting adalah membuat perjanjian antar negara yang lebih mengikat hingga terdapat sanksi bagi pihak yang tidak menepati perjanjian tersebut, Yatini Sulistyowati, Sekretaris Komisi Kesetaraan Gender, KSBI menyatakan bahwa MoU Indonesia dengan Malaysia telah berakhir sejak Mei 2016. Hingga saat ini MoU belum diperbaharui. Meskipun Indonesia dan Malaysia pada 23 September 2016 menandatangani LoI (Letter of Intent) yang mengatur mekanisme penempatan melalui one channel tetapi hingga saat ini belum ada bentuknya seperti apa. Mengenai mekanisme perlindungan juga belum dibahas. Belajar dari implementasi MoU Indonesia-Malaysia yang ada, banyak sekali kesepakatan MoU yang dilanggar tetapi tidak ada sanksi. Kedepan MoU atau MoA harus memastikan kesepakatan harus disepakati dengan sanksi-sanksi yang tegas.
Jakarta, 26 Maret 2018
Jaringan Buruh Migran (JBM) dan Koalisi Peduli Perdagangan Orang NTT
Narahubung:
Greg R. Daeng : 082213397977 / Savitri Wisnuwardhani : 082124714978 / Oky Wiratama : 081265410330/ Hariyanto : 082298280638 / Daniel Awigra: 08176921757/ Yatini : 085312303209