Kamis, 22 Februari 2018, Ruang PK Ojong-Muchtar Lubis LBH Jakarta nampak ramai dipenuhi oleh wartawan, mahasiswa dan masyarakat sipil lainya. Mereka semua hadir memenuhi LBH Jakarta guna mengikuti diskusi publik yang diadakan oleh LBH Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan untuk menyoroti potret pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak di tingkat kepolisian. Diskusi Publik tersebut menghadirkan beberapa Narasumber diantaranya Ayu Eza Tiara (Pengacara Publik LBH Jakarta), Putu Elvina (Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Shaila Tieken (Peneliti PUSKAPA UI) dan AKBP Rumi Untari (Kanit II PPA Mabes Polri).
Berkaca dari rentannya pelanggaran terhadap anak yang berhadapan dengan hokum, LBH Jakarta melakukan penelitian Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian sepanjang tahun 2013-2016. LBH Jakarta menghimpun data penelitian tersebut dari kepolisian melalui Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan pengalaman LBH Jakarta dalam mengadvokasi kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum di sepanjang tahun 2013 – 2016. Lingkup penelitian diambil pada wilayah kepolisian Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian dibawahnya.
Dari hasil penelitian tersebut, LBH Jakarta menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ayu memaparkan, LBH Jakarta berhasil menghimpun data sebanyak 229 kasus anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah kepolisian Polda Metro Jaya.
Dari 229 kasus anak tersebut, jenis tindak pidana yang kerap melibatkan anak antara lain adalah jenis tindak pidana pencurian sebanyak 95 kasus; kekerasan terhadap anak sebanyak 34 kasus; kepemilikan senjata tajam sebanyak 20 kasus; terkait narkotika sebanyak 16 kasus; penganiayaan disusul dengan kasus pengeroyokan sebanyak 11 kasus; pemerasan sebanyak 10 kasus; pemerkosaan sebanyak 3 kasus; pembunuhan, pencabulan dan KDRT masing-masing sebanyak 2 kasus; judi, penghinaan serta perbuatan tidak menyenangkan masing-masing 1 kasus, dan terdapat sebanyak 17 laporan tidak terisi mengenai klasifikasi kasusnya.
Dari data yang didapat, diketahui pula bahwa penahanan terhadap anak masih menjadi opsi pertama oleh kepolisian yakni sebanyak 122 anak dilakukan tindakan penahanan dan 107 anak tidak ditahan.
Tidak hanya informasi mengenai jumlah anak yang berkonflik dengan hukum, data yang didapat juga dapat menjelaskan mengenai pelanggaran-pelanggaran apa saja yang kerap menimpa anak yang berkonflik dengan hukum. Salah satu hal lain yang mencolok pada penelitian ini adalah masifnya pelanggaran atas Hak Bantuan Hukum. Sebanyak 51 anak ditahap I (tahap penyidikan) didampingi oleh penasehat hukum, sedangkan sebanyak 178 anak tidak terpenuhi hak atas bantuan hukumnya. Pada tahap II (tahap pra-penuntutan) sebanyak 61 anak didampingi oleh penasehat hukumnya, dan sebanyak 168 anak tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Selain itu, hasil penelitian menunjukan minimnya upaya dan tingkat keberhasilan diversi dalam menyelesaikan permasalahan yang melibatkan anak. Dari 229 kasus anak pada tahap I (tahap penyidikan) hanya 32 kasus yang diupayakan diversi. Selanjutnya, pada tahap II (tahap pra penuntutan) sebanyak 158 kasus tidak dilakukan diversi dan 39 kasus tidak diketahui apakah dilaksanakan diversi atau tidak.
Dari minimya keberhasilan upaya diversi, kejanggalan juga masih dapat ditemui pada pelaksanaan diversi yang dilakukan. Kejanggalan tersebut ditandai dengan adanya ketidaksesuaian data dari kepolisian. Data dari kepolisian menyebutkan jumlah perkara yang masuk dalam kategori yang tidak dapat didiversi namun dilakukan upaya cabut perkara atau diversi dari pihak kepolisian. Dari data di kepolisian dapat diketahui pula terdapat 150 kasus yang tidak termasuk kasus yang dapat diversi ataupun bukan merupakan delik aduan. Namun perkara anak yang berkonflik dengan hukum tersebut sebanyak 63 kasus dilakukan upaya diversi ataupun cabut perkara.
Putu Elvina selaku Anggota KPAI juga berpendapat pelaksanaan diversi tidak berjalan maksimal, Putu mengharapkan adanya usaha yang maksimal oleh pemerintah untuk menjamin hak-hak anak.
“Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum juga harus dibarengi dengan perlindungan hak-hak anak dan harus mendapatkan penanganan khusus. Dalam prakteknya masih banyak penggabungan penahanan anak dengan orang dewasa, belum adanya lembaga pelayanan yang maksimal dan terbatasnya lapas anak menjadi hambatan terhadap pemenuhan anak yang berkonflik dengan hukum,” ungkap Putu.
Disisi lain, tidak maksimalnya pelaksanaan diversi dalam UU SPPA juga dilatarbelakangi masih banyak anggota kepolisian yang tidak paham mengenai pelaksanaan diversi.
“Masih banyak anggota kepolisian yang masih belum memahami diversi sebagaimana dimaksud dalam UU SPPA, inilah yang menjadi faktor banyaknya pelanggaran terhadap hak-hal anak,” kata AKBP Rumi Untari selaku Kanit PPA Mabes Polri.
Tidak hanya pemateri yang memaparkan penemuan dan pengalamannya dalam mengadvokasi isu-isu anak yang berkonflik dengan hukum, peserta diskusi juga diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan dan pengalamannya. Diskusi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi dalam pelaksanaan diversi, salah satunya adalah adanya Judicial Review terhadap UU SPPA yang melingkupi syarat diversi. (Toha)