DPR sudah mulai membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Peta dukungan maupun penolakan pun telah nampak dari beberapa fraksi di DPR. Beberapa fraksi mengusulkan untuk menerima Perppu Ormas secara utuh, sebahagian menerima dengan catatan, dan sebagian lagi menolak. Bagi fraksi yang menerima dengan catatan, Perppu Ormas yang telah disahkan nanti harus masuk ke dalam Prolegnas prioritas tahun 2018 untuk direvisi.
Peninjauan terhadap Perppu Ormas saat ini juga tengah dilakukan di Mahkamah Konstitusi, dengan setidaknya terdapat delapan pemohon pinsipal terhadap Perppu Ormas. Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas yang diwakili oleh YLBHI, Perludem, WALHI, Imparsial, ELSAM, KontraS, KPA, HRWG, dan KPBI beberapa waktu lalu juga mengajukan diri sebagai pihak terkait langsung dalam perkara No. 38/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Organisasi Advokat Indonesia. Namun sayangnya, MK menolak permohonan untuk menjadi pihak terkait ini, dengan alasan sudah terlalu banyak pihak terkait dalam perkara ini.
Koalisi tentu sangat menyayangkan pertimbangan MK tersebut, merujuk pada pentingnya proses pengujian Perppu Ormas ini terhadap masa dapan kebebasan berserikat dan berorganisasi. Para pemohon pihak terkait ini adalah organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam upaya mendorong pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat/berorganisasi di Indonesia, termasuk dalam advokasi UU Ormas dan Perppu Ormas, yang kami nilai telah menciderai prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Kami memandang upaya negara untuk menindak ormas yang menganut paham radikalisme dan bersikap intoleran tentu merupakan sebuah keharusan. Dalam kenyataannya, memang tidak semua orang dan kelompok di masyarakat ketika menggunakan ruang kebebasan itu dilengkapi oleh sikap kewargaan untuk saling menghormati perbedaan dan keberagaman. Sejumlah ekspresi politik dan manifestasi kegiatan keorganisasiannya juga dibarengi dengan berbagai tindak kekerasan dan melawan prinsip-prinsip penting dalam negara hukum dan demokrasi, serta mengganggu sendi-sendi dasar negara dan Konstitusi.
Kami mendukung sepenuhnya upaya-upaya negara untuk menindak berbagai macam kelompok intoleran, sepanjang itu tetap dilakukan dalam koridor negara demokrasi dan negara hukum. Namun demikian, Kami menilai pembentukan Perppu justru dapat membahayakan kehidupan negara demokrasi dan negara hukum itu sendiri. Perppu tidak hanya dapat menyasar kepada kelompok yang intoleran tetapi juga dapat menyasar kepada kelompok-kelompok organisasi masyarakat lainnya karena pemerintah dapat sepihak membubarkannya dengan berbagai alasan.
Kami memandang sebenarnya pemerintah tidak perlu membentuk Perppu Ormas karena pengaturan tentang Ormas sudah diatur dalam UU Ormas No. 17/20013. Di dalam undang-undang tersebut pemerintah dapat membubarkan ormas melalui mekanisme peradilan jika dianggap melanggar UU Ormas. Dengan demikian, tidak ada kekosongan hukum bagi pemerintah jika ingin membubarkan Ormas yang melanggar undang-undang.
Kami menilai Perppu Ormas bukanlah Perppu yang khusus mengatur tentang radikalisme dan ekstremisme. Perppu Ormas adalah Perppu yang mengatur tentang seluruh organisasi kemasyarakatan, baik itu berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Hal itu terlihat dari judul Perppu Ormas, substansi di dalam Perppu Ormas, dan alasan-alasan pembubaran ormas.
Alasan-alasan pembubaran ormas oleh pemerintah tidak hanya karena alasan ormas bertentangan dengan Pancasila tetapi juga terkait dengan berbagai alasan lainnya, semisal melakukan penodaan agama, melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, tidak melaksanakan kewajibannya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, dan alasan-alasan lainnya (Pasal 60 jo. Pasal 21 jo. Pasal 59).
Penerbitan Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 yang menghapuskan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas tentu menjadi masalah yang serius. Pasal 61 ayat 3 poin a dan b jo Pasal 80A Perppu menyatakan bahwa pembubaran ormas dilakukan oleh pemerintah melalui menteri hukum dan HAM. Apalagi di dalam Perppu Ormas No. 2/2017 juga dicantumkan sanksi pidana yang ancaman hukumannya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun (Pasal 82A ayat (2) Perppu Ormas).
Padahal, di dalam UU Ormas No. 17/2013 tidak ada aturan sanksi pidana, yang ada hanya sanksi administratif. Mekanisme pembubaran Ormas juga sudah diatur melalui mekanisme peradilan sesuai dengan Pasal 68 ayat 2 UU Ormas No. 17/2013. Penghormatan pada prinsip due process of law sangat fundamental dan penting dalam pembubaran organisasi. Hal itu untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam tindakan yang berpotensi menimpa organisasi-organisasi lain di masyarakat.
Dengan alasan-alasan yang luas dan multitafsir tersebut dan diikuti dengan adanya kewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas, maka seluruh organisasi masyarakat baik itu organisasi jurnalis, organisasi buruh, organisasi petani, asosiasi profesi, organisasi filantropi, dan organisasi masyarakat lainnya dapat dibubarkan sepihak oleh pemerintah jika dianggap melanggar alasan-alasan yang luas dan karet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perppu tersebut.
Dikembalikannya otoritas pembubaran ormas kepada pemerintah, dan tidak melalui mekanisme peradilan akibat terbitnya Perppu Ormas tentu merupakan langkah yang mundur ke belakang, karena hal itu sama dengan pembubaran ormas pada masa Orde Baru yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1985; yang pada saat itu ditolak masyarakat karena menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah dan menjadi alat ampuh bagi rezim yang otoriter karena otoritas pembubaran ormas berada pada pemerintah.
Pembubaran Ormas oleh pemerintah mengabaikan setidaknya prinsip due process of law dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hal ini akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah. Padahal, di dalam UU Yayasan, UU Perseroan Terbatas, dan UU Partai Politik, pembubaran Yayasan dan PT melalui peradilan sedangkan pembubaran partai politik melalui Mahkamah Konstitusi dan dilakukan sejak awal melalui mekanisme peradilan.
Dalih pemerintah bahwa ormas yang dibubarkan pemerintah dapat mengajukan keberatan ke PTUN sehingga mekanisme peradilan juga tersedia adalah dalih yang tidak tepat. Seharusnya, proses dan mekanisme hukum pembubaran dilakukan sejak awal proses hukum dan dilakukan oleh lembaga yudikatif dan bukan disediakan ketika sudah dibubarkan, karena hal ini terkait dengan prinsip due process of law dan asas presumption of innocence.
Pembubaran oleh pemerintah mengabaikan mekanisme check and balance sehingga berpotensi sewenang-wenang (abuse of power) karena menjadi otoritas subjektif pemerintah. Dengan kewenangan pembubaran itu maka pemerintah dapat membubarkan organisasi manapun dengan alasan-alasan yang karet sehingga dapat digunakan untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan maupun kelompok-kelompok lainnya seperti organisasi keagamaan, organisasi buruh, organisasi petani, asosiasi profesi, perkumpulan filantropi, organisasi pecinta hobi, dan organisasi lainnya.
Pemerintah beralasan bahwa kewenangan pencabutan izin yang diikuti dengan pembubaran ormas adalah berdasar pada asas contrarius actus, dimana suatu badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan berwenang membatalkannya.
Alasan pemerintah yang menilai ketiadaan asas contrarius actus untuk membubarkan ormas berbadan hukum dalam UU Ormas tidaklah tepat dan bahkan tidak berdasar. Tidak ada keharusan secara hukum lembaga yang memberikan pengesahan secara otomatis memiliki kewenangan mencabut atau membatalkan status badan hukum organisasi/entitas yang bersangkutan. Sudah sedemikian banyak lembaga, institusi, dan badan hukum yang tidak dapat dibubarkan oleh lembaga atau institusi yang mengesahkannya. Justru mekanisme pembubaran atau pencabutan status badan hukum umumnya mesti melalui mekanisme peradilan.
Dengan adanya asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini, pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) justru memiliki kewenangan tak terbatas dalam memberi izin dan mencabut status badan hukum organisasi. Kewenangan tersebut justru berbahaya dan tidak dibenarkan secara hukum. Sebab, pemberian status badan hukum tidak sekadar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk subyek hukum baru.
Mekanisme pencabutan hak dan kewajiban melekat pada subjek hukum mesti dilakukan melalui putusan pengadilan. Karena itulah mekanisme pencabutan hak dan kewajiban badan hukum lain melibatkan lembaga peradilan, seperti pernyataan pembubaran (pailit) suatu perseroan terbatas (PT) mesti diajukan ke pengadilan niaga sesuai UU PT atau pembubaran yayasan melalui peradilan sesuai UU Yayasan atau pembubaran partai politik melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Konsekuensi pembubaran status badan hukum tersebut berimplikasi ormas tidak diizinkan melakukan kegiatan apapun secara sepihak. Sebab, pengambilan keputusan penghentian segala aktivitas kegiatan ormas dilakukan tidak secara objektif dan diimbangi dengan otoritas lembaga yudikatif. Hal tersebut berdampak potensi diskresi yang sewenang-wenang dalam melakukan penghentian kegiatan ormas.
Apabila memang pemerintah berdalih bahwa pengaturan tentang ormas ada dalam wilayah administrasi negara sehingga asas contrarius actus itu diperlukan, maka sebagai konsekuensinya pengaturan tersebut tidak mengatur sanksi pidana. Sementara di dalam Perppu mengatur sanksi pidana. Berbeda dengan UU Ormas No. 17/2013 yang hanya memberikan sanksi administratif dan tidak ada sanksi pidana. Sanksi administratif pembubaran pun harus melalui peradilan dan bukan oleh pemerintah sebagaimana sebelumnya diatur dalam UU Ormas No. 17/2013.
Pembubaran ormas oleh pemerintah memberangus kebebasan berserikat dan berkumpul sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan demokrasi dan negara hukum. Padahal, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat adalah hak yang dilindungi oleh Konstitusi. Hak atas kebebasan berserikat bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, melainkan juga menjadi komponen politik penting dari berjalan baiknya demokrasi di sebuah negara. Dan bahkan, kebebasan ini disebutkan sebagai jantung dari demokrasi. Kebebasan ini sangat terkait erat dengan kebebasan dan hak asasi lainnya, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul, berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Lebih jauh, kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap orang dan kelompok untuk menjalankan dan memperjuangkan hak-hak asasinya, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan demikian, Perppu Ormas akan menjadi ancaman bagi seluruh gerakan masyarakat sipil baik itu organisasi buruh, organisasi petani, organisasi jurnalis, kelompok anti-korupsi, kelompok pegiat HAM, kelompok pejuang tata pemerintah yang demokratis, dan organisasi lainnya karena pemerintah dapat membubarkan organisasi masyarakat sipil dengan alasan-alasan yang karet dan adanya sanksi pidana.
Perppu Ormas juga tidak akan menjamin kebebasan beragama di Indonesia, tetapi justru akan menambah kerumitan dan masalah baru bagi persoalan kebebasan beragama di Indonesia. Dengan Perppu Ormas, pemerintah secara sepihak dapat membubarkan organisasi masyarakat yang dianggap menodai agama disertai dengan sanksi pidana, baik itu atas inisiatif pemerintah sendiri maupun atas laporan masyarakat.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas mendesak agar DPR menolak pengesahan Perppu Ormas, selain karena proses pembentukannya bermasalah, secara substansi Perppu Ormas juga bermasalah. Kami memandang jika Perppu dibatalkan oleh DPR maka mekanisme pembubaran organisasi sebenarnya tetap dapat dilakukan dengan berpijak pada undang-undang tentang Yayasan No. 28/2004 maupun tentang Ormas No. 17/2013, dimana pembubaran organisasi dilakukan melalui mekanisme peradilan. Dengan demikian, pemerintah tetap dapat membubarkan Ormas yang dipandang oleh negara melanggar undang-undang melalui mekanisme peradilan.
Kami tegaskan sekali lagi bahwa penolakan terhadap Perppu Ormas bukanlah untuk membela kepentingan golongan dan kelompok tertentu, tetapi semata-mata karena untuk kepentingan menyelamatkan negara demokrasi dan negara hukum itu sendiri mengingat Perppu Ormas ini dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah (abuse of power) sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan demokrasi dan negara hukum serta mengancam hak asasi manusia.
Jakarta, 23 Oktober 2017
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL), Politik Rakyat, Perempuan Mahardhika, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Amnesty International Indonesia, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Institut Demokrasi, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).