Selasa (6/11) Hakim Tunggal Anak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Hastopo SH. MH memutus eksepsi LBH Jakarta terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Anak Berhadapan dengan Hukum. PP (17 tahun) dalam putusan selanya Hakim Tunggal Hastopo menolak seluruh eksepsi penasihat hukum. LBH Jakarta kecewa dengan putusan tersebut karena hakim tidak mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keberatan dari penasihat hukum.
Menurut kuasa hukum PP dari LBH Jakarta, kedudukan eksepsi sangat penting sebagai koreksi terhadap dakwaan JPU yang tidak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hakim memutuskan tetap melanjutkan pemeriksaan meskipun nyata-nyata proses penyidikan sampai penuntutan kasus PP penuh kejanggalan.
“Hakim telah gagal memahami keberatan LBH Jakarta terkait proses hukum yang diliputi penyiksaan dan kesewenang-wenangan. Alih-alih mengabulkan eksepsi LBH Jakarta, hakim malah tidak memberikan pertimbangan yang logis,” ujar Shalel Al Ghiffari kuasa hukum PP.
Hal tersebut yang kemudian berujung pada tidak dikabulkannya eksepsi PP. Pada kasus PP, terdapat juga kejanggalan lain yang menjadi keberatan LBH Jakarta berupa, JPU mengubah dakwaannya dan baru memberitahukannya setelah membacakan dakwaan pada hari sidang pertama. Dalam pertimbangannya terkait hal ini, hakim juga memberikan penafsiran tersendiri terhadap ketentuan pasal 144 KUHAP yang melarang jaksa merubah surat dakwaan kecuali 7 hari sebelum sidang dimulai.
“Hakim memberikan pertimbangan yang tidak logis terkait hali ini bahwa perubahan tersebut boleh yang penting sebelum sidang dimulai, bukan maksimal 7 hari sebelum sidang,” tambah Gifar.
Putusan tersebut oleh kuasa hukum PP dinilai mencederai rasa keadilan karena telah sangat umum diketahui bahwa dalam proses hukum acara pidana dikenal doktrin fruit of posionouss tree. Doktrin tersebut berarti proses hukum yang tidak benar dapat menghasilkan bukti-bukti dan putusan yang tidak adil juga.
Gifar, kuasa hukum PP mengomentari putusan sela tersebut dengan menyatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materil, namun proses-proses formil untuk melindungi hak-hak terdakwa tidak kalah penting. Dalam kasus PP, hakim dianggap terlalu terburu-buru sehingga tidak mempertimbangkan dengan matang keberatan kuasa hukum pp terkait pelanggaran-pelanggaran formil yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
“Jika hakim lebih jeli dalam menerapkan KUHAP dan UU SPPA, semestinya keberatan kita diterima sehingga perkara ini tidak perlu lanjut ke pemeriksaan pokok perkara,” lanjut Gifar
Sebelumnya, PP yang diduga mengedarkan narkoba oleh Polsek Tanah Abang, mengalami penyiksaan dalam proses penyidikan kasunya. LBH Jakarta menduga keras polisi telah menggunakan cara-cara penyiksaan dalam mendapatkan pengakuan dari PP. Penyiksaan tersebut dilakukan polisi pada saat menangkap PP di kediaman temannya di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, hingga pada saat ditahan di Polsek Tanah Abang (21-22/9). PP ditampar polisi yang menangkapnya untuk mengakui bahwa PP pemilik dari narkoba jenis sabu yang ditemukan polisi pada saat itu. Kemudian PP dibawa ke sebuah gudang kosong didaerah Cempaka Putih lalu ditutup kepalanya menggunakan kantong kresek. Setelah diinterogasi namun PP tetap tidak memberikan keterangan sesuai keinginan polisi.
Tidak puas mendengar keterangan PP, selanjutnya polisi memukul dan mengancam PP dengan menembak tepat disamping telinganya di salah satu ruangan di Polsek Tanah Abang. Akibat tembakan tersebut telingga PP sampai mengeluarkan cairan. Masih belum selesai, polisi melanjutkan menyiksa PP dengan cara memukul tulang kering PP dengan kunci inggris. PP mengatakan semua tindakan polisi yang menyiksanya tersebut dilakukan agar PP mengakui perbuatan yang dituduhkan.
Pada pemeriksaan tersebut, PP juga tidak didampingi penasihat hukum. Tindakan polisi yang demikian tentu saja mencederai hak anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapat pendampingan dari orang tua dan kuasa hukum dan hak untuk memberikan keterangan secara bebas, tanpa paksaan apalagi penyiksaan sebagaimana dijamin dalam UU No 13 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Sidang PP akan dilanjutkan ke agenda pemeriksaan saksi JPU dan saksi a de charge sekaligus pada Rabu (8/11). Meskipun persidangan tetap dilanjutkan, LBH Jakarta dan orang tua PP berharap PP dijatuhi putusan yang seadil-adilnya.