Warga Kapuk Poglar Jakarta Barat mendatangi Balai Kota untuk mengadukan ancaman penggusuran kampung mereka kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (26/01). Kedatangan warga RT 07/ RW 04 Kapuk Poglar ke Balai Kota adalah untuk meminta pembatalan dan perlindungan hukum dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atas ancaman penggusuran yang mereka terima.
Sejak pukul 07.00 WIB perwakilan warga telah berupaya untuk bertemu dengan Anies Baswedan di Balai Kota. Sayangnya, hingga pukul 15.00 WIB warga menunggu, Anies tak kunjung menemui warga.
“Kami sangat kecewa tidak bisa ditemui oleh Anies meski ada di dalam Balai Kota,” ujar Puspa Yunita salah satu warga Kapuk Poglar.
166 Kepala Keluarga (KK) di Kapuk Poglar terancam digusur oleh Polda Metro Jaya pada 8 Februari 2018. Mereka telah mendapatkan surat somasi ke-tiga dari Polda Metro Jaya. Polda mengakui kepemilikan Sertifikat Hak Pakai atas tanah yang ditempati warga. Namun warga mengaku telah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1970-an dengan izin garap dari pemegang girik di wilayah tersebut.
“Harapan kami, barangkali sebagai pemimpin, sebagai orang tua kami, sebagai gubernur kami, Pak Anies dapat menemui kami untuk mendengarkan kami sebagai masyarakat, yang tanggal 8 Februari akan dieksekusi oleh Polda Metro Jaya,” ujar Encu Sunardi Ketua RT 07 Kapuk Poglar.
Hingga peringatan tersebut diterbitkan, belum pernah ada musyawarah dan pencarian solusi antara warga dan Polda Metro Jaya. Bahkan, 125 orang warga telah dipanggil pihak Polda Metro jaya atas dugaan melakukan tindak pidana penyerobotan lahan.
“Kami tidak mau diusir begitu saja seperti hewan dari tanah tempat kami lahir dan dibesarkan sejak dulu,” tambah Encu.
LBH Jakarta turut mendampingi warga mengadukan permasalahannya kepada Gubernur DKI Jakarta. Charlie Meidino Albajili Pengacara Publik LBH Jakarta menganggap bahwa dalam kasus Kapuk Poglar, Polda Metro Jaya sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi lahan yang ditempati warga.
“Eksekusi hanya dapat dilakukan apabila sudah ada putusan pengadilan yang memerintahkan eksekusi dan juga dilakukan melalui panitera pengadilan,” terang Charlie.
LBH Jakarta juga sangat menyayangkan sikap gubernur yang tidak menerima warga meski ancaman penggusuran tinggal menunggu hari. Meski pihak yang ingin melakukan eksekusi adalah Polda, gubernur memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak atas tempat tinggal warganya sebagaimana diatur dalam UU No.11 tahun 2005.
“Pemenuhan ini selayaknya ideal dengan janji politik gubernur sendiri. Ia harus memastikan tidak boleh ada penggusuran terjadi tanpa ada musyawarah dan pencarian solusi yang tepat bagi warganya yang bisa mengakibatkan warganya tidak punya rumah dan terlantar,” tambah Charlie.
Bersama dengan Front Perjuangan Rakyat dan Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (APMI), warga juga melakukan aksi di depan Balai Kota. Warga beramai-ramai meneriakkan suaranya di depan kantor Gubernur DKI Jakarta. Warga yang sebagian besar terdiri dari kaum perempuan itu melakukan orasi di depan gerbang Balai Kota sejak pukul 09.30 WIB. Namun, mereka belum juga bisa menemui Anies hingga menjelang waktu sholat Jumat.
Kedatangan warga Kapuk Poglar ke Balai Kota bukanlah yang pertama kalinya. Sejak ancaman penggusuran dilontarkan Polda Metro Jaya, warga juga mendatangi Balai Kota. Jauh sebelumnya, setelah mendapat somasi ketiga pada 19 Desember 2017 lalu, beberapa warga juga mendatangi Balai Kota untuk menyampaikan keresahan mereka kepada Anies. Namun, hingga saat ini mereka gagal untuk menemui Anies. (Iin)