Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiah (PP Pemuda Muhammadiah dan Gerakan Mahasiswa Peduli Patani (GEMPITA) bekerjasama menyelenggarakan diskusi publik “Peringatan 13 tahun Tragedi Takbai Thailand Selatan” di Gedung PP Muhammadiyah (30/10). Diskusi ini diselenggarakan untuk mengangkat permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi di Patani. Tak hanya diskusi, pada peringatan 13 tahun tragedi Takbai ini juga di tampilkan berbagai kebudayaan serta kuliner khas Patani.
Diskusi dibuka dengan sambutan dari Gempita yang diwakili oleh Rahmat dan Abdul Rahman Syahputra Batubara mewakili Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dalam kata sambutan tersebut mereka berdua menekankan bahwa sebenarnya kejadian dan penindasan yang dialami oleh masyarakat Patani sama dengan yang dialami oleh kaum Muslim di Rohingya. Namun sayangnya pemberitaan tentang kaum Muslim di Patani kurang mendapat sorotan publik di Indonesia. Oleh karena itu mereka berharap melalui diskusi publik ini, masyarakat semakin sadar dan mengerti permasalahan yang dihadapi masyarakat Patani di Selatan Thailand.
Diskusi Publik yang dimoderatori oleh Sodikin ini, mengundang sejumlah pembicara yakni, Ari Nurrohman (PP Pemuda Muhammadiyah), Ahmad Suaedy (Peneliti Senior Wahid Institute), Badrus Sholeh, MA, Ph.D (Direktur Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Juanda Djama (Direktur Acehnese Civil Society Task Force).
Dalam penyampaian tentang situasi yang berada di Thailand, Ahmad Suaedy sebagai peneliti yang paling lama meneliti di Selatan Thailand mengatakan, bahwa antara pemerintah dan tokoh agama mayoritas di Thailand saling mendukung satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kewajiban bagi mereka untuk tidak membayar pajak. Peneliti senior dari Wahid Foundation ini juga menyebut bahwa pemerintah Thailand harusnya melakukan tindakan “respect and recognize”, tindakan respect and recognize merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada Gerakan Aceh Merdeka.
Sejalan dengan Ahmad Suaedy, Badrus Sholeh yang juga pernah melihat langsung kondisi di Patani mengatakan bahwa budaya dan nasionalisme Thai-Buddha telah menekan keberadaan budaya Melayu di Selatan Thailand. Badrus Sholeh mengatakan bahwa konflik ini dilatarbelakangi juga oleh ketimpangan ekonomi.
“Gap antara wilayah Utara dan Selatan Thailand begitu tinggi sehingga menimbulkan kecemburuan social, pemerintah (Thailand) sering berlaku tidak adil terhadap etnis minoritas (Melayu),” terang Badrus.
Dalam menghadapi kenyataan tersebut, Badrus menyebutkan bahwa mahasiswa Patani merupakan pemegang kunci masa depan bagi Patani. Badrus berharap mahasiswa Patani yang belajar di Indonesia dapat memegang posisi strategis di pemerintahan lokal Thailand kelak.
Acara ini ditutup dengan nyanyian dan tarian khas Patani yang berjudul Bedikir Barat. Dalam nyanyian serta tarian tersebut tersimpan makna mengenai kepedihan yang dirasakan masyarakat Patani akibat serangan militer ke Masjid Kresik.
Diskusi publik ini diadakan dalam rangka memperingati peristiwa Takbai. Di mana peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 25 Oktober 2004 oleh aksi massa yang meminta pembebasan teman-teman mereka yang dituduh menyelundupkan senjata. Aksi massa dilakukan di depan pos polisi yang terletak di Tak Bai. Massa aksi yang terdiri dari 2000 orang dibubarkan paksa oleh polisi dan tentara dengan tembakan senjata api dan gas air mata. (Bram)