“Bapak-bapak wakil rakyat yang terhormat, saya sudah cukup lelah kesana kemari mengurusi pencairan ganti rugi kasus anak saya, Andro. Sudah hampir 2 tahun. Saya sangat berharap Bapak dapat membantu agar ganti rugi ini segera bisa kami dapatkan. Bukan soal jumlah uangnya tapi soal keadilan buat kami,” ucap Marni di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR-RI.
LBH Jakarta dan beberapa kelompok masyarakat lain diundang pada tanggal Selasa, 09 Januari 2018 untuk memberikan masukan masa persidangan III tahun sidang 2017-2018 Komisi III DPR-RI. RDPU ini adalah respon DPR setalah beberapa kali LBH Jakarta mengajukan permohonan audiensi kepada Komisi III DPR-RI terkait mandeknya PP No. 92 tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP khususnya terkait rehabilitasi dan resitusi korban salah tangkap dan peradilan sesat.
Arif Maulana, Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta menyampaikan kepada Komisi III DPR RI penyebab mandeknya pelaksanaan PP No. 92 tahun 2015 karena Menteri Keuangan tak kunjung membuat aturan pelaksana PP tersebut. Menurutnya, pasal 36C PP No. 92 tahun 2015 mewajibkan Menteri Keuangan untuk membuat aturan pelaksana PP ini maksimal 6 bulan sejak PP 92 Tahun 2015 disahkan.
“Hingga sekarang, sudah hampir 2 tahun Menteri Keuangan masih belum melaksanakan mandat tersebut,” terang Arif saat mendampingi Ibu Marni di Sidang RDPU tersebut.
Dalam catatan LBH Jakarta dalam 5 tahun terakhir, setidaknya terdapat 28 kasus salah tangkap yang diadukan ke LBH Jakarta. Salah satu kasus salah tangkap yang dimenangkan oleh pengadilan adalah kasus Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto, pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan yang dituduh melakukan pembunuhan tahun 2013.
Eddy Kusuma Wijaya, Pimpinan Sidang RDPU dalam rapat tersebut menyatakan akan menyurati Menteri Keuangan agar segera membuat aturan pelaksanaan PP.
“Kami akan surati Menteri Keuangan. Ini tidak betul, pemerintah sendiri yang membuat aturan tetapi mereka sendiri yang melanggar,” tegas Eddy.
Arterian Dahlan, Anggota Komisi III DPR-RI kemudian juga menyoroti kinerja kepolisian yang sering melakukan tindakan salah tangkap. Ia berjanji akan menindaklanjuti komitmen Kapolri untuk menerapkan konsep pidana restorative justice.
“Untuk kasus anaknya Bu Marni ini, semestinya mereka bisa bayar, jangan sudah asal tangkap tapi ketika terbukti salah mereka cuci tangan. Nanti kami akan sampaikan langsung ke Polri,” kata Arterian Dahlan.
Pada kasus yang menimpa Andro dan Nurdin, mereka terbukti tidak bersalah. Andro dan Nurdin hanyalah pengamen yang kebetulan melihat mayat korban pembunuhan kemudian mereka melaporkannya ke polisi. Bukannya mencari pelaku sebenarnya, polisi malah justru sekonyong-konyong menjadikan Andro dan Nurdin tersangka pembunuhan yang dilaporkannya itu. Andro dibebaskan ditingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung juga menguatkan putusan tersebut.
Juli 2016 Andro dan Nurdin didampingi LBH Jakarta mengajukan permohonan ganti kerugian atas kasus salah tangkap yang menimpanya. Berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015, negara dalam hal ini Polda Metro Jaya melalui Menteri Keuangan ditetapkan harus membayar 72 juta rupiah oleh hakim PN Jakarta Selatan atas kerugian yang diderita Andro dan Nurdin dalam 14 hari setelah petikan penetapan diterima. Hingga saat ini tak sepeserpun uang yang diterima oleh Andro dan Nurdin. Menteri Keuangan tidak melaksanakan Penetapan Hakim PN Jakarta Selatan.
Marni, Ibunda Andro tidak pernah lelah mengusahakan agar ganti kerugian anaknya dibayarkan oleh negara. Marni pernah mendatangi langsung kantor Menteri Keuangan di Jalan Juanda Jakarta Pusat pada bulan September 2016. Pejabat dari Biro Hukum Kementerian Keuangan menyampaikan belum bisa membayarkan ganti kerugian tersebut dengan alasan belum ada peraturan dari Menteri Keuangan untuk menganggarkan ganti kerugian tersebut. Marni kemudian mengadukan kelalaian Menteri Keuangan tersebut ke Komnas HAM, Ombudsman RI, Kementerian Hukum dan HAM hingga Kantor Staf Presiden (KSP) dan Komisi III DPR-RI.