Pers Rilis No: 1321/SK-Rilis/XI/2017
LBH Jakarta mengecam penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di Kanal Banjir Barat tanpa memberikan solusi alternatif bagi warga terdampak pasca penggusuran. Hal ini diperparah dengan pelibatan aparat tidak berwenang yaitu TNI dan Polri pada saat penggusuran.
Pada Senin, 13 November 2017, Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran di sekitar Kanal Banjir Barat, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penggusuran tersebut dilakukan terhadap 101 bangunan di Jalan Tenaga Listrik dan 50 bangunan di daerah Cideng. Sekitar 400 personel gabungan dari Kepolisian RI, Satuan Polisi Pamong Praja, juga aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) diterjunkan untuk melakukan eksekusi tersebut. Pihak Pemprov pun telah menyatakan tidak memikirkan solusi bagi warga pasca penggusuran karena warga menghuni bangunan liar dan ‘dicap’ sebagai tempat prostitusi.
Dari keterangan di berbagai media, warga yang tergusur mengaku tidak mampu mengakses rumah yang layak dengan pekerjaan rata-rata sebagai pemulung. Tidak ada pilihan lain bagi mereka pasca penggusuran ini selain kembali mendirikan tenda darurat. Perlu diperhatikan bahwa terlantarnya warga terdampak tersebut tentu tetap menjadi persoalan Pemprov DKI Jakarta sepanjang mereka masih tidak sanggup mengakses rumah yang layak. Sikap Pemprov DKI Jakarta yang tidak peduli nasib warga pasca penggusuran merupakan bentuk pengabaian terhadap kewajibannya menjamin kesejahteraan warganya.
Sebagai negara yang sudah meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005, pemerintah memilki tanggung jawab untuk menjamin warga negaranya tidak kehilangan tempat tinggal dan tidak berkurang kualitas hidupnya dan keluarganya. Komentar Umum Kovenan Ekosob No. 7 tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa dan Tempat Tinggal yang Layak, juga telah menjelaskan bahwa penggusuran tidak boleh menyebabkan warga terdampak menjadi tidak memiliki tempat tinggal.
Selain itu, pelibatan personil Polri dan TNI dalam kasus ini juga perlu dikritisi karena tidak sesuai dengan tugas pokok masing-masing institusi yang diatur di dalam UU TNI maupun UU Polri. Secara hukum, TNI sebagai pelindung kedaulatan negara tidak seharusnya ikut serta dalam tindakan penggusuran. Begitupun dengan Polri yang seharusnya melindungi hak-hak warga yang terlanggar karena menjadi korban penggusuran.
Sepanjang tahun 2015 dan 2016, LBH Jakarta mencatat Pemprov DKI Jakarta telah melakukan penggusuran paksa terhadap 13.871 keluarga dan 11.662 unit usaha kecil menengah dengan pola serupa dengan kasus ini, yaitu dilakukan tanpa solusi dan melibatkan aparat yang tidak berwenang (TNI dan Polri). Tentu sangat disayangkan kasus ini justru mengulang pola-pola penggusuran yang masif 2 tahun ke belakang, apalagi mengingat janji politik pasangan Anies-Sandi yang mengusung jargon anti penggusuran.
Pemprov DKI Jakarta seharusnya tidak mengesampingkan pemenuhan hak-hak dasar warganya dalam melakukan penataan kota dengan cara membuka ruang partisipasi warga, terutama dalam penyediaan solusi alternatif. Standar-standar yang diatur dalam Komentar Umum PBB No. 7 tahun 1997 seharusnya dijadikan rujukan pemerintah dalam melakukan penataan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan adalah ketersediaan solusi alternatif bagi warga terdampak, kewajiban menyampaikan informasi secara jelas kepada warga terdampak, pengerahan aparat secara proporsional, dan tidak ada tindakan kekerasan.
14 November 2017
LBH Jakarta
Kontak:
1. Charlie Meidino Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta (081224024901)
2. Nelson Nikodemus Simamora, Pengacara Publik LBH Jakarta (081396820400)