Mak Bencong, demikianlah aku dan anak-anak di Sumur Batu memanggilnya. Aku besar di lingkungan yang terbilang padat di wilayah Jakarta Pusat dan punya kekeluargaan yang erat. Mak Otik adalah penjual nasi uduk favoritku dan favoritnya. Aku dan anak-anak kecil di lingkungan itu sering meledeknya, karena bagi kami “bencong” adalah sesuatu yang aneh pada waktu itu. Namun bagi warga sekitar ia sangat disayangi, meski ada beberapa warga yang biasa saja terhadapnya. Namun ia santai saja dan tak pernah merasa terganggu. Tak pernah sekitar menjadi penghambatnya untuk menyebarkan cinta yang banyak bagi orang lain. Meski aku tak mampu memanggil kembali ingatan masa kecilku tersebut dengan jelas, namun aku ingat ada sosoknya dalam masa tumbuh kembangku di wilayah kecil yang hangat tersebut. “Kamu kan dulu sering main sama anak-anak kecil di Perdatam kan. Dulu kakak ku kerja di Perdatam,” begitu kenangnya saat bercakap-cakap denganku mengenang kehidupan kami kurang lebih 20 tahun yang lalu.
Ya, aku ternyata sudah mengenalmu 20-an tahun yang lalu. Kala itu aku masih seorang anak kecil dan engkau sudah menjadi seseorang yang berani menghadapi dunia ini dengan keunikan dan keberanian yang kau miliki. Kita baru menyadari bahwa kita telah mengenal satu sama lain sejak lama saat engkau bertemu dengan ayahku di pelaminan pada pernikahanku 2015 lalu. Sejak mengetahui hal tersebut aku sangat kagum dan bahagia. Kagum kepada Penguasa Semesta yang selalu mempertemukan orang-orang yang memiliki nilai dan cita yang sama pada suatu waktu tertentu, yang kadang kita sendiri tidak menyadari bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Dan bahagia, sebab aku punya kisah bersama mu dan waktu telah mempertemukan kita kembali dalam satu perjuangan luhur bagi kemanusiaan ini. Kita kembali dipertemukan tahun 2009 di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Saat itu engkau sedang berjuang bersama tim KuHAP (Komite untuk Pembaharuan KUHAP) menyusun kertas posisi untuk revisi KUHAP.
Engkau sosok yang selalu melampaui batas imaji manusia sepertiku. Cinta yang besar, keramahan, kerendahan hati, konsistensi serta loyalitas, aku belajar banyak itu darimu. Dan yang tak terlupa ialah masakan tanganmu yang hampir tak pernah seorang pun menolaknya atau tidak menyukainya. Ingatkah kau saat kita pernah mengupayakan ada “kantin kejujuran” di kantor. Engkau memasak dan siapa pun yang makan akan mengumpulkan uang seberapa pun relanya. Hahaha, tapi hal itu tak berlangsung lama, karena lama-lama kau bisa bangkrut.
Engkau ibu, sekaligus bapak bagi banyak orang. Tak banyak yang kau ingin rengkuh dari dunia ini, sebab menurutku dunia ini tidak punya cukup cinta untuk ditawarkan kepadamu. Sebaliknya, kaulah yang mengisi dunia ini dengan lagi-lagi kusebutkan “banyak cinta”. Engkau selalu memberi warna di setiap hadirmu. Perhatianmu itu sangat spesifik dan hangat.
“Aku nggak pernah nuntut apa-apa sama pasanganku atau siapa pun, dan aku jujur serta terbuka sama mereka,” begitu jawabmu ketika kami bertanya mengapa kau bisa mencintai banyak orang di saat yang bersamaan, dan mereka tidak keberatan serta tetap menyayangimu. Saat aku tanya apakah ada sesuatu hal yang masih kau inginkan di dunia ini? “Nggak”, kau menjawabnya dengan lugas dan cepat. “Aku nggak mau apa-apa lagi Wi, aku cuma pengen hidup tenang aja sama yayangku. Masak…”
Saat hidupmu sudah nyaman, engkau memilih untuk tidak nyaman dengan berjuang bersama LBH Jakarta yang sedang merangkak untuk menggalang donasi publik. Sering kita menghadapi kondisi dimana keuangan hanya cukup untuk beberapa bulan kedepan, dan saat itu kau tidak pernah hilang akal dan usaha. Meski kau tidak terlalu suka menulis, namun ide-idemu akhirnya selalu menjadi kenyataan. Rekan kerja kau perlakukan sebagai saudara karena cintamu, hingga saat sulit dan berat pun seringkali bisa kita lalui bersama dengan senyuman. Ah, pijatanmu saat aku lelah karena pekerjaan, masih kuingat jelas. Bahkan bukan hanya aku tapi banyak pengabdi bantuan hukum di LBH Jakarta menikmatinya.
Aku ingat saat Santi dan aku mengunjungimu di rumah jalan Surabaya, dalam keadaan lemas, masih sempat-sempatnya kau bicara mengenai pekerjaan. Duh tak habis pikir kami. Dan kami memintamu segera menyudahinya. Bahagia dan beristirahat saja serta segeralah pulih, makan dan minum obatmu. Kami ingat tersenyum bersama mu saat sedang membicarakan salah seorang sahabat kita yang katamu kerjaannya “sering skip” hahaha. Itulah terakhir aku melihat senyum dan tawa di wajahmu.
Widodo Budidarmo, canda, tawa, ketulusan, cinta dan semangatmu akan selalu kami ingat. Sakit yang singgah di tubuhmu hanya menguasaimu sebentar saja dibandingkan masa hidupmu yang penuh energi, semangat dan gairah. Gairahmu untuk memperjuangkan keadilan dan kebaikan untuk sesama tidak akan pernah surut. Kerja dan perjuangan adalah pengabdian. Pengabdianmu tanpa batas.
Dokter di satu RS bilang lambungmu baik-baik saja, namun dokter di RS lainnya bilang hatimu meradang dan paru-parumu terkena flek. Kau tidak mau makan dan minum obat karena khawatir akan muntah. Kecemasanmu sangat tinggi. Rasa khawatir dan cemas itu mungkin yang membuat kepalamu pusing dan perutmu mual. Aku ingat saat diperbolehkan pulang dari satu RS, engkau meminta kami untuk mencarikanmu spesialis gastro (sub spesialis penyakit dalam bagian perut), karena engaku merasa ada yang salah dengan bagian perutmu. Ah, sahabat apa yang kau khawatirkan. Dunia inikah? Ku rasa tidak, sebab kau mungkin tidak pernah menginginkannya. Mungkin kau khawatir tidak lagi dapat membagikan banyak cinta pada dunia yang suram ini.
Sahabat, epergianmu menjadi hentakan bagi kami, memaksa kami untuk melihat apakah sudah kami lakukan yang terbaik dalam jalan yang kita tempuh bersama. Dan, engkau telah menyelesaikan pertandingan dengan baik kawan. Engkau menginspirasi ku. Hormat bagimu. Senang bisa membagi sedikit pijatan di tubuhmu saat engkau terbaring lemah. Dan hari ini sahabat, Rabu, 20 Desember 2017 lepas sudah kesusahanmu di dunia dengan raport yang sangat baik, diiringi senyuman dari kami yang sangat bangga bisa mengenalmu dan menjadi bagian dari perjuangan dan hidupmu. Perjuangan, semangatmu dan ketulusanmu akan kami ingat selalu serta kami lanjutkan. Sahabat terkasih, apa kabarmu di sana? Aku sudah merindukanmu saat ini, ya, saat ini. Selamat jalan bagimu.
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal.