Sesaat sebelum matahari terbit tepat di atas Ibu Kota Jakarta. Mendung menyelimuti awan seolah akan turun hujan. Kamis (22/03), di depan Balai Kota DKI Jakarta, tampak riuh ramai massa pengunjuk rasa. Hari itu, 22 Maret, diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Suasana mendung itu seperti harapan warga DKI Jakarta, kehadiran air sebagai kedaulatan rakyat selalu dinanti. Air merupakan anugerah dari Tuhan YME, sudah seharusnya bisa dinikmati setiap orang. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dialami Warga DKI Jakarta saat ini. Untuk menikmati air warga DKI Jakarta harus merogoh kantong yang cukup dalam.
Puluhan massa unjuk rasa tersebut berasal dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Unjuk rasa tersebut menuntut Gubernur DKI Jakarta agar segera memutuskan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PT. Aetra dan PT. Palyja.
Tuntutan-tuntutan massa unjuk rasa menyangkut permasalahan air sebagai hajat hidup orang banyak yang oleh negara justru digunakan sebagai alat komoditas melalui kedua perusahaan air tersebut.
“Akibatnya, perusahaan swastalah yang diuntungkan dan negara beserta warganya dirugikan,” ucap Iwan warga Muara Angke dalam orasinya
Sebelumnya, KMMSAJ telah berjuang menuntut hak atas air dan berusaha mengembalikan pengelolaan air kepada negara. Perjuangan KMMSAJ pada tahun 2017 dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA). Pada putusannya MA memerintahkan pemerintah untuk memutus PKS dan mengembalikan pengelolaan air kepada negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan agar pengelolaan air didasarkan kepada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Sahut menyahut teriakan lantang menuntut hak atas air bergemuruh dalam unjuk rasa tersebut. Peserta unjuk rasa didominasi perempuan, hal ini menunjukan bahwa perempuan yang paling terdampak oleh privatisasi air tersebut.
“Kita masih menuntut agar Pemprov segera mengeksekusi putusan MA,” teriak Erna, yang mencurahkan sepanjang orasi juga mengutarakan kegelisahannya tentang privatisasi air.
Tidak hanya Erna, Ella salah satu peserta unjuk rasa juga menuntut Pemprov untuk segera menghentikan swastanisasi pengelolaan air bersih. Menurutnya, harga air bersih di Jakarta tak sebanding dengan pelayanan yang diterima warga. Bahkan, selama swastanisasi berlangsung, pemerintahan belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih warga terutama di wilayah pesisir Jakarta.
“Air merupakan sumber kebutuhan utama, tidak bisa didapatkan warga dan dampaknya sampai ke para perempuan yang sangat menggantungkan kehidupannya atas air,” ujar Ella.
Remunisipalisasi Bukan Restrukturisasi Kontrak Kerjasama Swasta
KMMSAJ mengingatkan bahwa putusan MA No.31 K/Pdt/2017 memutuskan bahwa para tergugat dan turut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menandatangani dan menjalankan kebijakan swastanisasi air Jakarta. Menurut MA mereka telah gagal memenuhi hak atas air warga Jakarta dan justru merugikan negara. MA tegas memerintahkan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta, mengembalikan pengelolaan air minum sesuai dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2005, serta sesuai dengan Komentar Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Hak Atas Air.
Oleh karena itu, Arif Maulana selaku kuasa hukum KMMSAJ dalam gugatan CLS Air menekankan bahwa upaya revisi perjanjian kerjasama dengan swasta (restrukturisasi) yang dilakukan oleh Direktur PAM Jaya haruslah ditolak.
“Telah terang dan jelas dalam putusan MA, para tergugat harus segera menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan mengambil alih pengelolaan air untuk kepentingan publik (remunisipalisasi) tanpa menunggu. Bukan justru melanjutkan swastanisasi air dengan dalih merevisi kerjasama sampai masa masa kontrak berakhir,” jelas Arif Maulana dari LBH Jakarta.
Arif juga menjelaskan bahwa pengelolaan air oleh negara adalah kunci untuk menjamin hak asasi warga atas air.
“Sebagai sumber kehidupan dan aset publik yang merupakan milik bersama (res commune) , kepentingan publik merupakan prioritas utama dalam pengelolaan air. Oleh karena itu, masyarakat harus terlibat menentukan bagaimana air akan dikelola, baik terkait alokasi maupun pengusahaan. Ruang partisipasi harus dibuka,” tambah Arif.
Menagih Janji Gubernur
Enam orang perwakilan massa pengunjuk rasa dipersilahkan masuk ke Balai Kota untuk menemui gubernur. Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta dengan beberapa staffnya menemui perwakilan massa pengunjuk rasa. Datang dengan badan tegap dan berjalan penuh wibawa, namun tidak memberikan kepastian apakah akan menjalankan putusan Mahkamah Agung untuk kedaulatan pengelolaan air di Jakarta.
Kepada Gubernur DKI Jakarta, perwakilan KMMSAJ menyampaikan bahwa usaha yang mereka lakukan sepenuhnya demi kepentingan rakyat. KMMSAJ sudah melakukan upaya hingga Mahkamah Agung dan putusan tersebut seharusnya segera dilaksanakan oleh gubernur.
“Sudah 5 bulanan sejak putusan dari Mahkamah Agung tersebut memenangkan gugatan kami belum ada dampak apapun atas swastanisasi air di Jakarta. Malahan Direktur PAM Jaya melakukan manuver restrukturisasi kontrak kerjasama swasta. Seolah putusan Mahkamah Agung tidak menghentikan privatisasi,” keluh Suhendinur salah satu penggugat dalam CLS Air kepada Gubernur DKI Jakarta.
Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta mulai memberikan jawaban-jawaban atas keluhan yang telah disampaikan kepadanya. Anies mengakui kewajibannya untuk memenuhi hak warga DKI Jakarta dan berjanji akan segera menjalankan putusan MA. (Toha)