“Sudah jatuh tertimpa tangga”, peribahasa ini sangatlah tepat menggambarkan permasalahan hukum yang sedang dihadapi oleh seorang Ibu berusia 53 (lima puluh tiga) tahun berinisial R yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pada 24 Oktober 2017 ia ditangkap oleh Kepolision Resort (Polres) Metro Jakarta Utara dengan tuduhan pencurian. Ia ditangkap berdasarkan laporan majikannya yang berkewarganegaraan India.
Tak berhenti disitu, ibu 6 (enam) anak ini kemudian digiring ke rumahnya oleh polisi. Selama setengah jam polisi memeriksa rumah R. Polisi keluar membawa 13 (tiga belas) jenis harta benda miliknya yang sama sekali tidak terkait dengan pencurian yang dituduhkan. Harta benda yang disita sewenang-wenang ini kemudian dikembalikan sesudah LBH Jakarta bersama Feni, anak PRT berinisial R mendatangi dan mendesak penyidik untuk mengembalikan barang-barang tersebut pada 14 November 2017.
PRT berinisial R yang menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya meninggal dunia pada tahun 2010 ini mengeluhkan tentang akibat penyitaan yang berlebihan tersebut. Tindakan aparat yang demikian menyebakan anaknya tidak dapat menggunakan barang-barang tersebut untuk keperluan sehari-hari.
“Polisi masuk rumah dan mengambil barang seenaknya saja seperti pencuri,” keluh R.
13 (tiga belas) barang yang disita tersebut termasuk surat Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), laptop, 4 (empat) buah telepon genggam dan sejumlah uang. Feni menerangkan bahwa BPKB yang merupakan miliknya akan digunakan sebagai penjamin pinjaman yang akan diajukan olehnya.
Ishak Torang Pasaribu, penyidik kasus dugaan pencurian ini, saat ditemui oleh Feni dan LBH Jakarta pada Senin (14/10) pukul 15.00 WIB lalu tidak dapat menunjukkan berita acara penyitaan terhadap barang-barang yang disita tersebut. Ia beralasan bahwa penyitaan tersebut dilakukan karena kemungkinan akan ada petunjuk di waktu yang akan datang.
Kuasa hukum R menyangkal alasan penyidik, menurut kuasa hukum R dari LBH Jakarta apa yang dilakukan penyidik bertentangan dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur bahwa barang yang dapat disita hanyalah barang yang berkaitan dengan tindak pidana yang didugakan. Begitu pula dengan tidak adanya berita acara penyitaan, hal tersebut menurut kuasa hukum R juga bertentangan dengan amanat Pasal 129 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP.
Berdasarkan 2 (dua) dasar aturan tersebut, LBH Jakarta yang saat itu mendampingi Feni mendesak kepada penyidik untuk taat pada aturan serta memenuhi hak PRT berinisial R. Setelah tidak dapat menunjukkan berita acara penyitaan serta daftar barang bukti, akhirnya pada pukul 16.30 WIB penyidik bersedia mengembalikan 13 (tiga belas) barang yang disitanya dengan sewenang-wenang. Barang-barang tersebut diserahkan secara langsung kepada Feni disertai dengan surat tanda terima tertanggal 14 November 2017 yang ditanda tangani oleh penyidik dan Feni sebagai penerima.
Penyitaan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Penyidik Polres Metro Jakarta Utara terhadap PRT berinisial R ini bukanlah kasus pertama yang ditangani oleh LBH Jakarta. LBH Jakarta juga kerap mendampingi klien yang mengalami penyitaan secara tidak sah oleh pihak kepolisian. Dalam kurun waktu November hingga pertengahan Oktober ini, setidaknya sudah ada lebih dari 5 (lima) aduan yang diterima LBH Jakarta. Penyitaan yang sewenang-wenang kerap disertai dengan jenis upaya paksa lain yang tidak sah pula. Biasanya hal tersebut diikuti dengan penangkapan, penahanan, penggeledahan rumah, penggeledahan badan dan juga pemeriksaan surat.
Perilaku aparat yang semacam ini semakin sering terjadi karena kondisi masyarakat yang tidak sadar mengenai haknya. Masyarakat kerap tidak mengetahui keberadaan dokumen-dokumen legal seperti berita acara, surat pemberitahuan ataupun surat perintah. Adanya dokumen-dokumen tersebut dapat menjadi bukti legal bahwa hak masyarakat tidak dirampas oleh penyidik lewat upaya paksa yang rawan dilakukan dengan sewenang-wenang. (Nabela)