Pemerintahan Jokowi-JK akan memasuki tahun ketiga pada hari Jumat, 20 Oktober 2017. Selama tiga tahun, kami melihat banyak kebijakan yang telah diambil, terkait infrastruktur pembangunan, peningkatan penarikan pajak, maupun kebijakan pembatasan hak sipil dan politik dalam bentuk peraturan presiden hingga aturan di tingkat kementrian. Namun Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menilai capaian selama 3 tahun pemerintahan Bapak Presiden semakin menjauh dari 6 amanat reformasi yang tertuang di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi.
Mengingat Kembali 6 Amanat Reformasi
Tahun 1998 menandai dimulainya masa reformasi, di mana rakyat telah bergerak bersama-sama menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya dan meminta Negara segera melakukan reformasi secara menyeluruh di segala bidang yang dikerucutkan dalam 6 amanat reformasi. Tidak mudah untuk menyampaikan 6 amanat reformasi tersebut karena saat itu yang dihadapi adalah rezim Orde Baru yang represif dan telah berkuasa selama 32 tahun. Telah menetes darah dan hilang nyawa rakyat di penjuru Indonesia sebagai penanda bahwa kebebasan hari ini tidak dicapai dengan diam berpangku tangan, tetapi dengan upaya perlawanan rakyat.
Sekalipun cukup banyak tuntutan yang diserukan, namun disepakati ada enam amanat reformasi itu adalah:
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya
- Cabut Dwifungsi ABRI
- Hapuskan budaya KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme)
- Otonomi daerah seluas-luasnya
- Amandemen UUD 1945
- Tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi
Menjelang peringatan 20 tahun Reformasi tahun depan cukup banyak catatan yang menandakan enam amanat reformasi ini semakin ditinggalkan dan gagal dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Pertama, sampai hari ini tidak pernah ada pengadilan atas tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto. Selama Soeharto masih hidup, pengadilan terbatas pada upaya mengadili Soeharto karena menyebabkan Indonesia mengalami kebangkrutan ekonomi atas tindakan korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya. Itupun sampai Soeharto wafat tidak disidangkan sampai selesai dengan alasan sakit. Sementara itu, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Soeharto dan rezim Orde Baru tidak pernah tersentuh pengadilan dan para pelakunya justru mendapat impunitas. Impunitas itu masih terus diberikan sampai sekarang dan bahkan Presiden Jokowi mengangkat sejumlah perwira yang seharusnya bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan seperti Hendropriyono dan Wiranto masuk dalam jajaran pejabat Negara.
Kedua, pencabutan hak politik tentara dan mengembalikan fungsinya sebagai pelindung rakyat dari ancaman musuh negara adalah keinginan rakyat setelah selama 32 tahun masyarakat Indonesia melihat bagaimana kisruhnya Dwifungsi ABRI yakni ketika politik dan senjata bersatu sehingga tentara tidak bersikap profesional dan tidak setia melindungi rakyat. Namun beberapa tahun terakhir, peran sipil dan politik kembali diberikan kepada tentara dengan melibatkan pada pembubaran aksi damai warga, pengusiran warga dalam rangka penggusuran dan pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelang HUT ke-71 TNI yang mengusulkan untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI.
Ketiga, penghapusan korupsi yang kini memasuki masa-masa rawan saat lembaga anti-rasuah yang lahir dari amanat reformasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru sedang dilemahkan dengan Pansus KPK dan berbagai kriminalisasi yang gencar dilakukan terhadap komisioner, penyidik dan sejumlah aktivis anti-korupsi yang membongkar kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan pejabat dan aparat Negara. Pelemahan KPK mencapai titik paling mencemaskan di mana bila sampai KPK dibatasi wewenangnya maka penghapusan KKN akan semakin sulit dilakukan. Penyelidikan atas penyerangan terhadap penyidik senior Novel Baswedan dengan air keras seolah mandek setelah berjalan 6 bulan dengan menyisakan pertanyaan siapa otak kejahatan ini. Pernyataan Presiden Jokowi yang berulangkali menyampaikan akan memperkuat KPK sampai hari ini baru sebatas wacana dan perlu dikonkritkan dengan berdiri bersama KPK dan gerakan anti-korupsi.
Keempat, belakangan ini hukum semakin dipelintir untuk kepentingan oligarki yang bercokol di dalam kekuasaan dan hukum yang ditaklukkan oleh mobokrasi, yang berakibat langsung pada menyempitnya ruang-ruang demokrasi dan penyalahgunaan hukum sebagai sarana mengkriminalisasi mereka yang tidak sependapat dengan kepentingan oligarki dan kelompok vigilante.
Kebijakan reklamasi, penggusuran atas nama pembangunan, pembubaran ormas dengan Perppu Ormas, perlindungan dan pembiaran atas aksi kekerasan dan serangan ke masyarakat sipil oleh kelompok vigilante Front Pembela Islam (FPI), FKPPI, sejumlah Laskar dan lain-lain membuktikan posisi berdiri Presiden Jokowi yang telah mengabaikan hak-hak sipil dan politik masyarakat Indonesia.
Evaluasi 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Sektor Penegakan Hukum
Dalam Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tahun 2014, LBH merilis beberapa kasus yang terjadi di awal masa Pemerintahan Jokowi. Kasus-kasus tersebut merentang dari berbagai kasus yakni dari isu perampasan ruang hidup[1] (penggusuran pedagang di stasiun KRL di Jakarta, Kota Tua), hingga kebebasan beragama dan berkeyakinan[2] (Penutupan paksa gereja GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia, serta pelarangan Jamaah Ahmadiyah). Rapor lebih buruk dari upaya penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi bahkan terlihat lebih buruk dalam catatan akhir tahun yang dirilis oleh lembaga yang sama setahun kemudian.[3] Dari semua catatan yang dikeluarkan oleh lembaga non pemerintahan, yang paling ironis tentu saja laporan kasus agraria yang muncul dalam catatan akhir tahun 2016 yang dilansir oleh Konsorsium Pembaruan Agraria. KPA menyebut peningkatan tajam konflik agraria sejak awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo.[4]
Apa yang telah ditinjau oleh LBH Jakarta dan KPA dalam tiga tahun masa Pemerintahan Jokowi bisa kita baca dalam dua hal. Pertama, Presiden Joko Widodo gagal mengemban amanat rakyat untuk berkomitmen pada penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Kedua, Masa depan penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia masih jauh panggang dari api—ia masih menyimpan serangkaian beban yang mesti dipikul dan diperjuangkan bersama.
Sektor Perempuan
Semenjak pemerintahan Jokowi bekerja, permasalahan yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia menjadi semakin beragam dan kompleks dengan perkembangan dimensi sosial dan politik yang ada. Isu-isu klasik masih terus diusung oleh perempuan-perempuan pejuang hak perempuan seperti situasi kerja dan upah yang layak bagi perempuan pekerja, hak untuk memilih dan dipilih serta hak untuk bebas dari diskriminasi. Bahkan, tantangan bagi perempuan semakin rumit dan saling berkelindan. Konstruksi sosial masyarakat yang masih patriarki di setiap level kelas sosial di mana perempuan berada, termanifestasi dalam kultur politik yang tidak berpihak pada perempuan hingga ke ruang terkecil yakni keluarga.
Kondisi dan situasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, memperlihatkan perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi. Kekerasan terhadap perempuan, persoalan penggusuran, pemiskinan, ketenagakerjaan, agraria, sumberdaya alam, pendidikan, kesehatan, akses pekerjaan dan masalah-masalah sosial lainnya memberikan dampak yang signifikan pada kehidupan perempuan. Beberapa kondisi perempuan yang tidak mendapatkan perlindungan serta ancaman terhadap perempuan yang terjadi selama pemerintahan Jokowi dilaksanakan, di antaranya:
- Peraturan dan UU yang diskriminatif terhadap perempuan
Pembatasan atas kebebasan dan kedaulatan atas tubuh perempuan di Indonesia, catatan komnas perempuan sampai tahun 2015, Indonesia memiliki 421 perda diskriminatif yang diantaranya mengancam perempuan dan bersifat diskriminatif.
- Kekerasan dalam rumah tangga
Meskipun indonesia sudah memiliki UU PKDRT, namun dalam implementasinya masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan tidak adanya pelayanan hukum yang berpihak pada perempuan korban
- Kekerasan seksual
UU anti kekerasan seksual saat ini masih belum menemui masa depan cerah dan tidak mendapat prioritas, hal ini menyebabkan perempuan sebagai korban terbesar dalam kekerasan seksual tidak mendapat perlindungan dari negara.
- Perkawinan anak
Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Hal ini tentunay mencabut anak perempuan dari hak anak yang lain diantaranya hak untuk memperoleh pendidikan.
- Sistem penghukuman yang diskriminatif dan tidak manusiawi
Perempuan di Aceh masih berhadapan dengan ancaman terhadap rasa aman dan trauma pasca konflik yang terjadi. Hari ini, mereka juga harus berhadapan dengan hukum-hukum yang mengatasnamakan agama yang menyasar dan mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan Aceh. Qanun Jinayat misalnya, dalam satu tahun pelaksanaannya saja, telah mencambuk 180 orang, termasuk di antaranya perempuan, hanya karena pacaran, atau berada terlalu dekat dengan lawan jenis.[5] Di banyak kasus yang terjadi pada sistem peradilan maupun sistem penahanan perempuan lebih diserang pada ketubuhan dan seksualitasnya ketimbang kasus yang dialaminya. Seperti contoh perempuan korban NAPZA sering diminta untuk memenuhi kebutuhan seksual petugas polisi yang menangkapnya sebagai ganti untuk kebebasannya. Dan negara tidak hadir untuk memberikan pengadilan yang adil bagi perempuan.
- Pendidikan bagi perempuan
Isu ini sesungguhnya berkaitan dengan UU perkawinan anak. Persoalan yang mendasari ketidakterpenuhannya pendidikan bagi seringkali terjadi karena tidak adanya affirmative action bagi pemenuhan hak pendidikan anak perempuan, seperti pembiaran pada kasus pernikahan anak. Sehingga, anak perempuan secara sosial tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan akses pendidikan tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.
- Kriminalisasi aktivis perempuan
Perempuan yang dianggap ancaman bagi penguasa akan dengan mudah mengalami kriminalisasi dengan pasal-pasal dalam UU ITE yang mengancam memenjarakan mereka. Upaya ini adalah salah satu upaya meredam gerakan sosial yang dibangun oleh perempuan baik perjuangan yang berbasis gender maupun dalam sektor lain, seperti sektor agraria dan lingkungan, perjuangan hak atas berpendapat dan berekspresi dan lainnya dimana perempuan terlibat dan berkotribusi dalam gerakan tersebut. Kriminalisasi juga terjadi pada perempuan di berbagai konteks, antara lain perempuan buruh migran, perempuan netizen, perempuan dengan orientasi seksual dan ekpresi jender berbeda, perempuan minoritas agama, hingga perempuan yang hidup di wilayah dengan kebijakan syariah. Kriminalisasi yang dialami perempuan berdampak pada ketidakadilan berlapis, di mana perempuan yang dikriminalisasi juga rentan terhadap stigma dan diskriminasi, jauh lebih berat daripada laki-laki. Perempuan yang dilekatkan dengan peran penjaga keluarga dan komunitas juga mengalami beban dan ketidakadilan berlapis ketika keluarga, suami atau ayahnya mengalami kriminalisasi.
- Pembatasan kedaulatan atas tubuh perempuan
Pembatasan ruang gerak dan ruang ekspresi bagi perempuan menjadi isu yang besar dengan banyaknya kasus-kasus yang terus terjadi, menyerang perempuan khususnya perempuan aktivis atau perempuan pembela HAM. Setidaknya dalam 15 tahun terakhir, menguatnya kelompok fudamentalis mengakibatkan meningkatnya tindakan intoleransi dan praktik diskriminatif di masyarakat.[6] Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi atas nama agama dan moralitas.[7] Tak pelak perempuan kerap menjadi sasaran tindakan diskriminatif, seperti pemaksaan penggunaan berbusana tertentu, sunat perempuan, poligami, perkawinan anak, dan terancamnya rasa aman perempuan, terutama di wilayah pasca konflik antar agama, pelarangan menjalankan ibadah hingga pelarangan bagi penghayat agama leluhur
- Perempuan yang di dalam sistem kerja eksploitatif
Dalam situasi penghancuran dan perampasan sumber kehidupan perempuan, perempuan harus mencari alternatif sumber penghidupan termasuk dengan bekerja menjadi Buruh Migran dan PRT. Menurut catatan Serikat Buruh Migran Indonesia, dari kasus yang dialami oleh buruh migran yang terbesar adalah kasus pekerja rumah tangga yang rata-rata adalah Perempuan. Ini menunjukkan bahwa kerentanan situasi bekerja sering dialami oleh perempuan. Situasi kerentanan tidak terlepas dari perspektif patriarkis yang melemahkan perempuan. Sementara, catatan Solidaritas Perempuan Perempuan Buruh Migran kerap mengalami penindasan yang berlapis, antara lain penyiksaan, kekerasan dalam berbagai bentuk, tidak mendapatkan gaji, penipuan, eksploitasi, hingga kriminalisasi dan ancaman hukuman mati.
Selain buruh migran, perempuan juga dihadapkan pada persolan buruh perempuan, baik di wilayah domestik (perempuan pekerja rumah tangga), pabrik (perempuan buruh formal), maupun dalam lingkungan kerja immaterial (misalnya, perempuan pekerja media). Merekamengalami diskriminasi sebagai buruh perempuan mulai dari pembayaran gaji, fasilitas yang diterima serta kekerasan seksual. Perempuan sering dihitung sebagai pencari nafkah nomor dua sehingga tidak dihitung layak mendapat fasilitas lain untuk keluarga.
- Kerentanan perempuan di wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan tambang
Perampasan sumber-sumber kehidupan perempuan terjadi diakibatkan massifnya industri ekstraktif,[8] seperti perusahaan tambang, kelapa sawit, tebu, maupun proyek infrastruktur pembangunan jalan, bandara serta reklamasi pantai. Sumber mata air dikuasai swasta, dan mengakibatkan perempuan tidak bisa mengakses air bersih yang sangat dibutuhkan baik untuk keperluan pribadi maupun keluarga.[9] Ladang dan hutan sebagai sumber kehidupan perempuan pun dirampas dengan dalih pencegahan laju perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.
- Perempuan Miskin Kota
Dengan banyaknya kasus penggusuran yang terjadi, perempuan miskin kota tentu paling terdampak dari peristiwa penggusuran karena mereka kehilangan tempat tinggal dan sosial yang selama ini dihadapi. Juga kendala ekonomi dan akses memperoleh pekerjaan karena penggusuran yang terjadi.
- Perempuan Papua
Perempuan Papua misalnya, tidak hanya menghadapi diskriminasi berbasis gender tetapi juga harus bergumul melawan diskriminasi berbasis ras, stigmatisasi atas pilihan politiknya hingga stigma terhadap kesehatannya. Puluhan ribu perempuan Papua dipaksa mati sejak 1963 karena negara tidak mau mengakui hak politik perempuan Papua dan tak menganggap kulit, daging dan keriting rambutnya sebagai sesama warga yang setara.
- Perempuan Petani
Perempuan petani semakin kehilangan hak-haknya dalam pengelolaan dan kedaulatan pangan serta sumber daya alam. Mereka harus berhadapan dengan alih fungsi lahan, perampasan tanah, penyeragaman bibit, hingga konflik agraria yang mengusir dan meminggirkan perempuan dari sumber-sumber kehidupan[10]. Pada saat bersamaan, perampasan ruang penghidupan masyarakat pesisir pun terus terjadi, perempuan nelayan didorong masuk dalam skema pemiskinan terstruktur yang dilakukan oleh negara. [11] Dampak terberat ditanggung oleh perempuan nelayan. Mereka bukan hanya kehilangan akses terhadap sumber penghidupan keluarga nelayan, tapi juga kehilangan akses terhadap pengelolaan wilayah pesisir yang adil dan berkelanjutan.
- Perempuan Nelayan
Semenjak Jokowi berkuasa, terjadi banyak reklamasi pantai di beberapa wilayah indonesia (Makassar, Jakarta, Bali, dll). Perempuan yang bekerja menjadi pengupas kerang, pengolahan ikan atau sektor non perikanan yang ada di wilayah nelayan. Reklamasi pantai yang dilakukan melalui kebijakan Jokowi membuat perempuan nelayan semakin tergerus kehidupannya karena menurunnya penghasilan, menurunnya kualitas hidup dan menurunnya kemampuan penyediaan pangan yang berkualitas.
Di luar serangkaian kasus peminggiran posisi perempuan di atas, terdapat isu perempuan yang seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari isu perempuan, padahal ia turut menyumbang angka ketidakadilan, yakni kekerasan berbasis orientasi seksual dan ekspresi gender perempuan. Perempuan dengan identitas gender lain seperti transpuan/waria juga mengalami kekerasan yang sistematis, mulai dari kekerasan domestik hingga diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat dan negara yang menyebabkan kelompok transpuan/waria tidak dapat mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Perempuan dengan identitas seksual lain yakni lesbian dan perempuan biseksual baik yang berpenampilan feminin maupun maskulin, atau trans laki-laki yang masih dianggap sebagai perempuan karena terlahir bervagina mengalami kekerasan yang khas seperti corrective rape atau perkosaan untuk mengoreksi perilaku yang dianggap tidak normal tersebut. Jenis kekerasan ini adalah sangat khas dialami oleh perempuan dengan identitas gender dan seksual yang dianggap berbeda. Sampai detik ini masih banyak kelompok transpuan hidup dengan penuh ketakutan dan jauh dari rasa aman. Bakan beberapa kali kasus kekerasan yang di alami oleh Transpuan tidak pernah selesai dan mencapai hukum yang adil. kelompok Transpuan yang harus hidup dengan stigma dan diskriminasi di berbagai ranah. Baik korban NAPZA, Transpuan maupun kelompok minoritas lainnya tidak bisa menikmati hak-haknya sebagai warga negara, mulai dari akses pendidikan, pekerjaan yang layak hingga tempat tinggal.
Sektor Kebudayaan
Selama 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK terjadi penghancuran sistematis di wilayah kebudayaan. Hal ini terjadi karena keberadaan isu ini berkait kelindan dengan isu lain, sehingga tertutupi. Di antara banyak isu yang kabur mengenai penghancuran di wilayah kebudayaan ini, kasus penindasan agama lokal, yang terjadi sejak orde baru masih menjadi kasus yang cukup terang untuk dilihat di permukaan. Sampai sekarang, agama lokal di Indonesia belum mendapatkan pengakuan oleh negara. Ironis memang, sebab ini adalah persoalan yang seolah abadi di Indonesia sejak UU No.1/PNPS/1965 disahkan tanpa pernah dicabut oleh pemerintah. Tidak adanya pengakuan oleh negara, juga represi dalam bentuk lain, berupa penolakan pemberian hak dasar warga negara kepada pemeluk kepercayaan adat selama bertahun-tahun jelas merupakan upaya membunuh pelan-pelan agama lokal di Indonesia.
Meskipun demikian, penghancuran kebudayaan paling mengerikan selama Pemerintahan Joko Widodo sesungguhnya mengeram di bawah kasus-kasus agrarian dan pembangunan infrastruktur. Pembangunan Waduk Jatigede, misalnya, menenggelamkan situs-situs kebudayan masyarakat Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Penggusuran penduduk asli Sunda Wiwitan. Langgengnya penambangan Freeport di Papua di Gunung Nemangkawi yang sekaligus membiarkan terjadinya genosida kebudayaan pada Suku Amungme. Juga di Kalimantan di mana aktivitas penambangan dan penanaman sawit dalam skala besar telah merampas ruang hidup suku-suku Dayak dan pelan-pelan membunuh tidak hanya orang Dayak, tetapi juga identitas Dayak secara umum. Di banyak tempat di Indonesia, kasus demikian jamak sekali ditemukan, dengan jumlah yang tak kunjung menunjukkan angka penurunan.
Sektor Kebebasan Berekspresi
Di zaman informasi ini, masyarakat memanfaatkan komunikasi untuk menyuarakan ketidakadilan, melakukan kritik secara terbuka terhadap Presiden, Polri, TNI, anggota DPRD, bupati maupun terhadap siapapun yang memiliki relasi kuasa dan kekuatan modal. Namun terhadap mereka itu terjadi kriminalisasi.
Dalam catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), terjadi kriminalisasi terhadap 35 aktivis dengan menggunakan pasal karet di dalam UU ITE, di mana 28 aktivis di antaranya dijerat hukum dalam 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK. Sejumlah nama aktivis ini menghadapi situasi hukum di mana para pelapornya adalah pejabat publik negara. Mohamad Aksa Patundu dilaporkan oleh Kapolres Tojo Una-una (Touna) Bagus Setiyono SIK karena sebelumnya Aksa melaporkan yang bersangkutan ke Propam atas dugaan penyalahgunaan wewenang dengan meminta proyek dari Pemda Touna. Rusdianto Samawa dilaporkan oleh Susi Pudjiastuti yang saat ini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Stanly Handry Ering mendekam di tahanan atas laporan Mantan Rektor Prof. Dr. Philoteus Tuerah dan Rektor Universitas Negeri Manado Julyeta Runtuwene yang juga istri Walikota Manado. Edianto Simatupang baru saja selesai diperiksa sebagai tersangka atas laporan Bupati Tapanuli Selatan Bakhtiar Ahmad Sibarani. Lalu Novel Baswedan dilaporkan oleh Direktur Penyidik KPK Aris Budiman. Lalu aktivis dan video jurnalis bernama Dandhy Dwi Laksono dilaporkan ke Reskrimsus Polda Jawa Timur oleh Ketua DPD Repdem Jawa Timur Abdi Edison sekitar pukul 14.00 WIB.[12]
Semua dikenakan pasal pidana yang sama, yakni pasal pencemaran nama baik, terutama pasal 27 ayat 3 UU ITE jo. pasal 45 ayat 3 dengan ancaman pidana 4 tahun dan atau denda Rp 750 juta. Acuan hukumnya tidak bisa dipisahkan dari pasal 310-311 KUHP sesuai hasil revisi UU ITE No. 19 Tahun 2016.
Selain para aktivis, warganet (netizen) juga banyak yang dijerat dengan hukum. Melihat tabulasi kasus yang tercatat dalam sistem monitoring kasus kebebasan ekspresi online SAFEnet ada 166 aduan yang terjadi sejak pemerintahan Jokowi-JK, melonjak drastis dari jumlah aduan di masa pemerintahan sebelumnya.[13] Selain pasal defamasi, warga banyak dijerat dengan tuduhan melakukan hate speech terhadap presiden, tentara, pejabat negara, juga dituduh melakukan penodaan agama dan menghina ulama, serta dituduh melakukan pengancaman. Pasal-pasal hukum ini banyak dipelintir tentu saja karena sifat karetnya yang tidak tegas dan memberi kepastian hukum. Kesempatan untuk mencabut atau memperbaiki rumusan pasal karet UU ITE ini tidak dilakukan oleh pemerintah dan DPR sekalipun ada kesempatan melakukan revisi UU ITE.
Kebebasan bereskpresi sudah diancam dengan keberadaan kebijakan sensor yang berlebihan. Wujud paling kelihatan muncul dalam berbagai tindakan swa-sensor dalam bentuk pembatasan kegiatan, dicabut atau tidak diterbitkannya izin menerbitkan, sampai pada sensor online. Bentuk sensor online yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi-JK seperti blokir sejumlah situs termasuk situs berita yang dikelola oleh jurnalis Papua yang independen dengan alasan terorisme, situs/aplikasi LGBT diblokir dengan alasan melanggar moralitas, situs Islam yang dikategorikan radikal diblokir, serta aplikasi Telegram yang digunakan untuk berkomunikasi jejaring juga diblokir dengan alasan keamanan nasional.
Selanjutnya dalam sistem monitoring Pelanggaran Hak Berkumpul dan Berekspresi yang dilakukan SAFEnet[14], tercatat ada 64 kasus di masa pemerintahan Jokowi-JK dalam bentuk intimidasi, pelarangan pemutaran film, pembubaran diskusi, sampai blokade polisi dan penyerbuan 2.000 massa anti-komunis rumah demokrasi YLBHI/LBH Jakarta pada 16-17 September 2017.
Kesemua data pelanggaran ini menunjukkan terjadinya penyempitan ruang kebebasan ekspresi yang signifikan dalam 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK, yang bila dibiarkan akan mengancam pondasi demokrasi.
Isu LGBT
Sepanjang tahun pemerintahan Jokowi 2014-2017, eskalasi kekerasan terhadap kelompok LGBT meningkat pesat. Eskalasi ini ditunjukkan dengan tindakan diskriminatif dan kekerasan seperti; sentimen negatif berupa penolakan yang terorganisir, pembatasan ruang berekspresi, pengusiran dari tempat tinggal, hingga rencana penyusunan perundang-undangan anti LGBT. Hal ini dapat dilihat dengan adanya upaya permohonan uji materi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Mahkamah Konstitusi pada pada 292 yang menghendaki adanya penghukuman pada hubungan sesama jenis. Hal serupa juga terlihat jelas dalam upaya Pemerintah & Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI) pada proses Revisi-KUHP yang hendak melakukan kriminasilasi pada kelompok homoseksual yang tertuang dalam draft pada pasal 495 ayat 1b serta pasal pengaturan rehabilitasi pada kelompok yang dianggap kelainan seksual pada pasal 112 ayat (1) hururf (b). tidak hanya di dalam revisi KUHP namun demikian, pasal pelarangan kelompok minoritas seksual dan gender juga turut dicanangkan dalam perubahan Undang-undang Penyiaran.
Sejumlah peristiwa berikut ini terjadi selama 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK:
- Pembubaran paksa training peningkatan akses keadilan bagi kelompok LGBT di Indonesia oleh pihak kepolisian resor Menteng dan Poliisi Daerah Metrojaya pada 3 Februari 2016 di Grand Cemara Hotel, Jakarta. Training ini diikuti oleh 30 aktivis LGBT dari 8 provinsi. Pihak kepolisian membubarkan training ini disebabkan oleh ancaman penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI). Polisi mengaku mendapatkan pengaduan dari FPI bahwa training yang dilakukan adalah training yang meresahkan. Meskipun negosiasi telah dilakukan, polisi tetap memaksa training untuk dibubarkan. 30 LGBT aktivis terpaksa dievakuasi ke tempat yang lebih aman untuk melanjutkan training.
- Penutupan pondok pesantren waria Al-Fatah yang telah berdiri sejak 2008 di Yogyakarta pada 19 Februari 2016. Pesantren waria yang dihuni oleh 10 waria dan 40 waria yang belajar tanpa menginap. Penutupan ini berawal dari penyerangan yang dilakukan oleh kelompok jihadis Front Jihad Islam (FJI) dengan alasan pesantren tidak memiliki izin. Polisi bukannya memberikan perlindungan pada pesantren malah melakukan pembiaran dan ikut berperan serta dalam penyegelan pondok pesantren tersebut.
- Setidaknya 150 anggota polisi melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas untuk Demokrasi yang melakukan aksi pawai sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas LGBTI di Yogyakarta pada 23 Februari 2016. Tindakan represi ini berakhir pada ancaman bagi aktivis LGBT. 12 orang luka-luka, 4 orang mengalami pelecehan seksual oleh anggota kepolisian. Pada tanggal 25 polisi memanggil penanggungjawab aksi pawai dan memberikan peringatan untuk tidak melakukan aksi serupa lagi.
- Pembubaran kegiatan tahunan Pekan Olahraga Seni & Budaya (PORSENI) ke-23 yang dilakukan oleh Ikatan Waria-Bissu Sulawesi Selatan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Porseni semula akan diselenggarakan di kabupaten Soppeng pada tanggal 19-23 Januari 2017 dan telah mengantongi restu dari Polisi Resor Soppeng serta kepala daerah Soppeng. Kegiatan yang telah dihadiri oleh 500 waria-bissu dari wilayah Indonesia Timur akhirnya tidak dapat diselenggarakan setelah Kepala Polda Sulawesi Selatan menyatakan tidak memberikan izin kegiatan. Pembubaran kegiatan ini bermula dari ancaman dari Front Umat Islam (FUI) yang akan menurukan ratusan anggota untuk membubarkan kegiatan jika polisi tidak membubarkan. Lagi-lagi, alih-alih polisi melindungi kegiatan tersebut, polisi malah turut meminta untuk kegiatan tidak diselenggarakan. Sejumlah 500 peserta yang berstatus sebagai waria pembela HAM terpaksa pulang ke rumah masing-masing dan batal mengikuti kegiatan.
- Outing atau menunjukan status secara paksa dengan maksud buruk atas identitas seksual dan identitas gender seseorang di hadapan publik yang ditujukan pada 3 LGBTI aktivis di Aceh dalam sebuah acara Sosialisai & Pencegahan LGBT di Balai Kota Banda Aceh pada 25 Februari 2016. Outing ke-3 aktivis ini ditunjukan dengan foto berikut nama yang berdampak pada ke-3 aktivis menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polisi Wilayatu Hisbah (WH ). Atas kejadian tersebut, 3 aktivis tersebut akhirnya dievakuasi ke luar Aceh untuk beberapa waktu.
- Dinas Syariat Islam Kota Bireuen, Aceh mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan aktifitas salon yang dijalankan dan atau memperkerjakan waria, khunsa dan LGBT pada April 2015. Surat ini ditujukan ke setiap salon di Kota Bireuen. Paska surat edaran tersebut salon yang dijalankan oleh kelompok waria di kota Bireuen termasuk Salon seorang aktivis waria yang tidak hanya berfungsi sebagai salon namun juga sekretariat dimana komunitas waria melakukan kegiatan edukasi berupa diskusi dll, dirazia dan ditutup paksa. Dampak dari surat edaran tersebut, banyak salon yang harus ditutup karena intimidasi dan ancaman yang dilakukan baik oleh aparat maupun warga. Lima orang aktivis waria terpaksa pulang ke rumah dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain agar tidak menjadi target sasaran oleh aparat juga warga yang diberi keluluasaan untuk turut melaporkan.
- Penangkapan sewenang-wenang terhadap pasangan gay di Aceh pada 28 Februari 2017. Penangkapan pasangan ini dilakukan oleh masyarakat sekitar didukung oleh polisi syari’ah. Dalam proses penggerebekan korban divideokan, dan video disebarkan melalui media online. Korban tidak mendapat bantuan hokum dan korban telah dijatuhi bersalah dengan 85 cambuk pada 17 Mei 2017. Eksekusi cambuk akan dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2017.
- Penangkapan sewenang-wenang kepada komunitas gay yang diduga melakukan pesta seks di Apartemen Kalibata City pada Februari 2017. Komunitas ini digerebeg oleh organisasi massa berbasis agama, para korban digerebek, ditelanjangi dan digiring ke kantor polisi oleh ormas islam. Korban hanya diintogerasi di kepolisian dan dibebaskan di hari berikutnya. Dalam hal ini, korban telah dipermalukan dan dikurangi harkat derajat kemanusiaanya.
- Penangkapan sewenang-wenang pada komunitas gay di salah satu hotel di Jawa Timur pada 29 April 2017 dilakukan oleh ormas Islam dibantu dan disponsori oleh kepolisian setempat dengan dugaan melakukan pesta seks. Sampai saat ini para korban masih di bawah penanganan kepolisian. Para korban secara langsung telah mengalami kekerasan pengurangan terhadap derajat kemanusiaan.
- Mei 2017, sepasukan polisi menangkap pengunjung dan pekerja sebuah tempat gym dan sauna di bilangan Jakarta Barat atas dasar tuduhan prostitusi dan pesta seks, meskipun tuduhan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya. Puluhan laki-laki ditangkapi dengan tidak manusiawi dan mengalami kekerasan-kekerasan psikis.
- Persekusi pada kelompok lesbian pada 5 Juni 2017 ke dalam tempat tinggal di daerah Sumatera Utara yang dilakukan oleh pemuka agama, aparatur desa, kepolisian hingga anggota militer. Mereka terpaksa meninggalkan rumah yang mereka sewa dan tempat akibat dari persekusi tersebut.
- Persekusi kepada kelompok lesbian di Jawa Barat pada September 2017 yang serupa dengan yang dilakukan di Sumatera Utara, sepasukan polisi dan anggota militer ikut membantu persekusi tersebut, sebagai dampaknya mereka juga harus meninggalkan tempat tinggal mereka dan sebagian tak dapat kembali bekerja ke tempat kerja.
- Sepasukan polisi kembali melakukan penangkapan secara sewenang-wenang di sebuah sauna di bilangan Jakarta Pusat pada Oktober 2017. Dasar penangkapan ini serupa penangkapan sebelumnya.
Isu Papua
Dalam 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK terjadi berbagai tindak kekerasan oleh apparatus negara, sampai pelarangan terjadi secara massif di Papua. Jurnalis asing sampai sekarang masih dilarang oleh pemerintah Indonesia tanpa alasan yang jelas—meski di banyak forum Internasional Pemerintah Indonesia mengklaim telah menjalankan roda pemerintahan demokratis. Rakyat Papua juga sampai sekarang masih menjadi obyek penyiksaan pemeritah hanya karena aspirasinya untuk menyuarakan kemerdekaan.
Masalah lain, yang sudah klasik, dalam isu Papua adalah terus melanggengnya eksploitasi sumber daya alam dan penjarahan kekayaan bumi Papua yang disponsori negara, baik melalui PT Freeport Indonesia maupun melalui proyek The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Semua kasus di atas merupakan episode buruk dari penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Papua yang senantiasa berulang, dan direproduksi, entah sampai kapan.
Tercatat dalam pemerintahan Jokowi-JK, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, jumlah kekerasan terhadap orang-orang Papua naik sepanjang 2014-2016. Kekerasan itu terkait dengan hak kebebasan berpendapat, di antaranya soal penentuan nasib sendiri. Masing-masing jumlah adalah 19 kasus (2014); 21 kasus (2015); dan 28 kasus (hingga Juli 2016).
Ada ribuan orang Papua ditangkap. Sepanjang 2014, ada 150 orang ditangkap, 540 orang pada 2015 dan melonjak menjadi 2.628 orang pada Juli 2016. Pada 1 Desember dan 19 Desember 2016 sebanyak 528 orang di pelbagai daerah ditangkap disertai tindakan kekerasan, masing-masing di Merauke (126 orang); di Nabire (74 orang); di Yogyakarta (38 orang); di Gorontalo (34 orang); di Manado (51 orang); di Wamena (165 orang) dan di Jayapura (40 orang).
Wilayah dengan jumlah tertinggi peristiwa itu diduduki oleh Jayapura yakni dengan 32 peristiwa. Lokasi lain adalah Mimika (12 peristiwa); Yahukimo (9 peristiwa); Merauke (7 peristiwa); dan Nabire (4 peristiwa). KontraS mencatat pihak kepolisian dan TNI diduga menjadi pelaku utama.
Kritik dan Tuntutan Gema Demokrasi
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi secara tegas menunjukkan tujuan reformasi agar Presiden selaku mandataris MPR melakukan sejumlah kebijakan[15], yaitu:
- Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan pemulihan aktivitas usaha nasional.
- Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitas nasional.
- Menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, Hak Asasi Manusia menuju terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental.
- Meletakkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.
Untuk mengembalikan situasi yang telah jauh dari tujuan reformasi ini, dalam 2 tahun sisa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini, Gerakan Masyarakat Demokrasi yang terdiri dari lebih 80 organisasi masyarakat sipil dan individu-individu yang peduli demokrasi mendesak agar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menjalankan 6 Amanat Rakyat berikut ini:
- Jalankan amanat reformasi sesuai Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
- TNI harus berhenti berpolitik dan segera kembali ke barak
- Berantas korupsi hingga ke akar-akarnya dan konkritkan perkuat KPK
- Bangun ekonomi rakyat, hancurkan oligarki
- Ciptakan kedaulatan rakyat
- Beri rasa keadilan dan tegakkan hukum berdasar nilai kebenaran, keadilan dan HAM
Narahubung:
- Citra:+62 857-7479-8749:
- Lini: +628111718201
- Asep Komarudin: 081310728770
- Alghifari Aqsa: 081280666410
Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA DEMOKRASI) terdiri dari gerakan buruh, petani, pelajar, mahasiswa, intelektual, anak muda, kelompok keagamaan, jurnalis, aktivis kebebasan ekspresi, pengacara publik, aktivis literasi, dan komunitas seni.
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
- Asosiasi Pelajar Indonesia
- Arus Pelangi
- Belok Kiri Festival
- Bhinneka Region Bandung
- Desantara
- Federasi SEDAR
- Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK)
- Forum Solidaritas Yogyakarta Damai (FSYD)
- Garda Papua
- Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
- Gereja Komunitas Anugrah (GKA) Salemba
- Gusdurian
- Institute for Criminal Justice Reform (IJCR)
- Imparsial
- Indonesian Legal Roundtable (ILR)
- INFID
- Institut Titian Perdamaian (ITP)
- Integritas Sumatera Barat
- International People Tribunal (IPT) ‘65
- Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
- Koalisi Seni Indonesia
- Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- KPO-PRP
- komunalstensil
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
- Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar
- Komunitas Buruh Migran (KOBUMI)
- Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- LBH Pers
- LBH Pers Ambon
- LBH Pers Padang
- LBH Pers Makassar
- LBH Jakarta
- LBH Bandung
- LBH Makassar
- LBH Padang
- LBH Pekanbaru
- LBH Yogya
- LBH Semarang
- Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
- Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
- Marjinal
- Papua Itu Kita
- Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
- Partai Rakyat Pekerja (PRP)
- PEMBEBASAN
- Perempuan Mahardhika
- Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
- Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (PM-D)
- Perpustakaan Nemu Buku – Palu
- Pergerakan Indonesia
- Politik Rakyat
- Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)
- PULIH Area Aceh
- PurpleCode Collective
- Remotivi
- RedFlag
- Sanggar Bumi Tarung
- Satjipto Rahardjo Institut (SRI)
- Serikat Jurnalis Untuk Keragaman (SEJUK)
- Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
- Simponi Band
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Sentral Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (SGMK)
- Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
- Sloka Institute
- Suara Bhinneka (Surbin) Medan
- Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI)
- Serikat Buruh Bumi Manusia-Nanbu (SEBUMI-NANBU)
- Komunitas Solidaritas Net
- Taman Baca Kesiman
- Ultimus
- Yayasan Bhinneka Nusantara
- Yayasan Satu Keadilan
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Yayasan Manikaya Kauci
- YouthProactive
dan individu-individu yang peduli pada masa depan demokrasi Indonesia antara lain:
- Agus Wahyudi
- Irine Gayatri
- Roy Thaniago
- Whisnu Yonar
- Rizky Harahap
- Aji Trilaksmana
- Aya Oktaviani
- Shinte Galeshka
- Qory Dellasera
- Bayu Agni
- Asep Komarudin
- Evi Mariani Sofian
- Yuliannova Lestari Chaniago
- Manik Sukoco
Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi
Sekretariat: Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta INDONESIA
Situs: gemademokrasi.net
Twitter: @gemademokrasi
Facebook: /gedorindonesia
E-mail: [email protected]
[1] Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, hal 16-6
[2] Ibid, hal 18-19
[3] LBH Jakarta menyebut Pemerintah Jokowi terbukti tidak serius dalam menangani kasus impunitas, terutama kasus penyelesaian HAM di masa lalu seperti kasus pembantaian PKI tahun 1965, juga meningkatnya kasus kriminilasisi ataupun belum selesainya kasus kriminalisasi yang ditinggal periode sebelumnya. Lih. Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, hal 26-34
[4] http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/
[5] Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat, Kegagalan Memenuhi dan Melindungi Hak Asasi Manusia di Aceh: Refleksi Satu Tahun Penerapan Qanun Jinayat
[6] Sikap Politik Solidaritas Perempuan terhadap Menguatnya Intoleransi dan Fundamentalisme Agama yang Menghancurkan Keberagaman dan Demokrasi
[7] Solidaritas Perempuan, dan Kontras, Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat dalam Kasus-kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah di Indonesia
[8] Solidaritas Perempuan, Mengurai Realita Pemiskinan Perempuan di Tengah Konflik Sumber Daya Alam
[9] SP Jabotabek, Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Air di Jakarta
[10] Catatan Akhir Tahun KPA 2015: Sepanjang tahun 2015 terjadi 252 konflik agraria dengan luas 400.430 hektar.
[11] Pusat Data dan Informasi KIARA (2016) menemukan proyek pengurukan laut terus menerus dilakukan, setidaknya di 16 wilayah pesisir Indonesia. Akibatnya 107.361 kepala keluarga (kk) nelayan terusir dari ruang penghidupannya akibat reklamasi.
[12] Rilis SAFEnet 7 September 2017 http://id.safenetvoice.org/2017/09/stop-pidanakan-aktivis/ Diakses 19 Oktober 2017
[13] Sistem Monitoring Kebebasan Ekspresi Online Indonesia http://id.safenetvoice.org/daftarkasus Diakses 19 Oktober 2017.
[14] Sistem Monitoring Pelanggaran Kebebasan Berkumpul dan Berekspresi di Indonesia http://id.safenetvoice.org/pelanggaranekspresi Diakses 19 Oktober 2017.
[15] Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi tentang tujuan reformasi.