Oleh: Mardiyah Chamim
Dodo pernah cerita, sejak SD dia sudah tahu bakal jadi orang merdeka, sudah tahu jalan yang akan dilalui. Ndak banyak orang yang tahu apa yang dia mau sejak kecil.
“Saya nikmati kabeh, ben iso ngguyu sak madyo, to, mbak.” (- Saya nikmati semuanya, biar bisa tertawa ala kadarnya)
Di SMP, dia banyak bertanya pada guru agamanya, “kenapa orang baik yang bukan muslim masuk neraka? Di mana keadilan Tuhan?” Gurunya tak bisa menjawab, Dodo kemudian nggak mau ikut pelajaran agama. Dia mogok dan jadi heboh, di tahun 1980-an, di masa Orde Baru yang semua serba diatur, sampai diliput Tempo ketika itu — harus dicari filenya nanti.
Dodo nggak nerusin SMA, tapi pola pikirnya jernih dan semangat belajarnya tinggi. Dia berguru fasilitasi dan gerakan bersama Mansyur Fakih, di Yogya.
Terakhir setahun lalu kami berkomunikasi saat fundraising LBH. Dodo selalu sakit saat keuangan LBH tipis. Dia seperti ibu bagi puluhan lawyer publik yang bekerja di LBH.
Ketika ibu-ibu Kendeng datang ke Jakarta untuk demonstrasi berhari-hari di depan Istana, Dodo juga yang menyiapkan makanan.
“Duite embuh soko ngendi. Pokoke harus ada makanan buat ibu-ibu Kendeng,” katanya. Tak heran dia dijuluki Mak’e Dodo.
Pada 2009, Tempo Institute pertama kali bikin program Menjadi Indonesia. Dodo saya minta jadi fasilitator di sebuah sesi. Dengan gayanya, Dodo membangun kesadaran gender equality. Di malam penutupan, Dodo jadi MC bersama 2 teman warianya — yang berdandan drag queen dengan rumbai-rumbai. Mereka menangis haru saat para pemenang Kompetisi Esai Menjadi Indonesia dipanggil ke panggung.
“Mak, gue gak pernah jadi MC untuk acara sepenting ini untuk Indonesia, makasih ya,” kata temen Dodo sambil mengibaskan rumbai.
Selamat jalan, kawan. Selamat jalan, pejuang #RIPDodo
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal.